Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Kasus dugaan pengadaan proyek satelit pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) periode 2015 mencuat dalam beberapa waktu terakhir. Dugaan tersebut pertama kali diungkap ke publik oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang mengatakan perkara itu pertama kali terendus saat Indonesia digugat oleh London Court of International Arbitration karena Kementerian tak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang ditandatangani.
Objek bermasalah yang dimaksud ialah Satelit Garuda-1 yang telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) pada 19 Januari 2015 lalu. Terdapat kekosongan pengelolaan oleh Indonesia yang kemudian mengindikasikan pelanggaran hukum.
“Kementerian Pertahanan pada tahun 2015 melakukan kontrak dengan Avianti (Avianti Communication Limited) untuk melakukan sesuatu. Padahal, anggarannya belum ada, dia sudah kontrak,” kata Mahfud dalam konferensi pers, Kamis (13/1/2022) pekan lalu.
Baca juga : Jaksa Agung ungkap korupsi ekspor rugikan negara Rp26 triliun
Terdakwa korupsi Asabri Heru Hidayat dituntut hukuman mati
Lima terdakwa korupsi Asabri dituntut 10 hingga 15 tahun penjara
Menurut Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit yang kosong kala itu. Pasalnya, kata dia, Kemenhan mencoba membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Persetujuan itu terbit pada 29 Januari 2016. Namun demikian, kata dia, Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan slot orbit itu pada 25 Juni ke Kemenkominfo.
Berselang enam bulan kemudian, Kemenkominfo mengeluarkan keputusan bahwa Hak Penggunaan Filing Satelit Indnesia dimaksud akan dialihkan kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Hanya saja, perusahaan itu tak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemenhan dalam pengadaan Satkomhan.
Selain kontrak dengan Avianti, Kementerian juga menyetujui hal serupa dengan sejumlah pihak lain dalam periode 2015-2016. Padahal, anggaran untuk proyek tersebut belum tersedia.
Mahfud menjelaskan negara digugat oleh Avianti karena tak membayar sewa satelit sesuai nilai kontrak. Pengadilan arbitrase memutuskan bahwa negara harus mengeluarkan pembayaran sewa satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filling satelit sebesar Rp515 miliar.
Tagihan lain terkait proyek satelit juga disodorkan oleh pihak Navayo. Mereka menyerahkan barang yang diduga tak sesuai dengan Certificate of Performance dan ditandatangani oleh pejabat Kemenhan. Navayo menagih Indonesia USD16 juta. Namun demikian, pemerintah menolak untuk membayar hingga akhirnya perkara itu kembali digugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.
“Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo,” kata Mahfud menjelaskan.
Menurut Mahfud, sejumlah tagihan tersebut yang membuat kerugian keuangan negara dapat tercipta. Ia menilai bahwa negara masih berpotensi ditagih oleh pihak-pihak lain seperti Airbus, Detente, Hogan Lovelis dan Telesat.
Kejaksaan Agung (Kejagung) langsung mengumumkan bahwa kasus tersebut resmi dinaikkan ke tahap penyidikan pada Jumat (14/1/2022), sehari usai Mahfud mengadakan konferensi pers.
Selama proses hukum berjalan, Kejagung mengatakan telah memeriksa 11 saksi terkait kasus itu. Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus, Febrie Adriansyah mengatakan bahwa terdapat beberapa dugaan perbuatan melawan hukum sehingga kasus naik sidik. Selain itu, kata dia, perencanaan proyek dimaksud diduga dilakukan tidak dengan baik. Kemenhan belum menganggarkan kontrak di Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2015.
“Kami telah menyelidiki terhadap kasus ini selama satu minggu. Kami sudah memeriksa beberapa pihak,” kata Febrie.
Menurut Febrie, penyidik telah mengantongi sejumlah bukti seperti hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta beberapa dokumen lain.
Merujuk pada keterangan Mahfud pada Senin (17/1/2022), BPKP melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT) terkait proyek tersebut yang dapat merugikan keuangan negara. Di antaranya kerugian muncul karena pembayaran gugatan Avianti sebesar Rp515 pada 2019. Kemudian tahun ini pemerintah juga membayar tagihan sebesar USD21 juta atas gugatan Navayo.
Hasil audit BPKP menunjukkan bahwa barang yang diterima dari Navayo sebagian besar diduga diselundupkan. Tak ditemukan dokumen Pemberitahuan Impor Barang di Bea Cukai. Sementara, lanjutnya, barang yang memiliki kelengkapan dokumen hanya bernilai Rp1,9 miliar. (*)
CNN Indonesia
Editor : Edi Faisol