Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura Jubi – Koordinator Wilayah Papuan Voices Jayapura Fransisca Manam, menyajikan materi bertajuk, film maker perempuan Papua pengalaman dan pembelajaran dalam menjaga Tanah Papua. Dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Papuan Voices “Perempuan penjaga Tanah Papua melalui Film Dokumenter” via Zoom dan akun Youtube Papuanvoices , Jumat siang, 5 Juni 2020 .
Selain Fransisca Manam, dalam acara diskusi Para-Para online Papuan Voices menghadirkan dua narasumber dalam diskusi tersebut yakni, Juara dua Festival Film Papua ke tiga Monaliza Upuya, Engage Media Pitra Hutomo. Diskusi tersebut dimoderatori oleh aktivis Gempar, Nelius Wenda.
Manam mengatakan, pengalaman perempuan Papua dalam menjaga tanah Papua melalui film dokumenter. Pengalaman yang berbeda dengan laki-laki Papua. Perempuan kerap mengalami lebih banyak tantangan.
“Saya punya pegalaman di lapangan tidak mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian. Ketika itu saya sedang merekam proses berjalannya demonstrasi. Lalu polisi melarang mengambil gambar. Lalu saya panjat pagar untuk mendokumentasikan kegiatan tersebut. Lalu saya ditarik turun dan berdebat dengan polisi. Jangan menghalagi saya mengabil gambar di saya punya tanah,” kata Fransisca Manam, dalam diskusi.
Manam menyebutkan tantangan lainnya ketika mendokumentasikan persoalan Pupua adalah pelecehan. Ia, pernah mengalaminya. “Dalam konteks Papua, karena saya dianggap perempuan sehingga mereka bisanya carigara, “sayang itu ko ka”, “manis sstttt..”. di situ saya biasa merasa tidak diberdayakan. Sehingga saya harus melawan tantangan itu,” katanya.
Baca juga:
- Menguak wajah kekerasan terhadap perempuan Papua
- Perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM
- Humi Inane motivasi perempuan Papua lawan corona
Tantangan berikutnya ialah ketika perempuan mendokumentasiakan di kampung sendirian. Tidak ada jaminan keamanan. Sering juga perempuan diperhadapkan dengan budaya Papua di lapangan.
“Ketika saya meliput di Keerom ada satu ritual di rumah adat laki-laki saya d usir karena tidak boleh perempuan masuk di rumah adat laki-laki,” katanya.
Manam mengungkapkan bahwa laki-laki Papua masih mendominasi dalam hal pendokumentasian persoalan Papua. Sehingga menurut Manam dominasi ini harus dilawan. Perempuan Papua juga harus bisa melakukan pendokumentasian tentang persoalan di Papua.
“Selain itu dalam keluarga juga seringkali ada. Ketika kita mau berpartisipasi kemudian dilarang oleh orang tua. Hal ini juga menjadi penghambat bagi perempuan papua dalam mengambil peran sebagai pendokumentasi film di Papua,” katanya.
Manam mengatakan pengalamannya menjadi seorang Filmmaker itu sangat berat. Tetapi pekerjaan itu dilakoninya secara terus menerus dan sudah menghasilkan beberapa film dokumenter.
“Jujur saya belajar membuat fim ini otodidak. Saya begabung dengan Papuan Voices sejak tahun 2016. Saya biasanya belajar dengan cara mengakses informasi mengenai pelatihan pembuatan Film. Jadi Kadang ada peluang saya iktu lmendaftarkan diri untuk pelatihan. Saya belajar sedikit demi sedikit menambah pengetahuan. Juga aktif memegang kamera dan memahami bagian kamera,” katanya.
Manam menyampaikan terimakasih kepada Perempuan-perempuan Papua yang mewadahi mereka untuk berdiskusi unutk menambah referensi terkait isu pembatan film. Maupun teknik pengambilan gambar hingga mengedit naskah film.
“Saya senang ketika teman teman perempuan duduk dengan masing-masing ide dan kemampuan kita kumpul dan sharing satu pengalam untuk mendokumentasikan persoalan Papua melalui film dokemnter yang kami kerjakan selama ini,” katanya.
Monaliza Upuya, peraih juara dua Festival Film Papua III yang diselenggarakan di Sorong, dalam diskusi daringnya mempresentasikan materinya bertajuk, “Film dokumenter sebagai media untuk advokasi hak-hak perempuan dan lingkungan”.
Dalam Film dokumenternya berjudul “ 30 tahun su lewat” menceriterakan tentang, kontrak kerja sudah lewat dari waktu 30 tahun dan dalam perkebunan kelapa sawit masyarakat pemilik ulayat terlantar sehingga berdampak pada buruh perempuan yang bekerja di perusahaan tersebut. “Itu alasan sehingga saya memberikan judul film 30 tahun sudah lewat” demikian. Puji tuhan dan flm ini berhasil keluar sebagai juara dua,” katanya.
Upuya mengatakan, bagiamana perempuan bisa bertahan hidup, perusahaan tidak memberikan jaminan. Sementara orang Papua pada umumnya memandang tanah Papua sebagai mama dan pemberi hidup. Tanah menjadi solusi dalam keberlangsungan hidup orang Papua.
“Dimana lokasi berdirinya perusahaan adalah tempat berkebun tetapi perusahaan mengabaikan mereka. Perempuan ini akan kemana lagi untuk mengelola tanah adat untuk menghidupi keluarga dan mereka kehilangan sebagai sumber penghasilan mereka karena perusahaan ini” katanya.
Upuya mengatakan, antara alam dan perempuan memunyai keterkaitan sangat kuat. Perempuan berdampingan dengan lingkungan alam, perempuan berkebeun menjual hasil kebun untuk kebutuhan hiidup.
“Tanah akan memberikan makanan setelah orang berkebun hutan juga menyediakan bahan untuk seperti hutan sagu, Lingkungan sehat, air bersih karena tanah adalah mama. Sebab alam bisa menyediakan segalanya,” katanya.
Upuya mengatakan, meski orang Papua dalam kondisi itu, masih juga terjadi ilegal logging, pembalakan hutan secara besar sehingga nasib masyarakat adat terabaikan
“Tanah menjadi solusi sekarang, tapi masyarakat kerap ditipu dan menjual tanah kepada perusahaan sawit pertambangan. Kalau tanah kita hilang tentunya tidak ada harapan ,” katanya. (*)
Editor: Syam Terrajana