Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kemenangan Bupati Sorong dan masyarakat adat atas dua perusahaan sawit di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura akhir tahun lalu menjadi semacam modal bagi gerakan sosial untuk melawan serbuan investasi yang merugikan masyarakat adat Papua.
Pada Selasa, 7 Desember 2021, publik menanti hasil sidang gugatan empat perusahaan sawit terhadap Bupati Sorong. Di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sorong, puluhan aktivis organisasi masyarakat sipil, pemuda, mahasiswa dan masyarakat adat melakukan aksi duduk dan berorasi.
Bersamaan, puluhan pemuda dan mahasiswa asli suku Moi juga melakukan aksi protes dan berorasi di halaman Kantor PTUN Jayapura di Waena yang memeriksa gugatan keempat perusahaan sawit itu. Semuanya menuntut majelis hakim PTUN Jayapura untuk menolak gugatan PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi, serta membuat keputusan yang adil bagi masyarakat adat.
Baca juga: Digugat dua perusahaan sawit, Johny Kamuru akhirnya menang di PTUN Jayapura
Sesaat kemudian, amar putusan sidang menyatakan menolak seluruhnya gugatan penggugat atas pencabutan keputusan terkait Kelayakan Lingkungan dan Izin Usaha Perkebunan. Peristiwa ini menandai tak hanya kemenangan Bupati Sorong, melainkan juga kemenangan masyarakat adat atas perjuangan menjaga tanahnya. Perjalanan sidang dan perjuangan mengawal sidang tersebut baik luring maupun daring selama lima bulan akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan.
Kasus tersebut menjadi catatan utama di dalam Laporan Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2021 yang disusun oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Catahu tersebut didiskusikan secara daring, pada Jumat 18 Februari 2022, melalui Zoom dan disiarkan live di channel Youtube bentalarakyat.
Hadir sebagai penanggap: Els Tieneke Rieke Katmo, akademisi Universitas Papua; Siti Rakhma Mary Herwati, advokat; dan Fecki Mobalen, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya. Natalia Yewen dari Pusaka mengantarkan serta menyajikan laporan Catahu, dan Asrida Elizabeth, jurnalis Mongabay sebagai moderator memandu diskusi.
Apresiasi kemenangan, antisipasi ‘serangan baru’
Siti Rakhma Mary Herwati, mengapresiasi sejumlah kepala daerah yang berpihak pada masyarakat adat, seperti Bupati Sorong, Johny Kamuru yang mencabut izin lahan perusahaan sawit di wilayah Kabupaten Sorong, Papua Barat.
“Ini satu berita menggembirakan, karena jarang sekali yang namanya kepala daerah itu mencabut izin dari hasil monitoring yang sudah lama mereka [lakukan] terhadap aktivitas berbagai perusahaan sawit,” ujar Siti sambil mengingatkan bahwa masih ada berbagai evaluasi yang perlu dilakukan pemerintah terhadap aktivitas perusahaan-perusahaan lainnya.
Mengutip laporan Catahu 2021 Pusaka, Siti menyebutkan fakta bahwa pajak yang dibayar oleh perusahaan kepada negara tak sesuai dengan luasan lahan yang mereka kuasai.
Baca juga: Kritik sawit dan deforestasi, layar pemaparan dekan UGM dekan UGM diretas
Mengutip laporan Catahu, “Diduga perusahaan melakukan kelalaian dan sengaja mengabaikan tidak memenuhi kewajiban membayar pajak. Berdasarkan keterangan Kepala Kantor Wilayah Pajak Provinsi Papua Barat (2021), diketahui dari luas izin usaha perkebunan sekitar 300.000 hektare dan dengan areal HGU sekitar 174.000 hektare, luas kebun yang sudah ditanam sawit telah mencapai 60.000 hektare pada 2020, namun pajak yang sudah dibayar hanya seluas 17.000 hektare, artinya hanya sekitar 5% lahan ijin usaha perkebunan yang dibayar pajaknya. Pengabaian Pajak ini tentu saja sangat merugikan negara dan diperkirakan menyebabkan kehilangan potensi pajak sebesar Rp20 triliun.”
Menurut Siti, hal itu telah meruntuhkan argumen atau anggapan pemerintah bahwa keberadaan perusahaan sawit ataupun perusahaan industri ekstraktif maupun kehutanan telah mendatangkan keuntungan dan pendapatan bagi daerah dan negara.
“Ini terlihat ya, terbukti bahwa sedikit sekali. Kalau kita bandingkan dengan ketika sumber daya alam itu dikelola masyarakat adat sendiri, itu benar-benar jomplang, timpang,” ujar Siti.
Baca juga: Masyarakat adat Keerom: Hutan habis untuk sawit, tapi kami tidak menikmati
Fecki Mobalen, Ketua AMAN Sorong Raya dalam kesempatan itu mengingatkan bahwa kemenangan di PTUN Jayapura harus diikuti tindakan antisipatif alias tidak terlena.”Kita punya tantangan besar, karena di waktu yang bersamaan, isu UU Otsus juga ada, pemekaran (DOB), isu investasi yang besar, Undang-undang Cipta Kerja, dan program Food Estate, itu semua tantangan yang cukup besar,” ujarnya.
Mobalen mengantisipasi secara kritis kelanjutan dari kemenangan tersebut, “Kita juga perlu menanyakan, apakah tujuan bupati membela, mencabut SK itu, karena mau mengembalikan kepada masyarakat adat, ataukah kemudian akan dialihfungsikan, masuk ke isu pemekaran, atau masuk ke isu investasi. Kita perlu menanyakan semua ini.” kata Mobalen.
Els Tieneke Rieke Katmo juga mengajak masyarakat untuk kritis bahwa investasi di sektor sumber daya alam dan penerimaan pajaknya tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat setempat. Beberapa negara kaya sumber daya alam cenderung bergantung penuh pada ekonomi ekstraktif yang seringkali berujung pada pengabaian keberlanjutan lingkungan hidup.
Baca juga: Perusahaan sawit di Nabire diingatkan tak ingkari MoU dengan Suku Yerisiam
Menurut Els, hal itu diperparah pula dengan tidak adanya mitigasi risiko yang baik dalam pengelolaan sumber daya alam. “Alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat, ekspansi bisnis seperti perkebunan kelapa sawit di Papua malah contoh investasi yang memiskinkan masyarakat adat. Surplus bagi kapitalis bermakna kematian bagi masyarakat adat,” ujar Els.
Els Katmo yang menulis Prakata dalam Catahu Pusaka itu menilai adanya pencitraan komitmen hijau. Janji kesejahteraan dan jargon pembangunan berkelanjutan hanya digunakan korporasi untuk melindungi wajah buruk berbagai operasi gelap yang melanggar hak-hak masyarakat.
Tak berhenti di situ, meluasnya investasi dan proyek-proyek pembangunan industri ekonomi yang didominasi oleh korporasi dan pemilik modal juga sejalan dengan meningkatnya pelanggaran HAM di Papua.
Gerakan sosial bersinergi
Franky Samperante dari Yayasan Pusaka menekankan bahwa kemenangan yang disebut dalam laporan Catahu ini tidak hanya di kemenangan di pengadilan, melainkan juga adalah kemenangan di luar pengadilan.
“Kita banyak mendapatkan pengetahuan hukum, informasi tentang kejahatan negara dan korporasi, itu sebenarnya bentuk kemenangan masyarakat adat saat ini. Mereka punya banyak informasi dan pengetahuan. Mereka bisa setidaknya bicara bebas tentang kejahatan-kejahatan seperti itu.” ungkapnya.
Franky sampaikan bahwa ia dan tim membayangkan ada gerakan sosial yang lebih besar lagi ke depannya, yang menyinergikan antara advokasi litigasi dan advokasi nonlitigasi berbagai kasus kejahatan korporasi di Papua. “Nonlitigasi itu menarik, karena mendorong partisipasi masyarakat untuk terlibat langsung mengontrol gerakan yang sudah ada.” katanya.(*)
Febbry Lovina Sembiring berkontribusi dalam penulisan berita ini
Editor: Aryo Wisanggeni G