Sebentar lagi ia melahirkan. Mungkin saat tulisan ini tayang, ia sudah melahirkan anak perempuan cantik. Usianya masih muda, dan ia HIV positif.
Tubuhnya segar, wajahnya cerah. Gerak geriknya aktif, tak menunjukkan gelagat sakit. Sejak mengetahui dirinya positif, ia rajin minum ARV dan menjaga diri. Sudah dua kali ia hamil.
Kakak laki-lakinya juga HIV positif. Namun sayang, karena tak jaga diri baik, dan tak mampu hentikan kebiasaannya minum minol (minuman beralkohol), umurnya tak panjang. Kesehatannya terus menurun dan akhirnya meninggal beberapa bulan lalu.
Kedua kakak beradik ini mewakili potret Orang Asli Papua (OAP) yang hidup dengan HIV/AIDS saat ini. Mereka keluarga dekat saya dari pihak suami.
Orang Asli Papua yang positif HIV semakin banyak yang terpaksa meninggal ketimbang hidup baik. Terpaksa meninggal bukan saja karena tak jaga diri baik dan tak minum obat, tetapi karena pengetahuan, informasi dan layanan kesehatan sangat minim, bahkan tak ada.
Menurut data Dinkes Provinsi Papua, per Desember 2018, ada 20.932 perempuan dan 18.949 laki-laki hidup dengan HIV/AIDS di Provinsi Papua. 9.380 orang berusia 20-24 tahun; 4.706 orang baru berusia 15-19 tahun; dan yang berusia antara 0 – 14 tahun ada 1005 orang! Sungguh menyedihkan.
Artinya, hampir setengah jumlah ODHA Papua adalah anak muda. Dan masa depan generasi muda Papua saat ini sedang benar-benar terancam jika kalangan mudanya tidak punya pengetahuan dan informasi yang cukup soal HIV/AIDS, penyebaran dan penanganannya.
Cari tau dan sebarkan informasi
Pernyataan Ketua KPA Provinsi Papua, Yan Matuan, di Koran Jubi (20/2/2018) patut disesalkan karena bisa menyesatkan. Dia menganggap minum ARV bukan solusi karena tidak akan menyembuhkan.
“Kemampuan ARV sebatas itu saja, jadi pertanyaan sampai kapan ODHA akan mengonsumsi ARV? Karena obat ini ada batasannya, sama saja minum tiap hari namun akan mati juga karena tidak ada batas waktu”, demikian kata Matuan.
Sebenarnya HIV/AIDS itu bukan vonis mati bagi penderitanya. Tidak benar orang dengan HIV/AIDS, bahkan yang rutin minum ARV, tetap akan mati. ARV itu bukan obat “penyembuh” ODHA, melainkan “penyambung” daya tahan tubuh ODHA.
Harapan hidup ODHA akan jauh lebih besar jika ia disiplin minum ARV dan mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Keduanya harus satu paket, bukan pilihan. Karena virus HIV itu menyerang daya tahan tubuh, sehingga membuat penderitanya jadi lebih gampang sakit jika tidak jaga diri.
Virus ini tidak (belum) bisa dihilangkan, tetapi ODHA bisa hidup sampai tua dan lama. Buktinya sudah banyak.
Seorang akademisi dan filsuf ODHA hebat yang saya kenal, Daniel Bensaid namanya (warga Perancis berdarah Aljazair), diperkirakan dokter hanya mampu bertahan hidup hingga tahun 1992 sejak ia positif HIV di tahun 80-an. Namun ia baru meninggal tahun 2015 lalu di usia yang sudah lanjut. Di masa sakitnya, produktivitas intelektualnya justru meningkat.
Seorang ODHA, aktivis HIV/AIDS, di Belanda sudah hidup 34 tahun sejak ia positif HIV. Hingga saat ini dia terus aktif berkampanye tentang harapan hidup bagi ODHA dengan rutin minum obat.
Bahkan sekarang mulai ditemukan obat sejenis ARV yang diinjeksi (suntik) dan tak harus dikonsumsi tiap hari. Bahwa hari ini Indonesia sedang kesulitan ARV, itu masalah politik kesehatan, bukan berarti ARV itu jelek. Mencari alternatif dari ARV itu boleh, tetapi harus berdasarkan pengetahuan dan riset yang baik, bukan dari keinginan emosional belaka.
Sebelum saya menginjak Tanah Papua ini, Kakak laki-laki saya juga meninggal tak lama setelah mengetahui dirinya positif HIV. Selama dua bulan saya merawatnya intensif sejak virus itu diketahui bersarang di tubuhnya. Sejak awal dia sadar dirinya beresiko, tetapi ia bebal dan tidak mau memeriksakan diri.
VCT yang terlambat, alias tes setelah tubuh “drop”, biasanya ditandai dengan sakit paru-paru hingga TBC yang parah, tubuh yang mengurus dengan cepat, hingga rongga mulut yang hampir memutih karena sariawan parah dan diare setiap hari. VCT dengan hasil positif dalam kondisi seperti itu banyak berujung kematian karena terlambat.
Kematian ini sebenarnya bukan karena HIV, tetapi karena penyakit lain yang menyerang organ tubuh menjadi sulit disembuhkan karena daya tahan tubuh yang telah diserang virus telah berada di titik terendah. Ditambah, biasanya, kondisi psikologis penderita yang kehilangan semangat pasca mengetahui dirinya positif HIV.
Kakak saya akhirnya meninggal karena pembengkakan lever akibat obat TB paru yang negatif terhadap lever. Dia belum sempat konsumsi ARV. Karena ARV hanya bisa dikonsumsi setelah penyakit yang membuat “drop” sembuh dulu. Karena itu pemeriksaan dini adalah kunci, agar tidak jatuh sakit.
Saya belajar banyak soal HIV/AIDS saat merawat dia. Dan saya belajar sendiri, membaca dan banyak bertanya ke dokter, dan para aktivis HIV/AIDS. Berharap hanya dari petugas medis untuk tangani ODHA itu akan merugikan kita sendiri, karena kualitas layanan kesehatan di Indonesia belum pro rakyat terlebih lagi di Papua.
Bagi generasi muda terdidik, pertama-tama, harus mengetahui cara penularan virus HIV dan perbuatan yang berisiko. Seks tanpa kondom dengan penderita adalah cara penularan paling banyak di kalangan muda.
Namun hal ini justru jadi topik yang tidak mau dibicarakan terbuka. Padahal bagi generasi muda Papua saat ini, akibat perubahan sosial dan budaya yang begitu cepat, masalah seksual dan reproduksi adalah topik penting yang harus dibicarakan.
Kedua, mau memeriksakan diri (melakukan VCT). Ketiga, disiplin minum ARV (jika positif) dan mengubah gaya hidup agar lebih sehat. Keempat, mencegah penularannya dengan kondom dan tak memakai jarum suntik bergantian.
Penderita HIV/AIDS di Papua mayoritas adalah Orang Asli Papua (OAP), yang meninggal pun adalah OAP. Maka yang harus bekerja lebih keras menanggulanginya juga OAP sendiri. Bila tidak, maka OAP memang hanya tinggal identitas di dalam cerita dan buku pelajaran.
Saya bukan OAP, tetapi saya peduli karena anak saya harus tahu siapa leluhurnya dan perjuangan mereka atas identitas di atas tanahnya. Saya ingin dia tahu leluhurnya mati dibunuh tentara karena berjuang untuk kedaulatan tanah airnya, bukan mati dan habis karena HIV/AIDS.(*)
Penulis adalah Editor Koran Jubi dan Jubi.co.id serta Ibu satu anak
Editor : Edho Sinaga