PT Adindo Hutani Lestari yang awalnya berlangsung alot akhirnya terwujud
Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nunukan, Jubi– Negosiasi ganti rugi tanam tumbuh pada lahan perkebunan yang menjadi sengketa antara masyarakat adat Tidung dengan PT Adindo Hutani Lestari yang awalnya berlangsung alot akhirnya terwujud. Meskipun selama negosiasi yang berlangsung sejak 2005 akhirnya terwujud pada Jumat, (28/2/2020) dini hari sekira pukul 00.23 wita.
Kisruh lahan yang terletak di Peda-Peda Desa Pembeliangan Kecamatan Sebuku Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara ini telah berlangsung sejak 2005. Awalnya belum ada langkah penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak hingga saat ini. Beberapa kali ditempuh upaya negosiasi tetapi belum ditemukan titik temu terkait besaran ganti rugi tersebut.
Muhammad Sidik, Masyarakat Adat Tidung yang pertama kali mengolah lahan tersebut pada Kamis memperlihatkan bukti-bukti penguasaan lahan yang diolahnya sejak 2005.
Namun belakangan dimasuki PT Adindo Hutani Lestari (AHL) dan sebagian telah dikuasainya. Bahkan tanam tumbuh milik warga yang tergabung dalam kelompok tani alasannya telah digusur.
“Beberapa tanaman diantaranya kelapa sawit yang tumbuh di atas lahan yang menjadi sengketa saat ini diurus oleh perusahaan,” ujar Sidik menceritakan.
Perjalanan panjang dan berliku yang dilakukan masyarakat adat Tidung tanpa lelah terhadap tanaman di atas lahan seluas 492 hektare itu kini berbuah manis. “Meski sangat menguras tenaga dan waktu,” kata Sidik menambahkan.
Pertemuan demi pertemuan yang dilakukan baik melalui fasilitasi aparat kepolisian maupun langsung antara masyarakat adat Tidung dengan PT AHL dianggap tidak direalisasikan. Akibatnya, masyarakat Adat Tidung turun dengan massa puluhan orang bernegosiasi dengan mengharapkan keadilan yang seadil-adilnya atas hak-haknya. Sidik mengaku memiliki bukti-bukti kepemilikan lahan yang sebagian telah dikuasai PT AHL dan sejumlah dokumen tuntutannya yang tidak pernah terselesaikan.
Manager Social Security Legal dan Lisensi PT AHL, Uteng Nurhayat, menegaskan berkomitmen menyelesaikan kasus ini. Ia bersedia memberikan ganti rugi terhadap tanaman masyarakat adat sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Kabupaten Nunukan.
“Kami datang menemui dan bertatap muka dengan masyarakat adat untuk memberikan solusi,” ujar Uteng.
Baca juga : Masyarakat adat Wakatobi dilibatkan tangani sampah
Setiap proses pembangunan harus libatkan masyarakat adat
Ini rekomendasi pengelolaan hutan dari masyarakat adat Lindu
Namun pertemuan untuk negosiasi pada malam harinya di Kantor PT AHL di Sebakis Desa Pembeliangan sempat terjadi ketegangan dimana perwakilan masyarakat adat tidak menerima besaran ganti rugi.
Pantauan di Kantor PT AHL ini, pada saat pertemuan itu masyarakat adat memukul meja dan meninggalkan ruang pertemuan karena merasa tidak puas atas penawaran ganti rugi dari perusahaan. Malah, salah seorang masyarakat Adat Tidung tampak emosional dengan mengacungkan parang panjang jenis mandau.
Caling Hamzah, dari masyarakat Adat Tidung mengaku, luas lahan yang dituntut adalah 492 hektar dari hasil pengukuran kedua belah pihak disaksikan aparat kepolisian.
Informasi terakhir PT AHL telah bersedia membayar ganti rugi pada lahan seluas 42 hektar. Kemudian, sisanya seluas 450 hektar perusahaan bersedia membayar ganti rugi atas tanam tumbuh dalam jangka waktu paling cepat dua bulan.
Hasil perbicaraan terakhir PT AHL sebelum membayar sisa seluas 450 hektar tersebut dibutuhkan foto satelit dunia dari Dinas Kehutanan setempat. Berdasarkan data dari Kelompok Tani Peda-Peda mulai menanam sejumlah jenis tanaman sejak 2015 pada lahan seluas 450 hektar tersebut. (*)
Editor : Edi Faisol