Papua No. 1 News Portal | Jubi
Apia, Jubi – Selama pandemi COVID-19, angka pengaduan Kekerasan Dalam Rumah Tanggal atau KDRT telah melonjak secara global, termasuk di Kepulauan Pasifik. Wilayah Kepulauan Pasifik dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi di dunia. Sejumlah lima feminis dari Pasifik memilih untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2021 dengan berbagi pandangan mereka tentang penanganan kekerasan berbasis gender dan ketimpangan gender.
Seorang perempuan asal Samoa menggunakan organisasi non-pemerintah yang ia pimpin, namanya Brown Girl Woke, untuk memberdayakan anak-anak perempuan di sejumlah sekolah dasar di pedesaan. Pendiri organisasi itu, Maluseu Doris Tulifau, memulai inisiatif ini ketika ia masih berada di Amerika Serikat (AS), saat ia berkuliah di sana.
Beberapa tahun kemudian dia memutuskan untuk memulai perjalanan pribadinya sebagai penyintas KDRT, dengan pindah kembali ke Samoa dan mendalami isu and data KDRT di tanah kelahirannya. “Di Samoa, data tentang KDRT ada, tetapi yang tidak ada adalah solusinya. Saya lalu memutuskan untuk membawa organisasi saya dari AS ke Samoa, karena saya melihat adanya kebutuhan akan organisasi seperti itu. [Ada kebutuhan] akan tempat yang aman bagi anak-anak muda Samoa. Generasi penerus inilah yang akan menjadi solusi terhadap persoalan tingginya angka KDRT di negara ini,” ucapnya.
Baca juga: Aksi International Women’s Day di Kota Jayapura dibubarkan polisi
Maluseu mengatakan pesannya dalam menghadapi ketaksetaraan gender adalah memastikan bahwa setiap generasi perempuan terus membuka pintu dan meneruskan perjuangan kepada generasi berikutnya. Ia mengakui, upaya untuk menghapuskan ketimpangan gender sangat sulit dilakukan dalam sistem masyarakat yang sangat patriarki.
“Sangat sulit bagi kami [yang tinggal] di negara yang sangat patriarki. Kalian merasa tidak ada orang dapat yang membantu kalian, dan kalian tidak dapat membantu orang lainnya. Ketika saya terjun ke bidang itu, saya selalu diingatkan bahwa saya ingin memastikan bahwa pintu yang saya buka saat ini akan mempermudah anak-anak perempuan setelah saya untuk masuk melalui pintu tersebut,” ujar Maluseu.
Roshika Deo dari Fiji adalah pendiri Be The Change di Fiji. Be The Change merupakan gerakan pro-feminisme, LGBTIQ, difabel, Hak Asasi Manusia, dan lingkungan. Deo mengatakan pendidikan seks bagi remaja itu bukan hanya mengenai berhubungan seks, tetapi belajar tentang kesehatan reproduksi seksual, hak-hak, empati, dan kesetaraan.
Baca juga: Oposisi Fiji: RUU Kepolisian yang baru eksesif
“Ketika kita belajar tentang kesetaraan, apa saja hak-hak kita, apa itu hubungan yang sehat. Itulah informasi yang membantu kita untuk mengembangkan rasa empati, harkat dan martabat, integritas, dan otonomi atas tubuh kita dan hak-hak kita. Itulah pendidikan seksual yang komprehensif,” jelasnya.
Deo lalu menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian, memberikan informasi yang ilmiah tentang pendidikan seks berbasis HAM kepada orang-orang muda dapat mengurangi kekerasan berbasis gender. Jika upaya itu terus dilakuan, ia yakin keseteraan gender akan terbangun di Fiji.
“Jika kita terus-menerus menyampaikan pesan kesetaraan yang kuat dan tegas antara laki-laki, perempuan, dan orang-orang yang bergender selain itu, jika kita menanamkan nilai-nilai peran-peran gender yang tidak berdasarkan stereotip, dan mendidik anak-anak kita untuk memiliki rasa hormat, dan [mengenalkan] apa arti persetujuan dalam hubungan, kita sebenarnya mengatasi banyak ketaksetaraan yang mengakibatkan kekerasan berbasis gender,” tambahnya.
Baca juga:Mantan Wakil PM Samoa jadi ketua partai politik FAST
“Banyak pendidikan seks tidak mencakup LGBTQI+ dan isu-isu mereka, serta kaum difabel dan isu-isu mereka. Terkadang isu-isu mereka dibahas, tetapi itu dibatasi atau dijadikan stigma atau dibahas dengan cara-cara yang protektif, dan ini tidak bersifat memberdayakan,” kata Deo.
Deo meyakini pergeseran perilaku antar generasi akan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan ketaksetaraan gender. “Untuk benar-benar melihat perubahan dalam masyarakat, ini adalah kesempatan untuk menggunakan data dan hasil penelitian dan menghilangkan misinformasi yang seringkali terjadi. Kita perlu memulai pendidikan seks bagi di wilayah kita,” simpul Deo.
Menurutnya, pemerintah dan pembuat kebijakan memiliki peran kunci dalam memastikan ada perubahan tersebut, karena pada akhirnya merekalah yang membuat kebijakan dan mengimplementasikannya. “Menurut saya, penting sekali untuk melibatkan komunitas dan orang-orang muda. Anda perlu memastikan isi informasi itu relevan dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka,” tambahnya.
Baca juga: Jumlah kasus COVID-19 di Papua Nugini meningkat tajam
Juliana Zutu, Koordinator Nasional SAFENET di Kementerian urusan Perempuan, Pemuda, Anak & Keluarga dari Kepulauan Solomon, mengatakan penting juga untuk menasihati orangtua agar terlibat dalam pendidikan anak-anak perempuan mereka. Keterlibatan orangtua itu tidak hanya menguntungkan para anak, tetapi juga membuat keluarga, komunitas, dan negara mereka lebih aman dan sejahtera.
“Pendidikan itu penting karena akan memberi mereka pengetahuan dan kemampuan. Ketika mereka menghadapi tantangan dalam pekerjaannya sebagai pemimpin perempuan, mereka [akan] tahu bagaimana menghadapi, menyikapi, dan juga membantu masyarakat,” kata Zutu.
Zutu melihat perubahan positif pada anak-anak perempuan dalam bidang pendidikan di Kepulauan Solomon, di mana data pendidikan menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan yang terdaftar di sekolah menengah atas daripada laki-laki. “Kami mulai melihat adanya peningkatan keterlibatan perempuan dalam pekerjaan yang umumnya didominasi oleh laki-laki, seperti teknik, teknisi listrik, teknologi informasi. Akan tetapi, masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan untuk memastikan kesetaraan di negara ini,” kata Zutu.
Dari Fiji, Jana Ali-Traill pun menambahkan pandangannya dari konteks negaranya. Ia mengatakan banyak perubahan yang akan datang berkat adanya perubahan perundang-undangan di Fiji. Politisi Fiji, Lenora Qereqeretabua, menyatakan bahwa pendidikan tentang kesetaraan gender perlu dimulai sejak dini untuk menjadi fondasi bagi perempuan muda. (RNZ Pacific)
Editor: Aryo Wisanggeni G