Gejolak politik Fiji: apa yang terjadi dan mengapa

Polisi memeriksa mobil di pos pengiriman di Suva setelah sejumlah MP oposisi ditangkap terkait dengan RUU tanah pada bulan Juli. - AFP/ Leon Lord/ Getty Images

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh Kelvin Anthony

Read More

Selama dua minggu terakhir ini, Fiji telah mengalami ketegangan politik, dimana sejumlah politisi dari oposisi ditangkap, pasukan polisi tambahan dikerahkan di seluruh negeri dan perdebatan politik yang sengit, sementara ada kekhawatiran bahwa ketegangan itu dapat menyebabkan kerusuhan dan perang sipil.

Mengapa situasi di Fiji sedang genting?

Situasi ini disebabkan oleh sebuah RUU tentang sistem pertanahan yang kontroversial dan baru saja disahkan oleh pemerintah Fiji. Pihak yang mengecam RUU tersebut percaya bahwa amandemen yang dilakukan akan membatasi kewenangan pemilik-pemilik tanah atas tanah mereka. Sebaliknya, pemerintah berpandangan bahwa amandemen tersebut hanya bersifat administratif.

Tetapi RUU itu ditentang oleh berbagai pihak, kubu oposisi telah mengajukan petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 30.000 orang (dari populasi Fiji yang jumlahnya kurang dari 1 juta) ke hadapan parlemen minggu lalu, dan kekhawatiran bahwa langkah itu dapat memicu perpecahan di negara Pasifik yang sudah sangat terbagi secara politik.

Apa yang terjadi sejak RUU itu disahkan?

Fiji punya sejarah konflik politik yang panjang, sejak bangsa itu memperoleh kemerdekaan dari Inggris lebih dari tiga dekade lalu. Isu tanah dan rasial adalah pusat dari ketegangan itu.

Setelah RUU yang baru disahkan pada Jumat 30 Juli lalu, sudah terjadi dua kebakaran, satu di sebelah barat kota Ba, dan yang lainnya di ibu kota, Suva, menurut laporan dimulai oleh pemilik-pemilik tanah sebagai protes atas pengesahan RUU tersebut. Satu minggu sebelum parlemen merapatkan RUU tersebut, dua properti lainnya – sebuah toko milik seorang laki-laki Muslim dan sebuah masjid lokal – dibakar di pulau utara yang bernama Taveuni. Seorang warga lokal di Taveuni mengatakan kebakaran itu “mengejutkan”, ia menambahkan bahwa itu adalah “pertama kalinya sesuatu seperti itu terjadi di Taveuni – bahkan selama kudeta.”

Pemerintah menyangkal bahwa kebakaran itu terkait atau ada hubungannya dengan RUU tanah tadi. Rusiate Tudravu, pejabat Plt. Komisaris Polisi, menyebut orang-orang yang mencoba menghubungkan peristiwa kebakaran itu dengan kontroversi RUU itu sebagai kaum “oportunis”.

Kepolisian Fiji telah mendirikan sejumlah pos pemeriksaan di seluruh negeri sementara kabar angin tentang kerusuhan masih beredar.

Dalam seminggu terakhir, belasan pemimpin politik oposisi, termasuk dua mantan perdana menteri dan pemimpin tiga partai politik utama di negara itu, telah ditahan karena mengeluarkan pernyataan mengenai amandemen UU pertanahan.

Menurut pernyataan polisi, penangkapan tersebut merupakan bagian dari pendekatan yang ‘proaktif’ untuk menggagalkan rencana apapun yang dapat menyebabkan ketakstabilan sipil. Polisi juga menangkap seorang pria dari Divisi Fiji Barat karena menulis pos di media sosial yang dianggap dapat ‘menghasut kekerasan’.

Menteri Pertahanan, Inia Seruiratu, menerangkan penyesalannya kepada parlemen akan penangkapan tersebut, tetapi menekankan bahwa polisi hanya “melakukan pekerjaan mereka karena kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu. Kami tidak ingin Suva dibakar lagi. Pernyataan apapun yang kita ucapkan, mari kita mengucapkan itu dengan tanggung jawab karena kata-kata itu punya kekuatan.”

