Papua No. 1 News Portal | Jubi
Manokwari, Jubi – Perwakilan masyarakat sipil dan adat Domberai dan Bomberai minta Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan, mempriortiaskan dan memberikan pengakuan hak penguasaan, pemilikan, dan pengelolaan hutan kepada masyarakat adat.
Masyarakat sipil menolak program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, yang tidak sejalan dengan aspirasi, pengetahuan, dan hak masyarakat adat Papua.
Perwakilan masyarakat sipil dari Perkumpulan Panah Papua, Sulfianto Alias, menyatakan deforestasi di Papua kerap terjadi pada wilayah yang telah dibebani perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan dan lahan skala luas. Sementara, pada satu sisi telah terjadi perebutan lahan milik masyarakat adat yang difasilitasi oleh negara kepada pemegang izin.
“Akibatnya, terdapat ketimpangan penguasaan lahan secara legal antara pemegang izin dan masyarakat adat,” ujar Alias dalam siaran pers yang diterima Jubi, Senin (8/2/2021).
Program pemerintah terkait perhutanan sosial (termasuk hutan adat) dan reforma agraria, dinilai masih jauh dari tuntutan dan permintaan masyarakat adat. Apalagi program ini sekedar didorong untuk wilayah di luar konsesi perizinan.
“Bagi kami, hal ini menjadi sia-sia dan belum menyelesaikan permasalahan ketimpangan lahan yang dikuasai oleh pemodal. Pemerintah seharusnya melindungi hutan termasuk pada kawasan hutan yang telah dibebani izin,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Alias, cita-cita mengatasi perubahan iklim dinilainya tak bisa teratasi ketika deforestasi masih terus saja berlangsung hingga saat ini, khususnya di wilayah berizin.
Data masyarakat sipil mengungkap sekitar 3 juta hektar hak masyarakat adat atas hutan yang diberikan kepada pemegang izin untuk pengelolaan hasil hutan. Sedangkan hak pengelolaan hutan oleh masyarakat adat melalui hutan adat masih nol hektar. Sektor perkebunan 0,5 juta hektar lahan di Papua Barat dikuasai hanya oleh 9 kelompok sedangkan kepemilikan lahan milik masyarakat adat di wilayah berizin ini belum ada.
“Sedangkan program reforma agraria hanya sekedar proyek semata. Tidak mampu menyelesaikan ketimpangan lahan terutama di wilayah yang telah dibebani izin dan masyarakat adat tidak tahu kalau izin tersebut telah diberikan kepada pemodal,” bebernya.
Perwakilan Perkumpulan Mongka Papua, Nerius D. Sai, justru mempertanyakan peran Gubernur Papua Barat sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku mengenai hutan adat.
“Andai saja gubernur memiliki peran dalam pemberian hak pengelolaan hutan adat, maka kenapa sejak dahulu tidak didorong. Substansi yang berkaitan dengan pengakuan hak masyarakat adat peran gubernur ada di mana? Mau pake mekanisme apa? Ini kan belum jelas,” imbuhnya.
Sementara, Penias Itlay dari Perkumpulan Oase, menyatakan komitmen Gubernur Mandacan yang menargetkan pecah telur untuk hutan adat hanya sebatas retorika.
“Kami pesimis untuk itu, karena belum tentu hutan adat dapat diberikan kepada masyarakat adat, masih jauh dari harapan. Apalagi konflik yang berlangsung saat ini antara masyarakat adat dan pemegang izin belum terselesaikan,” tambahnya.
Baca juga: Negara mesti lindungi hak masyarakat adat
Tuntutan perwakilan masyarakat sipil kepada pemerintah di antaranya: Pertama, Gubernur Papua Barat diminta fokus mendorong hak pengakuan, penguasaan, kepemilikan, dan pengelolaan tanah dan hutan adat kepada masyarakat adat.
Kedua, minta pemerintah pusat dan daerah untuk melaksanakan reforma agraria di Tanah Papua dengan memprioritaskan pengakuan hak penguasaan dan pemilikan tanah dan hutan adat, serta hak pengelolaan atas tanah dan hutan adat masyarakat adat.
Ketiga, pemerintah diminta menata kembali struktur penguasaan tanah secara adil, dengan me-review dan mencabut izin-izin yang diperoleh korporasi secara melanggar hukum adat dan hukum negara.
Keempat, mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN segera mengubah paradigma Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria dengan mengakui, menghormati, dan melindungi pengetahuan dan cara pandang masyarakat adat dalam pengelolaan hutan secara adil dan berkelanjutan, serta berkewajiban menyelesaikan ketimpangan pengusaan lahan di Tanah Papua. (*)
Editor: Dewi Wulandari