Harga mati yang rasis (catatan refleksi)

Foto ilustrasi, posko mahasiswa eksodus wilayah Meepago di Nabire - Jubi. Dok
Ilustrasi Posko mahasiswa eksodus wilayah Meepago di Nabire – Jubi. Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Bernard Koten

Read More

Kilas balik kejadian rasisme

Kebanyakan dari kita sudah tahu secara baik dan benar kejadian 15-18 Agustus 2019 di Surabaya dan Malang, Jawa Timur, saat demo mahasiswa Papua menolak New York Agreement (Perjanjian New York), 15 Agustus 1962. Perjanjian ini diyakini sebagai salah satu ‘kran’ yang membuka persoalan (pelanggaran HAM) di Tanah Papua.

Hampir setiap tahun, mahasiswa Papua (di Papua dan luar Papua) dan masyarakat yang kritis terus berdemo dan diskusi terkait Perjanjian New York 1962. Pada 2019, mahasiswa Papua di beberapa daerah yang dimotori Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi penolakan perjanjian tersebut.

Ternyata aksi ini berbuntut panjang. Tanggal 16 Agustus 2019 di asrama mahasiswa Papua Jl. Kalasan No. 10, mahasiswa Papua didatangi oknum TNI, dan menggedor gerbang asrama sambil mengucapkan “anjing, monyet, babi, binatang”. Beberapa saat kemudian datang puluhan anggota ormas lalu melempari asrama dengan batu. Massa juga menyanyikan yel-yel “usir mahasiswa Papua”.

Peristiwa yang dialami mahasiswa di Surabaya dan Malang ini menjadi viral dan berdampak ke Tanah Papua. Pada 19 Agustus sampai September 2019, mahasiswa dan masyarakat di Tanah Papua mengecam dan mengutuk tindakan rasis tersebut.

Publik di Tanah Papua mengharapkan tindakan hukum yang jelas bagi para pelaku rasisme di Surabaya dan Malang. Media tulisan dan audio visual lokal Papua, luar Papua (Jakarta) dan internasional juga mendukung aksi perlawanan rasisme dari Tanah Papua.

Berita tentang penolakan terhadap tindakan rasisme, pengungkapan dan proses hukum terhadap para pelaku rasisme cukup menjadi topik hangat yang dibahas. Hampir semua daerah di Tanah Papua turun jalan untuk menolak, mengutuk dan mendesak pelaku rasisme segera ditangkap dan diadili.

Aksi turun jalan di beberapa daerah di Tanah Papua ada yang berujung amuk massa (Kota Jayapura, Sorong, Wamena, Nabire, Waghete, Fakfak) pascaaksi pertama (19/8/2019). Sedangkan di Manokwari, aksi pertama berujung amuk massa. Beberapa bangunan terbakar. Aksi selanjutnya dilakukan di Waghete (Deiyai), Enarotali (Paniai), Merauke, Bintuni, Dekai (Yahukimo), Wamena (Jayawijaya), Serui (Kepulauan Yapen), dan Byak.

Harga mati berujung rasisme

Rentetan aksi turun jalan di Tanah Papua sepertinya mengganggu para penegak hukum Indonesia untuk memroses pelaku-pelaku rasisme di Malang, Surabaya, dan kota-kota lainnya. CNNindonesia.com (3/9/2019) menulis, salah satu pelaku rasisme berinisial SA menyampaikan permohonan maaf kepada publik.

“Seluruh saudara-saudaraku yang berada di Papua, saya mohon maaf sebesar-besarnya apabila perbuatan yang tidak menyenangkan. Saya atas nama personal dan mewakili warga Surabaya, meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada saudara-saudara Papua di tanah air Indonesia atas perbuatan yang saya lakukan. Bagi saya NKRI harga mati. Surat pernyataan ini saya buat tanpa ada unsur paksaan dan tekanan dari pihak manapun.”

Penyidik Polda Jatim menetapkan SA sebagai tersangka dan resmi ditahan di Mapolda Jatim hingga 20 hari kedepannya. Liputan6.com menulis, salah satu dalang/korlap dalam tindakan rasisme Tri Susanti juga ditetapkan menjadi tersangka–TS adalah Wakil Ketua Ormas FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri). Informasi ini juga dirilis oleh trito.id, TS meminta maaf atas tindakannya.

“Kami atas nama masyarakat Surabaya dan rekan-rekan ormas menyampaikan permohonan maaf apabila ada masyarakat atau pihak lain yang sempat meneriakkan itu. Kami hanya ingin menegakkan Bendera Merah-Putih putih di sebuah asrama yang selama ini mereka menolak memasang. Jadi, ini bukan agenda yang pertama kali.”

Dari pengakuan dan cerita sepintas di atas, beberapa hal perlu dijernihkan;

Pertama, patut diberi apresiasi bahwa tersangka berani mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada publik Papua, khususnya mahasiswa Papua. Selain itu, penegak hukum pun bertindak untuk menangkap para pelaku rasisme tersebut;

Kedua, permintaan maaf dan proses hukum (penetapan dan penangkapan pelaku rasisme) itu baru terjadi ketika ada penolakan besar-besaran di Tanah Papua.