Tetapi kelompok advokasi hak-hak sipil dan politik mengatakan bahwa “intimidasi terhadap anggota parlemen dan politisi oposisi” harus dihentikan.

Josef Benedict, peneliti Asia Pasifik dari Civicus, mengatakan: “Ini adalah serangan terang-terangan terhadap hak mereka untuk berekspresi dan berkumpul, berapat, serta berserikat dengan damai. Setiap orang, termasuk oposisi politik, memiliki hak yang sah untuk mengambil bagian dalam urusan yang publik, dan tidak boleh dibungkam hanya karena pihak berwenang tidak menyukainya.”

Ada apa dengan RUU tersebut?

Di bawah RUU pertanahan yang disahkan minggu lalu, UU ke-17 dari iTaukei Land Trust Act tahun 1940 akan diubah sehingga kewenangan pemilik tanah iTaukei (Pribumi) atas tanah mereka akan berkurang, menurut para pengkritik.

RUU itu disahkan pada hari Jumat, meskipun masih ada perdebatan yang sengit dan perlawanan yang signifikan.

Pasal 12 dari UU in berkaitan dengan perizinan, dan RUU 17 “menghapus persyaratan untuk mendapatkan persetujuan dari dewan iTaukei Land Trust Board untuk menaikkan nilai hipotek, biaya-biaya, jaminan, atau gadai apapun atas sewa dibawah undang-undang tersebut”.

Akibatnya, ini berarti bahwa jika iTaukei Land Trust Board (TLTB), yang memiliki pengawasan penuh atas semua tanah milik orang-orang pribumi, memberikan izin sewa tanah adat kepada seseorang, dan jika sang penyewa memutuskan untuk menggunakan tanah itu untuk tujuan yang berbeda – untuk jaminan hipotek dan lainnya – mereka bisa melakukannya tanpa harus meminta izin dewan tadi.

Pengacara Fiji, Richard Naidu, mengatakan dia tidak percaya RUU itu akan menghapus kekuasaan pemilik tanah atas tanah mereka, tetapi itu adalah contoh ‘perancangan hukum yang buruk’.

Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, mengatakan UU yang baru tidak akan “mengambil alih kewenangan pengambilan keputusan” dari pemilik tanah pribumi, seperti yang diklaim oleh lawan-lawannya, yang menurutnya telah menyesatkan orang-orang Fiji yang lalu menambahkan nama mereka dalam petisi untuk perlawanan.

“Kami sedang mereformasi proses pemberian persetujuan yang berkepanjangan, membuang-buang waktu, dan tidak sistematis,” kata Bainimarama, menambahkan bahwa perubahan tersebut akan memberdayakan TLTB untuk bisa “fokus pada peningkatan nilai tanah iTaukei dan untuk memastikan kesejahteraan jangka panjang bagi pemilik tanah iTaukei”.

Tetapi anggota-anggota parlemen oposisi menyampaikan reaksi yang tegas mengenai bagaimana UU itu diperkenalkan. Di antara mereka adalah Ro Teimumu Kepa, seorang MP dari partai Sodelpa, kepala suku tinggi dan mantan wakil perdana menteri, yang menekankan bahwa PM Bainimarama telah “secara sistematis melucuti hak dan privilese mereka atas vanua (tanah)”.

“Kami melihat diri kami sebagai penjaga dan pemelihara atas semua hal pribumi yang merupakan milik kami, karena kami harus menjaganya,” tegasnya. “Apa yang menjadi milik kami adalah milik kami, bukan untuk diambil dari kami.”

Mayoritas tanah di Fiji – hingga 87% – dimiliki oleh masyarakat adat iTaukei dan dikelola oleh TLTB, sisanya adalah dengan hak milik atau milik negara. TLTB, yang juga diketuai oleh PM Bainimarama, sepenuhnya mendukung dan mendorong perubahan tersebut.

Penasihat hukum utama negara itu, Jaksa Agung Aiyaz Sayed-Kahiyum, mengatakan bahwa “bahkan dengan penghapusan hak untuk memberikan persetujuan untuk nilai hipotek” tanah adat, pemilik tanah akan terus diuntungkan.

“Kepemilikan dan hak atas tanah iTaukei saat ini dan akan selalu dilindungi, di bawah konstitusi 2013 dan UU tanah iTaukei.” (The Guardian)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply