Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Aktivis perempuan Ice Murib pertanyakan keragu-raguan para pemimpin Papua untuk berusaha memulangkan tujuh tahanan politik kasus makar Papua yang ditahan dan akan diadili di Kalimantan Timur. Murib menyayangkan, para pemimpin Papua saat ini adalah orang asli Papua, namun tidak berpihak kepada orang asli Papua.
Berbagai pihak di Papua mengecam langkah Kepolisian Daerah Papua yang memindahkan lokasi penahanan tujuh tahanan politik (tapol) kasus makar Papua dari Jayapura ke Kalimantan Timur. Ketujuh tapol itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.
Pemindahan itu dinyatakan dalam surat Direktur Reserse Kriminal Umum Direskrimum Polda Papua Nomor : B/816/X/RES.1.24/2019/Direskrimum tertanggal 4 Oktober 2019. Pemindahan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Polisi baru memberitahu keluarga para tahanan saat pemindahan telah dilakukan. Pemindahan juga nilai melanggar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, karena dilakukan sebelum adanya persetujuan pemindahan lokasi persidangan dari Mahkamah Agung.
Berbagai protes dilakuan, akan tetapi pemerintah belum juga memulangkan ketujuh tapol itu ke Papua. Ice Murib kini mempertanyakan para pemimpin Papua, yang dinilainya ragu-ragu mengupayakan pemulangan ketujuh tapol ke Papua.
Murib menyebut mayoritas pimpinan daerah Provinsi Papua adalah orang asli Papua, sehingga seharusnya berpihak kepada orang asli Papua. “Jika mereka merasa tujuh aktivis itu adalah orang asli Papua, mengapa [mereka] tidak bisa mengambil sikap tegas untuk pulangkan tujuh aktivis politik dari Kalimantan Timur ke Papua,”kata Ice Murib saat mendampingi keluarga ketujuh tapol bertemu Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Nikolaus Kondomo di Jayapura, Kamis (23/1/2020).
Murib mengatakan orang asli papua Papua yang saat ini menjadi pemimpin Papua dipakai sebagai tameng Negara dalam mengamankan kepentingan Negara. “Saya menilai ini kegagalan pemimpin Papua-yang notabene anak Papua-dalam menyelesaikan persoalan di Papua. [Soal pemulangan itu] persoalan kecil, tetapi mereka tidak berani untuk pulangkan tujuh tahanan politik,” kata Murib.
Murib menyebut gelombang unjukrasa di Papua terjadi karena kasus persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019. Gelombang unjukrasa itulah yang kemudian berujung kepada penangkapan ratusan orang asli Papua, termasuk ketujuh tapol yang saat ini ditahan dan akan diadili di Kalimantan Timur.
Ia menegaskan, ujaran rasisme di Surabaya ditujukan kepada semua orang asli Papua, termasuk para pemimpin Papua. “Kalau pemimpin ini didominasi oleh orang asli Papua, mari menyelesaikan persoalan dengan cara orang Melanesia menyelesaikan persoalan. [Jangan] membiarkan masyarakatnya menderita di daerah yang tidak ada orang Papua,” katanya.
Murib menegaskan, orang Papua membutuhkan keadilan, bukan membutuhkan simbol kepemimpinan orang asli Papua yang tidak berpihak kepada orang asli Papua. “Orang Papua sudah menderita karena perlakuan Negara yang diskriminatif,” kata Murib.
Wilhelmus Hilapok, ayah Hengky Hilapok, mengatakan orang Papua melakukan protes di mana-mana karena kasus ungkapan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. “Dampak dari ujaran rasisme itu, orang papua melakukan demonstrasi. Lalu ketujuh tapol ditangkap,” kata Wilhelmus Hilapok.
Wilhelmus menyampaikan kekesalannya terhadap polisi yang tidak melayangkan surat pemberitahuan bahwa anaknya telah ditangkap. Polisi juga tidak berkabar ketika membawa anaknya ke Kalimantan Timur. “Ketika anak saya di bawa [ke Kalimantan Timur], saya berada di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Papua. Saya terkejut, kenapa [polisi] tidak memberitahu kami,” katanya.
Hilapok mengigatkan kembali pesan Gubernur Papua, bahwa perkara ketujuh tapol itu harus disidangkan di Papua. “Oleh sebab itu, orangtua berpegang pada janji ini. Mereka [harus] dipulangkan [ke Papua], karena mereka dipindah tanpa sepengetahuan kami,” kata Wilhelmus.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G