Papua No. 1 News Portal | Jubi
Konsep wisata di Kota Jayapura dianjurkan untuk memperhatikan lingkungan. Hutan-hutan dan alam tidak boleh dirusak jika pemerintah membangun infrastruktur untuk menunjang pembangunan wisata.
Praktisi pariwisata dari Papua Tour Guide, Andre Liem, mengatakan ada objek wisata yang didukung infrastruktur oleh kementerian di Kota Jayapura, tapi minta dukungan izin saja susah. Kawasan ekowisata hanya dipoles saja agar alami. Namun kehadiran jembatan modern, sebagai salah satu infrastruktur pendukung—justru merusak alam itu sendiri. Akibatnya tidak hanya merusak alam dan ekosistemnya, tetapi juga berdampak kepada pengunjung.
“Wisata Kota Jayapura hanya bisa dinikmati wisatawan lokal saja, tapi untuk kategori mancanegara sudah jauh dari pelupuk mata,” kata Andre, kepada Jubi di Jayapura, Selasa, 7 Mei 2019.
Dua tahun lalu, lanjutnya, Kementrian PU membawa staf ahli untuk menyurvei Teluk Youtefa dan berencana mendukung infrastruktur objek wisata di Tobati—di sebelah kanan kampung itu, kini dibangun Jembatan Merah atau Jembatan Youtefa, agar dibuat pusat kuliner untuk menjual souvenir. Namun saat presentasi wali kota tidak hadir dan tidak ada izin.
Dia menilai pemkot berpandangan seakan-akan kehadiran jembatan merah mendorong kemajuan pariwisata. Padahal tanpa itu ada wisata alam yang diciptakan tangan Tuhan, yang bisa diramu tanpa harus ada infratruktur yang merusak lingkungan.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Matias B. Mano, menyatakan dinasnya menyetujuai pengelolaan tempat wisata oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mempersiapkan infrastruktur, seperti jalan, lampu, dan fasilitas publik lainnya, agar objek-objek wisata dikelola dengan baik dan mendatangkan keuntungan bagi pemilik ulayat.
“Pembangunan resort dan lain sebagianya itu menjadi tugas pihak swasta. Dikelola swasta karena profesional sehingga tempat wisata lebih maju dan berkembang,” kata Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Matias B. Mano, Jumat lalu.
Namun Andre berpendapat seharusnya pemerintah fokus membuat dermaga-dermaga kapal pesiar tipe 50 penumpang atau barang, yang lalu lalang sepanjang pesisir Teluk Humboldt sampai ke Skouw, untuk menjangkau crossborder. Lagi pula kapal tersebut bisa merekrut masyarakat lokal agar bisa bekerja dan aktif terlibat sebagai pelaku.
“Saya ragu mereka (baca: masyarakat lokal) jadi penonton, karena tanah ulayat sudah dimiliki orang luar, dan yang lain sudah hancur karena dusun kelapa juga sudah hilang, laut tercemar, sampah cari ikan susah,” kata Andre lagi.
Teluk Youtefa misalnya. Kawasan ini menjadi salah satu spot wisata Kota Jayapura, dan merupakan kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai taman wisata alam melalui SK Menteri Kehutanan RI Nomor 714/Kpts-II/1996. Oleh sebab itu, kawasan ini tidak boleh dirusak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomer 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Andre bercerita, sejak dulu Kota Jayapura dikenal dengan wisata budaya, alam, dan petualangannya, sebab hutan masih tersedia. Tahun 1975 mulai dibuka kunjungan wisatawan ke Papua karena ada mumi di Aikima, Kabupaten Jayawijaya. Ketika itu Jayawijaya menjadi tempat bagi turis asing (antropolog) untuk meneliti mumi di sana. Praktis Jayapura saat itu belum dilirik. Lima sampai sepuluh tahun kemudian, objek wisata dibuka di ibu kota Provinsi Papua.
Namun, kini konsep wisata alam dan bertualang tidak memungkinkan karena hutan terus dirambah dan sampah bertebaran di areal pantai.
“Bukit-bukit juga di Angkasa (Distrik Jayapura Utara) bisa dibuat jalur trekking, tapi hutannya sudah hancur,” kata Andre.
Meski demikian, Jayapura masih punya spot-spot pantai yang indah untuk dikunjungi. Kesemua itu akan mendatangkan kunjungan yang lebih besar jika dikelola dengan baik. Tentu ada kerja sama pemilik ulayat dan Pemkot Jayapura.
Sejak beberapa tahun belakangan pemerintah pusat gencar mengembangkan konsep wisata alternatif. Konsep wisata alternatif mengedepankan kelestarian alam, lingkungan, dan budaya.
Wisata ramah lingkungan punya visi untuk melestarikan lingkungan dan pemberdayaan demi pelestarian sumber daya alam, lingkungan, dan nilai sosial masyarakat.
Di Cina, konsep wisata ramah lingkungan dibikin di Xianju. Itu berhasil berkat kerja sama pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.
Dengan areal hutan seluas kira-kira 79,6 persen, seperti dilanporkan CNN Indonesia, Cina memberlakukan wisatawannya melakukan wisata dengan jalan kaki, mengendarai sepeda, atau memakai bus umum. (*)
Editor: Timo Marten