Seandainya tidak ada suara (manusia Papua) yang menolak tindakan rasis tersebut, para penegak hukum (Indonesia) pasti diam dan menganggap hal itu biasa saja. Karena dari beberapa pengalaman yang sudah terjadi, tindakan dan ujaran rasis sudah dialami dan diterima orang asli Papua (tapi waktu itu tidak ada aksi tolak secara besar seperti saat ini). Saya mengutip Andy Irfan Junaedi, Sekjen Federasi KontraS dalam acara Mata Najwa, Nyala Papua, “ini adalah salah satu kejadian dari sekian kejadian yang sering terjadi di asrama Kalasan Surabaya”;

Ketiga, menarik bahwa pernyataan yang sama dari kedua tersangka di atas bahwa mereka melakukan tindakan rasis terhadap mahasiswa Papua karena terlalu mencintai Indonesia. Beberapa pertanyaan konyol lantas muncul di benak saya: apakah wujud mencintai Indonesia harus dengan sikap membenci dan melakukan tindakan rasis terhadap sesama yang lainnya? Kalau terkait tidak dipasangnya bendera merah putih di asrama Papua, mengapa mereka (tersangka) tidak melakukan hal sama di asrama atau bangunan publik lainnya? Apakah bangunan lain juga sudah memasang bendera merah putih? Saya teringat akan pernyataan Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dalam acara Mata Najwa, Masa Depan Papua.

“Membela NKRI itu bukan membela slogan, integritas wilayah tetapi membela sendi-sendi dasar berrepublik ini, sendi-sendi dasar perikemanusian dan keadilan itu.”

Hukum yang masih diskriminatif

Pasca penolakan rasisme besar-besaran di Tanah Papua, dimanfaatkan dengan baik oleh negara Indonesia (alat negara), dengan menangkap massa aksi di Tanah Papua.

Pernyataan membela slogan “NKRI Harga Mati” harus dilakukan walaupun hukum yang sudah ditegakkan berpuluh-puluh tahun harus dilawan oleh negara sendiri.

Tuduhan–proses tuduhan atau kambing hitam–terkesan dengan paksa dilakukan oleh negara terhadap kelompok masyarakat dan OAP. Menurut alat negara aksi yang berujung rusuh merupakan dalang dari kelompok atau orang tersebut. Alhasil, sekitar 42 orang ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, korban nyawa dan luka-luka pun cukup besar, baik dari masyarakat sipil maupun dari alat negara sendiri.

Pada bagian ini saya memilih untuk membahas penegakan hukum yang diskriminatif di Tanah Papua bagi OAP. Saya bukan ahli hukum dan tidak belajar hukum. Saya hanya mengikuti beberapa penjelasan yang saya dengar dan baca dari para advokat dan penggiat hukum.

Hampir semua penggiat hukum di Tanah Papua yang saya kenal menilai, proses penangkapan di Tanah Papua (Agustus – Oktober 2019) tidak melalui mekanisme hukum yang benar dan tepat sesuai KUHP.

Beberapa siaran pers yang dikeluarkan para penggiat hukum dan advokat di Tanah Papua menjelaskan tentang diskriminasi hukum tersebut. Penangkapan sewenang-wenang (tidak mengikuti prosedur hukum), pemindahan tahanan yang tidak sesuai proses hukum, tidak menangkap para pelaku pembuat kerusuhan sebenarnya, dan beberapa pernyataan lainnya–yang pada dasarnya mendiskriminasi OAP dalam bingkai hukum NKRI.

Bicara penegakan hukum dalam aksi di Tanah Papua, saya mencoba melihat kejadian-kejadian sebelumnya. Saya beberapa kali terlibat dalam aksi damai–turun jalan–untuk menyuarakan persoalan ketidakadilan, pelanggaran HAM dan lingkungan di Tanah Papua. Kesannya aksi itu dianggap oleh negara sebagai bentuk menghanguskan negara. Padahal aksi damai tersebut mengingatkan negara hukum (pejabat negara) untuk melihat dirinya dan berubah. Para demonstran sepertinya dianggap sebagai penjahat atau teroris oleh negara.

Untuk melawan hal ini, negara menggerakkan alat negaranya dalam kekuatan besar. Tindakan ini berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Padahal OAP memperjuangkan hak-haknya dan keadilan bagi tanah dan manusianya. Suara itu adalah hak asasi yang umum untuk semua manusia di seluruh dunia.

Kita belum tahu siapa pelaku sebenarnya aksi berujung rusuh dan menelan korban nyawa serta bangunan di beberapa daerah di Tanah Papua. Masyarakat asli Papua dan mereka yang sudah menyatu dengan tanah dan OAP akhirnya menjadi korban kepentingan dan nafsu penguasaan dari kelompok dan orang-orang tertentu. Karena mereka yang ditangkap sebenarnya bukan pelaku kerusuhan. Mereka yang ditangkap, ditahan juga merupakan korban kepentingan dan nafsu dari kelompok dan orang lain.

Proses penyelesaian kasus rasis sepertinya tidak akan berakhir. Pelaku rasis pun mungkin tidak akan berhenti. Di tengah kerusuhan dan penderitaan, OAP malah ditangkap sewenang-wenang, Negara lalu mengundang berbagai tokoh OAP ke istana (Jakarta) untuk meredam situasi.

Dari pengakuan orang yang saya ikuti bahwa pernyataan yang dibacakan saat itu bukan dari isi hati yang diinginkan. Saya juga heran tidak ada satu pernyataan pun yang membahas tindakan rasis. Apakah sudah di-setting oleh orang tertentu?  Hukum akhirnya tetap diberlakukan bagi mereka yang sudah ditangkap sewenang-wenang. Apakah para pelaku rasisme yang sudah ditetapkan sebagai tersangka diproses seperti mereka yang ada di Tanah Papua?

Mungkinkah dialog yang bermartabat dengan melibatkan pihak ketiga dapat dilaksanakan demi mencari dan menentukan solusi permasalahan di Tanah Papua?. (*)

Penulis adalah staf SKPKC Fransiskan Papua

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply