Hukum dan rasa aman (Sebuah refleksi)

Ilustrasi pengadilan Papua
Foto ilustrasi - pixabay.com
Foto ilustrasi – pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Vredigando Engelberto Namsa, OFM

Read More

Diskursus hukum menempatkan legalitas de jure dan praksis de facto di tengah teka-teki realitas publik. Dunia hukum menjelma sebagai sebuah menara yang kuat, entitas yang kokoh, perkasa dan lembut seakan termuat dalam dunia magis yang menyimpan misteri, yang di sisi lain menakutkan dan membebaskan.

Diskursus hukum sebagai objek formal pengetahuan seringkali berbenturan dengan subjek penafsir (atau orang yang melakukan tafsiran hukum) di tengah lingkaran kekuasaan, kekayaan dan kemapanan. Daya magis orang hukum mengalahkan ketidaktahuan masyarakat akan ranah hukum dalam kenyataan kuasa dan modal.

Situasi hukum terbentang antara tegangan kebutuhan akan rasa aman dan manipulasi ayat-ayat hukum demi satu atau banyak kepentingan yang mesti dikawal dan dilindungi. Kekerasan atas sebuah tuduhan dan tindakan kriminalitas merambah di tengah kompleksnya krisis bangsa ketika masyarakat membutuhkan kepastian untuk sebuah hidup yang bahagia.

Sebaliknya penguasa dan pemodal sanggup merekayasa hukum demi menghalalkan hegemoni suatu kekuasaan dan kekayaan dalam keistimewaan-keistimewaan yang diskriminatif. Ruang hukum menjadi perebutan ketulusan rasa aman masyarakat dan kekuatan kaum elite mempertahankan mekanisme kekuasaan (Scheltens, 1983).

Hukum dipertaruhkan, untuk melindungi manusia serentak bisa dimainkan atau dibelokkan arahnya demi menunjang suatu kebutuhan dalam sistem. Kebaikan tertinggi yang datang secara tulus harus memberi roh pada praksis hukum.

Kita mungkin sudah seringkali mendengar dalam Injil tentang kisah orang Samaria yang baik hati. Ia sebenarnya menjadi orang yang berani turun dari kudanya dan menolong korban (penyamun yang hampir saja meninggal) karena ulah beberapa orang yang menjarahnya. Ia sebenarnya meninggalkan status dan jabatan. Ia turun untuk membantu orang yang menderita.

Dari cerita ini sebenarnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang Samaria yang baik hati ini menegaskan hukum yang penuh belas kasih dalam kekuatan hukum Yahudi yang berlaku saat itu (Paul, Orang Samaria yang Baik, 1989).

Dari cerita di atas dan kenyataan saat ini, maka kita boleh bertanya: semangat apakah yang menjiwai pembentukan hukum manusiawi? Apakah tradisi hukum saat ini membenarkan ketidakadilan dan penindasan atas nama nasionalisme? Apakah orang-orang lemah (masyarakat) yang mestinya memberikan semangat pada hukum?

Pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan yang sanggup dipahami oleh suatu ketulusan dan kebaikan yang melampaui sekat-sekat atau kepentingan produk manusia yang berkuasa. Hukum hadir sebagai wajah manis namun penuh kritikan pedas atas struktur hegemoni kekuasaan dan kekayaan.

Hal ini menampilkan dua hal penting: Pertama, semangat nasionalisme seringkali menegakkan hukum dalam suatu bangsa tidak secara merata dan penuh jaminan akan sebuah kebebasan. Himpitan pengkhianatan atas cita-cita suatu hukum menuntut otoritas yang kuat;

Kedua, sejarah menunjukkan bahwa orang-orang lemah selalu akan kalah bila berhadapan dengan hukum yang dijalankan atas dasar kepentingan. Orang-orang kalah secara take for granted mesti menerima nasib perlakuan tidak adil dan tak mengenal jalan belas kasihan.

Semangat hukum yang benar membenturkan praksis hukum dalam dunia politik. Masyarakat membutuhkan hukum yang benar-benar menjamin kebebasan dan kebahagian. Hal ini bisa terjadi kalau hukum harus melahirkan ketegasan, kokoh dan kuat.

Namun situasi hukum yang memihak tetap dikritik. Sebagaimana hukum terjadi berbeda bila berbenturan dengan kekuasaan, kekayaan dan keistimewaan para elite.

Setiap orang membutuhkan dan harus memiliki hak akan rasa aman di tengah kemajuan dunia dewasa ini. Kita sepertinya sedang berjalan dalam hutan rimba yang sedang menantang, di mana yang kuat akan menang dan yang lemah akan tersisihkan atau menjadi kalah, dalam memperjuangkan supremasi hukum dan supremasi moral dalam tatanan hidup di masyarakat.

Prinsip hukum rimba menghadirkan sebuah pilihan baru di tengah kemajuan dunia modern. Secara sederhana hukum dibentuk demi keteraturan yang menjamin, serentak mencegah manipulasi hukum demi kepentingan kekuasaan dan kekuatan modal. Seringkali yang kuat akan dilindungi dan yang lemah bisa saja menjadi tumbal.

Kita tetap membutuhkan hukum untuk keamanan dan kepastian, namun memanipulasi hukum demi kepentingan kekuasaan dan kekuatan modal menjadi momok dalam kenyataan dunia modern ini.

Karl Heinze menegaskan arti penting hukum manusia sebagai penyempurnaan hukum kodrati dalam bingkai mencapai suatu keadilan dan rasa aman bagi manusia.

Karl Pesche menyebutkan tiga alasan penting yakni; pertama, hukum manusia memperjelas ketidakpastian dan penerapan lebih jauh dari hukum kodrati;

Kedua, hukum manusiawi menetapkan norma-norma tingkah laku konkret, terutama manakalah hukum moral kodrati dapat dipenuhi dengan cara berbeda;

Ketiga, hukum manusiawi dibutuhkan untuk menjamin perlindungan bagi nilai-nilai yang sangat penting bagi kesejahteraan umum dan rasa keadilan yang nyata.

Bila mengacu pada tiga alasan ini, masyarakat Papua membutuhkan hukum yang benar-benar menjamin keadilan demi suatu nilai yang luhur. Kenyataan hukum kita masih menghadirkan sejuta misteri di atas cita-cita dan idealisme.

Masyarakat membutuhkan hukum sebagai koridor pasti agar dapat menggapai rasa aman dan keadilan. Di sisi lain, masyarakat pun membutuhkan rasa keadilan, ketika ketidakadilan dan kekerasan terselubung dilindungi oleh produk hukum yang berlaku.

Kisah kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi mestinya menjadi keprihatinan utama di Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa melihat keprihatinan faktor-faktor yang lain.

Hukum mestinya melindungi orang-orang yang lemah dan tak berdaya. Masyarakat membutuhkan hukum yang benar-benar menjamin kebebasan, keadilan dan kenyamanan akan hak asasi manusia, yang pada intinya melepaskan segala kepentingan pribadi, golongan maupun atas nama keutuhan suatu bangsa. (*)

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Related posts

Leave a Reply