Hari masyarakat adat, ini desakan Gemphar Papua

Ilustrasi OAP saat demo - Jubi/Dok
Ilustrasi OAP saat demo – Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Tahun 1982 Kelompok Kerja dalam Populasi Penduduk Asli dibentuk dan terus diperjuangkan 1985 hingga draftnya diakui tahun 1993 dan diserahkan kepada PBB 1994, dan baru disahkan menjadi UU Masyarakat Adat, 13 September 2007.

Read More

Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat pribumi di Indonesia diatur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 pasal 6 ayat 1 dan 2, Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Bab I Pasal 1 poin 12, juga keputusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012, yang mengakui hutan adat bukan hutan negara, serta Permendagri Nomor 5 tahun 2007 Bab II Pasal 2, dan Peraturan Menteri Agraria No 9 Tahun 2015.

Ketua Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (Gemphar Papua), Samuel Womsiwor, mengatakan pembangunan ekonomi mengancam peradaban masyarakat adat Papua sejak dianeksasi 1 Mei 1963.

“Tahun 1967 wilayah Papua dijadikan target pertama penanaman modal asing di Indonesia, lewat Undang-Undang Penanaman Modal Asing, yakni perusahaan raksasa PT Freeport (1967) diizinkan Indonesia mencaplok 2,6 juta hektare yang menyebabkan rusaknya tatanan masyarakat Papua di Timika,” katanya kepada Jubi di Jayapura, Selasa (20/8/2019).

“Belum lagi dengan dibukanya perusahaan minyak dan gas, serta perusahaan sawit pertama di Sorong (1982) dan Keerom (1984), serta mega proyek MIFEE di Merauke, yang telah merusak lebih dari 20 juta hektare wilayah masyarakat adat hingga sekarang ini,” lanjutnya.

Menurutnya, atas nama pembangunan, pemerintah menggunakan militer dan berbagai kekuatan legal dan investasi asing, yang mengakibatkan pelanggaran kemanusiaan hingga sekarang.

“Percepatan pembangunan dilakukan dengan mengubah pola sentralistk menjadi desentralisasi (UU 22/1999) dan diberikan otonomi khusus (Tab MPR IV/1999) sebagai langkah Indonesia untuk meredam aspirasi Papua merdeka,” katanya.

Di samping itu, konfrontasi Indonesia terhadap Papua, dilancarkan dengan intervensi pembangunan, mulai dari diterbitkannya Inpres Nomor 1 tahun 2003, untuk percepatan pemekaran, pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Papua.

Lalu era otsus berkembang sembilan kabupaten menjadi 42 kabupaten/kota di Tanah Papua, disamping berlakunya intervensi UU Otsus, seperti: UP4B, MP3EI (UU No 11/2011), Otonomi Daerah (UU 23/2014), UU Desa (UU 6/2014), Inpres no 9 tahun 2017 tentang akselerasi pembangunan Papua.

Dia menyitir Papua Dalam Angka Tahun 2018 dan Oke Finance, yang menyebutkan jumlah perusahaan dan industri di Papua mencapai 9.053 di seluruh Papua.

“Freeport yang menghasilkan 116 miliar per hari (catatan ahli Geolog pada tahun 2017), lalu MIFEE dan perusahaan sawit besar di Papua yang telah merauk keuntungan hingga 200 triliun rupiah (Sawit Watch 2017).”

Pasalnya, akhir-akhir ini, masyarakat pribumi Merauke diperhadapkan dengan ancaman perampasan lahan seluas 4,26 juta hektare, Timika 2,6 juta hektare akibat perebutan perusahaan saham Freeport, juga rekayasa Kejadian Luar Biasa (KLB), dan relokasi masyarakat Papua di Asmat untuk kepentingan investasi 15 miliar barel minyak.

Dia mengatakan 26 juta hektare dari total 46 juta hektare luas wilayah Papua dirampas atas nama pembangunan dan investasi. Progresnya investasi tersebut didukung penuh oleh kekuatan dan kebijakan negara.

“Bupati, walikota, gubernur, kalau ada investor yang berkaitan dengan industri apapun, tutup mata, beri izin,” kata Womsiwor, mengutip Presiden Jokowi, 12 Maret 2019 di Tangerang.

Gempar Papua pun menolak kejahatan Freeport sejak 1967, yang telah mengeruk kekayaan dan melakukan pelanggaran HAM kepada masyarakat adat Kamoro dan Amungme.

Mereka juga menolak mega proyek pangan nasional MIFEE dan milterisasi dalam rangka upaya penyebarluasan investasi di seluruh tanah Papua.

“Kami mendesak negara Indonesia untuk membuka status Hak Guna Usaha (HGU) semua investas kepada masyarakat.”

Pihaknya juga meminta semua militer nonorganik yang beroperasi di Nduga ditarik, serta mendesak Indonesia membuka akses jurnalis dan pekerja kemanusiaan lokal, nasional dan internasional di Nduga dan Papua.

Pacific Island Forum (PIF) juga diminta untuk serius mendorong tim pencari fakta ke Papua untuk menyelidiki situasi HAM masyarakat adat Papua.

“Kami menolak kebijakan negara Indonesia dalam percepatan perluasan lahan perkebunan sawit yang mencaplok wilayah masyarakat adat Papua, dan perhutanan sosial dan TORA di wilayah adat yang melecehkan konstitusi dan masyarakat adat.”

“Kami mendesak Presiden Indonesia mencabut Prepres 40 tahun 2013 tentang keterlibatan militer dalam proyek pembangunan trans Papua.”

“Kami menolak rencana Negara Indonesia untuk membangunan 31 KODIM di Wilayah Timur Indonesia, termasuk Tanah Papua, serta Pembentukan KOOPSUS (Komando Operasi Khusus), karena akan menambah deretan kasus pelanggaran HAM terkhusus Masyarakat Adat Papua,” katanya. (*)

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply