Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nasional per Maret 2021 terdapat 78 sekolah adat di Indonesia. Di antaranya Papua hanya memiliki satu sekolah adat yang terletak di Kampung Hobong, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura.
Sebagian besar, ada 27 sekolah adat di Kalimantan, 14 di Sumatera, 5 di Jawa, 6 di Balinusra, 19 di Sulawesi, dan 6 di Maluku.
Selain 78 sekolah adat tersebut, ada 6 lagi sekolah adat yang sedang dalam tahap verifikasi pendataan, di antaranya 1 sekolah adat di Bengkulu, 3 di Kalimantan Barat, 1 di Bima, NTB, dan 1 di Tano Batak, Sumatera Utara.
Wakil Dewan Pembina Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nasional Abdon Nababan di Kabupaten Jayapura, Papua mengatakan, kalau mau menyelamatkan keberagaman budaya Indonesia yang sudah mulai terdegredasi butuh 70 ribu sekolah adat di Indonesia.
Maka dari 70 ribu komunitas adat yang terdaftar di AMAN, kata Abdon, harus mempunyai sekolah adatnya masing-masing.
Menurutnya sekolah adat dan pendidikan adat akan membantu memperjelas dan meluruskan sejarah yang sudah kabur dan menyelamatkan bukti-bukti sejarah yang tersisa yang dimiliki masyarakat adat.
BACA JUGA: Sekolah Adat Sentani siap gali potensi budaya lokal
“Jika masyarakat adatnya punah, maka punahlah kebudayaannya, kalau punah kebudayaanya punah seluruh sistem pengetahunnya yang disebut etnosida atau kepunahan kebudayaan,” katanya kepada Jubi di sela kegiatan Menoken di Kampung Hobong, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu, 13 Maret 2021.
Menurut Abdon di Papua mestinya sekolah adat bisa cepat berkembang, karena pada dasarnya masyarakat Papua sangat kental dengan adat.
Namun karena saking kental dan kuatnya masyarakat adat Papua tidak menyadari akan ancaman.
“Papua rentan akan kehilangan kebudayaan, misalnya dalam hal bahasa, karena hegemoni bahasa Indonesia itu sampai ke kampung-kampung, sementara tidak ada bahasa pemersatu di Papua, yang ada bahasa Buayaka, bahasa Ormu, bahasa Dani, dan bahasa lainnya,” ujarnya.
Abdon membandingkan dengan di kampungnya di Tanah Batak. Di sana Bahasa Indonesia hanya laku di kota-kota besar. Sedangkan di ibu kota kabupaten dan kecamatan semua orang berbahasa Batak.
“Di sini Papua bahkan berkomunikasi di antara suku-suku bertetangga pakai Bahasa Indonesia, akan lebih mudah orang Papua kehilangan bahasa dibanding di kampung saya di Batak,” ujarnya.
Hal lain yang menghalangi perkembangan sekolah adat, katanya, sudah terlalu lama masyarakat dijejali dengan doktrin lewat sekolah-sekolah formal bahwa bicara adat adalah membicarakan masa lalu.
Padahal justru adat tidak mengenal masa lalu, masa kini, dan masa depan. Maka penting memposisikan adat tidak sebagai masa lalu, tapi menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kesinambungan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Jika di Kabupaten Jayapura, kata Abdon, dari 9 Dewan Adat Suku (DAS) bisa bergerak cepat maka akan cepat berkembang sekolah adatnya.
Apalagi bupati sangat konsern dengan perkembangan masyarakat adat, mereka bisa mendorong dari bawah dengan memulai di tempatnya masing-masing dan meminta dukungan dari bupati.
Perlu dilakukan, kata Abdon, membangun kesadaran masyarakat adat bahwa ada krisis kebudayaan atau identitas budaya di kalangan generasi muda. Karena itu perlu menyambung kembali keterputusan generasi dalam hubungan dengan adat melalui transfer pengetahuan adat ke generasi berikutnya lewat sekolah adat.
Selain itu, pemerintah perlu didorong, karena kewajiban pemerintah untuk memajukan kebudayaan berdasarkan amanat konstitusi dengan memanfaatkan ruang 20 persen dalam pelajaran muatan lokal secara efektif, seperti yang telah dilakukan Sekolah Adat Kabupaten Jayapura, Papua. Apalagi juga sudah ada Undang-Undang Kemajuan Kebudayaan yang dikeluarkan 2017.
Hal itu modal untuk memperbesar pendidikan adat lewat sekolah-sekolah adat dengan melibatkan anak-anak mudanya sendiri.
“Saya lihat 78 sekolah adat yang ada di AMAN motor penggeraknya adalah anak-anak muda umur 25 sampai 30 tahun, yang relatif tua kan di Papua,” ujarnya.
Namun, agar sekolah adat dapat berjalan secara maksimal dan mendapatkan alokasi anggaran, kata Abdon, masyarakat adat perlu mendorong pemerintah membuat peraturan daerah.
Nantinya sekolah adat itu mau independen, artinya dijalankan langsung oleh masyarakat adat atau yang bergandeng dengan pemerintah akan mendapatkan alokasi anggaran, walaupun terjadi pergantian bupati.
Samuel Seubu, pri dari Kampung Ifale, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, sejak 2017 menjadi pengajar etika adat dan norma adat di Sekolah Adat Kabupaten Jayapura. Ia menganggap sangat penting membina generasi muda untuk mengambil bagian mempertahankan budayanya.
“Saya mengajar soal tata krama, soal menghormati yang lebih tua, dan bagaimana memandang ondofolo, cuma hal-hal tertentu saja itu, karena setingkat dengan kemampuan anak, kami tidak bisa ajar yang berat-berat,” ujarnya.
Dengan dunia yang serba maju, kata Seubu, membangun kepercayaan masyarakat adat merupakan tantangan yang sulit dari sekolah adat, karena masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa tidak usah mempelajari adat.
Ada juga kesulitan lain, setiap suku memiliki aturan dan tradisi yang berbeda-berbeda.
“Ini yang terkadang membuat orang tua atau suku tidak mau membiarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah adat,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi