Papua No.1 News Portal | Jubi

(Bukti negara yang tidak tuntas dengan konsep hukum pidana dalam negara berdaulat)

Oleh: Welis Doga

Sejarah masa lalu, status politik Papua dalam Indonesia yang belum final menurut pandangan orang Papua, yang kemudian berujung pada meluasnya gerakan kemerdekaan Papua di Bumi Cenderawasih, dan final bagi pemerintah Indonesia dengan praktik hukum kapitalisme ala kolonial Belanda, sepertinya menjadi bagian utama beribu problem tanpa jalan penyelesaian di tanah ini.

Persoalan ketidakjelasan finalisasi pandangan tentang status politik Papua dalam Indonesia, menjadikan nasib orang Papua dari presiden ke presiden tetap sama, bahkan berbagai persoalan menambah luka batin orang Papua dari waktu ke waktu.

Mengapa dari presiden ke presiden seakan Indonesia sama sekali tidak memiliki konsep penyelesaian beribu problem di Papua?

Jawaban adalah semua konsep penyelesaian beribu persoalan di Papua yang diterapkan pemerintah sejak Papua dalam Indonesia hingga kini, adalah konsep hukum kapitalisme produk kolonial (bahwa hukum kapitalisme ala kolonial adalah masalah lain hari ini).

Ketidakikutsertaan orang Papua dalam berbagai perjanjian–Roma Agreement 1962, New York Agreement 1962, Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 termasuk juga MoU PT Freeport 1957–merupakan bukti sederet bagian harkat dan martabat orang Papua sebagai manusia dilecehkan total.

Gerakan pro kemerdekaan Papua yang semakin hari semakin tumbuh subur di seluruh Tanah Papua, bahkan terbangunnya solidaritas pro kemerdekaan di berbagai belahan bumi, juga merupakan akibat dari tumbuh dan suburnya penerapan hukum berwajah kapitalisme ala kolonial.

Jika dasar meluasnya pergerakan Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan yang didorong oleh Soekarno, Moh. Hatta dan Syahrir dengan adanya praktik kapitalisme yang masif dan terstruktur diterapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda di seluruh Nusantara kala itu kecuali Papua, maka pemerintah Indonesia tidak perlu berlebihan menerapkan hukum yang diskriminatif kepada orang Papua.

Sebab gerakan kemerdekaan yang didorong oleh orang Papua hari ini, sama dengan apa yang dilakukan Bung Karno kala itu.

Artinya, konsep perlawanan yang telah dan sedang meluas di Papua adalah konsep perlawanan terhadap kapitalisme yang fondasinya telah diletakkan oleh pendiri Indonesia; Bung Karno, Bung Hatta dan Syahrir sendiri, yang kemudian dirangkum secara sempurna dalam UUD 1945 (terutama alinea pertama).

Lalu aneksasi Papua ke dalam Indonesia pada 1963 merupakan satu bagian alasan karena Papua dan Indonesia sama nasibnya atas kolonialisasi Belanda, maka logikanya terbalik.

Kemudian praktik kolonialisme ala kolonial Belanda itu masih terpelihara, bahkan Papua menjadi salah satu daerah di Indonesia yang kemudian dijadikan lahan baru balas dendam atas memori kolonialisme masa lalu di zaman pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia.

Sepertinya masih harus mengajukan lagi sebuah pertanyaan terkait dengan aneksasi Papua dalam Indonesia. Persoalannya adalah klaim Indonesia atas Papua tetap masih harus diperdebatkan, sebab dinilai ada perbedaan pendapat yang sering dilontarkan berbagai elite di Jakarta.

Misalnya, ada yang menyebut status Papua dalam Indonesia final dengan peristiwa 1 Mei 1963, tapi juga ada yang berpandangan status Papua dalam Indonesia final dengan peristiwa Pepera 1969.

Hal lain adalah Indonesia beranggapan bahwa niat Belanda mempertahankan Papua kala itu melanggar prinsip Uti Possidetis Juris–suatu prinsip dalam hukum internasional bahwa teritorial sebuah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka.

Jika pemerintah Indonesia beranggapan prinsip itu menjadi alasan kuat status Papua dalam Indonesia, maka pertanyaannya, apakah 1 Mei 1963 atau Pepera 1969 yang melegitimasi prinsip Uti Possidetis Juris?

Persoalannya adalah peristiwa Pepera 1969 dianggap bahwa orang Papua dapat menentukan pilihannya walaupun tidak dapat dipungkiri penuh rekayasa, intimidasi, dan di luar dari praktik-praktik internasional dengan seutuhnya melalui proses versi Indonesia.

Indonesia menyebut peristiwa 1963 sebagai hari integrasi atau kembalinya Papua ke dalam NKRI.

Logikanya, jika prinsip Uti Possidetis Juris final bagi Indonesia, mengapa ada lagi peristiwa 1963 dan Pepera 1969? Itu terjadi sebelum masa waktunya sebagaimana terdapat dalam Perjanjian Roma, yang menyatakan, bahwa kekuasaan Indonesia di Papua hanya berlaku untuk jangka waktu 25 tahun, terhitung sejak 1962, dengan tujuan mendidik orang Papua untuk kemudian menentukan pilihannya.

Atau jika prinsip Uti Possidetis Juris harus berlaku secara otomatis, mengapa Perjanjian Roma 1962 maupun Perjanjian New York 1962 dijadikan oleh UNTEA sebagai syarat penguasaan Indonesia di Papua selama 25 tahun?

Mengapa sikap UNTEA harus mengakui kedua perjanjian (New York Agreement dan Roma Agreement) dan bukan prinsip Uti Possidetis Juris?

Bahwasannya status politik Papua harus dijawab dengan pertanyaan seperti disebutkan di atas, dan mesti juga dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, dengan menghadirkan Amerika, Belanda, PBB dan orang Papua sendiri, sehingga harus benar-benar final.

Bagian lain mungkin memang tidak dapat kita pungkiri dengan model penerapan hukum Indonesia kepada orang Melanesia di Papua hari ini, yang merupakan hukum kapitalisme produk kolonialisme barat.

Persoalannya tentu saja Indonesia termasuk negara di Asia Tenggara yang mengalami penjajahan hebat oleh beberapa negara barat dengan waktu yang cukup lama.

Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia sendiri yakni, Portugis (1509-1595), Spanyol (1521-1692), Belanda (1602-1942), Perancis (1806-1811), Inggris (1811-1816) dan Jepang (1942-1945) lalu pada 1945 Indonesia merdeka.

Kasus rasisme

Kasus rasisme terhadap orang Papua pada Agustus 2019 di Surabaya, Jawa Timur hingga gelombang protes orang Papua di Tanah Papua, Indonesia, dan dunia, merupakan bukti bahwa ruang penampung kesabaran rakyat Papua sudah tidak ada lagi, yang merupakan hasil dari penerapan hukum penuh produk kapitalisme.

Kerusuhan di Papua akibat kasus rasisme di Surabaya, juga merupakan akumulasi dari berbagai ketidakadilan negara yang dipraktikkan puluhan tahun lamanya di Papua.

Artinya, bahwa praktik ketidakadilan yang menjurus pada tindakan diskriminatif dan serba rasis hampir 57 tahun itu, cukup membuahkan hasil dengan terus lahirnya ideologi Papua merdeka.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang adalah peninggalan pemerintah kolonial Belanda itu menjadi soal lain, bahwa Indonesia sepertinya membalas dendam 340 tahun lebih bagaimana pemerintah Belanda memperlakukan Indonesia selama masa kekuasaannya di wilayah koloni Indonesia, yang kemudian diterapkan kepada orang Papua.

Tidak hanya Wetboek van Strafrecht (KUHP), melainkan juga hukum kolonial lainnya, Bala Tentara Jepang walau hanya berlaku kurang lebih 3 tahun dalam kekuasaannya, juga menerapkan dengan hukumnya Gun Sirei melalui Osamu Sirei dengan peraturan pelaksana yang disebut Osamu Kenrei, yang pernah berlaku di Indonesia, juga sepertinya menjadi akumulasi dalam penerapan hukum yang diskriminatif terhadap orang Melanesia di Papua.

Praktik diskriminasi dalam penerapan hukum yang dialami orang Papua sejak dianeksasi dalam Indonesia, sepertinya tidak dapat dipungkiri dari pengalaman Indonesia dalam penerapan hukum di zaman penjajahan pemerintah Belanda yang diskriminatif, dengan pembagian golongan manusia atas asal-usulnya.

Misalnya, berdasarkan pasal 163 jo. Pasal 131 IS, maka golongan penduduk dan sistem hukumnya dapat diberlakukan sebagai berikut:

Yang dimaksud golongan Eropa (Belanda, bukan Belanda tapi dari Eropa, Jepang, lain-lain yang hukum keluarganya sama dengan Belanda, Amerika, Australia dan lainnya) dengan sistem hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum perdata, burgerlijk wetBoek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK), hukum pidana, Wetboek van Strafrecht (WvS), hukum acara perdata menggunakan Reglement of de Burgerlijke dan acara aidana, Reglement of Strafvordering.

Bagi golongan timur asing Cina, bukan Cina (India dan Arab) diterapkan dengan sistem hukum khusus untuk China berlaku hanya BW dan WvK, sementara untuk golongan timur asing bukan Cina berlaku hukum adat mereka dengan pengecualian yang tunduk pada hukum Eropa.

Hukum pidana berlaku WvS, hukum acara tidak diatur, sehingga mengikuti hukum golongan Eropa dan terkadang mengikuti hukum pribumi.

Bagi golongan Bumi Putera (Pribumi), Indonesia asli atau keturunan lain yang sudah lama berada di Indonesia diterapkan dengan sistem hukum perdata, hukum adat, BW,WvK. Pidana diterapkan WvS, sementara hukum acara perdata digunakan Inlands Reglement (IR) dan acara pidana digunakan HIR (Herziene Inlands Reglement).

Bahwa penerapan hukum pidana oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda, sepertinya lebih pada selera kekuasaan tanpa menghiraukan asas legalitas berlakunya hukum pidana. Padahal asas legalitas sendiri merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan setiap individu.

Asas legalitas juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang.

Jadi, berdasarkan asas legalitas, tidak ada satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim, jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.

Asas legalitas, keabsahan penerapan KUHP kepada orang Papua diragukan

KUHP, yang saat ini menjadi satu-satunya produk hukum dalam kasus pidana di Indonesia, merupakan berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, produk pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang pengesahannya dilakukan melalui staatsblad tahun 1915 Nomor 732 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918.

Setelah satu tahun Indonesia merdeka, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno pada 26 Februari 1946 mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana.

Undang-undang ini menjadi dasar hukum perubahan wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama KUHP.

Awalnya KUHP hanya berlaku di wilayah Jawa dan Madura sesuai pasal XVII UU No.1/1946: “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura sejak hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden”.

Pertimbangan penerbitan ini bahwa saat itu negara belum dapat membentuk sebuah undang-undang pidana selain yang sudah ada sejak zaman penjajahan disesuaikan dengan keadaan.

Hal ini ada dalam penjelasan umum UU 1/1946, bahwa berdasar pada pasal II aturan peralihan UUD 45 dan PP No.2 Tahun 1945 yang diterbitkan pada 10 Oktober 1945, memberlakukan semua peraturan hukum pidana yang ada sejak 17 Agustus 1945, dan tidak disebutkan nama Papua dalam undang-undang yang dimaksud soal wilayah pemberlakuannya, sebab Papua pada 1945 atau 1958 belum dianeksasikan ke dalam Indonesia.

Kemudian pemberlakuan di seluruh Indonesia terjadi baru pada 20 September 1958, setelah diterbitkan UU No. 73 tahun 1958.

Pasal 1 UU No. 73/1958 berbunyi “Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia kecuali Papua.”

Diragukan legalitas penerapan KUHP di Papua juga tidak hanya pada UU No. 1/1946 dan UU No. 73/1958 melainkan asas-asas hukum pidana yang benar-benar dicederai oleh negara dalam realita penerapannya di Papua kepada orang Papua menjadi soal pula.

Dalam penerapan KUHP oleh negara kepada orang Papua terkesan keluar dari rel asas-asas hukum pidana sendiri. Sepertinya hukum kapitalisme membutakan negara dalam penerapan asas-asas pidana di Papua, penegak hukum di Papua juga terkesan tidak jeli memaknai asas-asas berlakunya pidana.

Penting untuk diketahui empat makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend (Machteld Boot: 2001) diantaranya; (1) terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (non retroaktif/nullum crimen nulla poena sine lege praevia/lex praevia); (2) Ketentuan Pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidanakan berdasarkan hukum kebiasaan (nullum Crimen nulla poena sine lege scripta/lex scripta); (3) Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege certa /lex certa); (4) ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum crimen poena sine lege stricta/lex stricta).

Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan KUHP di seluruh wilayah Indonesia diterbitkan sebelum tahun 1963, yang artinya, bahwa Undang-Undang No.73/1958 berlaku hanya untuk seluruh wilayah Indonesia sebelum Papua dianeksasi ke dalam Indonesia atau 5 tahun sebelum Papua dianeksasi pada 1963.

Dengan demikian, pemberlakuan KUHP di Papua dalam penerapannya kepada orang Papua boleh dikatakan negara salah alamat, bukan pada tempatnya sebagaimana disyaratkan dalam UU 1/1946, maupun UU 73/1985, sebab tidak ada satu pun pasal dari hanya 4 Pasal dalam UU No.73/1958 atau dari 17 Pasal UU No.1/1946, yang menerangkan soal pemberlakuannya juga kemudian otomatis termasuk pada wilayah baru yang akan direbut dan menjadi wilayah NKRI, misalnya Papua.

Praktik hukum zaman penjajahan yang diterapkan mulai dari Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dengan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie-nya atau Regerings Reglement (RR), yang diubah menjadi Indische Staatsregeling (IS), peraturan Ketatanegaraan Hindia-Belanda yang termuat dalam Staatsblad (1925) Nomor 415 yang mulai berlaku pada 1 Januari 1892 dan hukum Bala Tentara Jepang dengan Osamu Sirei yang juga turut melegalkan sebagian WvS sampai pada penerapan hukumnya, misalnya, pasal 131 IS sampai pada unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk Hindia-Belanda, Eropa, Timur Asing dan Bumiputra (Pribumi), yang ditetapkan dalam pasal 163 IS dengan penggolongan kelas turunan, sepertinya menjadi pengalaman berharga Indonesia, yang kemudian mengulangi praktiknya kepada orang Melanesia di West Papua penuh diskriminatif.

Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern sendiri muncul dari lingkup sosiologis abad pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan.

Sebelum datang abad pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dahulu.

Saat itu selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak, dan selera kekuasaanlah yang diutamakan negara dalam praktiknya di Papua.

Padahal untuk menangkal selera kekuasaan, telah hadir asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara.

Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan, maka otoritas peraturannya harus dipertanyakan.

Oleh sebab itu, penerapan pasal-pasal terutama pasal makar yang selalu dialamatkan kepada orang Papua cukup diragukan legalitasnya, selain kebiasaan penerapan asas hukum pidana yang keliru juga tidak adanya undang-undang yang mensyaratkan berlakunya KUHP di Papua dan merupakan bukti KUHP, harus salah alamat kepada orang Melanesia di Papua.

Matinya nilai Pancasila bagi OAP dalam tujuan hukum

Jika konsep beragama di Indonesia adalah mendekatkan diri pada Tuhan merupakan sebuah tujuan utama, maka dalam pengertian keadilannya adalah spiritualitas manusia yang sekunder, yang disyaratkan dalam kehidupan sosial yang damai tak mungkin tercapai dalam hukum dan keadilan itu sendiri.

Negara hukum mestinya menjamin keadilan pada warganya. Keadilan merupakan syarat terciptanya suatu kebahagiaan bagi warga negara dalam berbangsa dan bernegara. Bersambung. (*)

Penulis adalah anggota Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (AMPTPI)

 

Editor: Timoteus Marten