Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,
Jayapura, Jubi – Film Boven Digoel, hasil besutan Rumah Produksi Papua, Foromoko Matoa Indah Film akan diputar serentak di bioskop seluruh Indonesia, 9 Februari mendatang.
Film ini mengangkat kisah dokter John yang bertugas di Puskesmas pedalaman Papua, di Boven Digoel. Ia harus melayani masyarakat di kampung-kampung pedalaman Papua di tengah layanan kesehatan yang minim dan sulitnya akses, ditambah keterbatasan fasilitas medis.
Suatu ketika dokter John terpaksa mengambil tindakan untuk mengoperasi seorang ibu yang akan melahirkan ditengah keterbatasan. Tak ada pisau operasi memaksa dokter John menggunakan silet. Jelas itu menyalahi aturan kedokteran, namun ia tak punya pilihan lain untuk menyelematkan nyawa pasiennya di waktu itu.
Dokter John di dunia nyata adalah John Manangsang. Dialah pelaku sejarah di kisah Boven Digoel yang mengangkat pengalaman nyatanya 25 tahun lalu. “Fakta membuktikan dari 25 tahun lalu hingga sekarang, di Papua angka kematian ibu dan bayi semakin tinggi dan menduduki rangking nomer satu di Indonesia,” kata John Manangsang seperti dikutip moviegoersmagazine.com pertengahan tahun lalu.
Kisah nyata ini sudah diangkat dalam bukunya Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa , yang bagi John adalah pergumulan seorang dokter muda yang ditempatkan di puskesmas pedalaman Papua, berupaya menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayinya.
“Pertaruhan luar biasa. Bukan hanya hidup mati pada pasiennya, tapi juga hidup mati dokter karena kondisi hutan ditambah tidak ada bius untuk operasi, peralatan terbatas, jadinya melakukan operasi sesar dengan memakai silet, “ ungkapnya mengenang masa-masa itu.
"Ini salah satu upaya memberikan informasi kepada pihak luar mengenai kondisi Papua. Bagaimana masalah kesehatan dan kemanusian di wilayah pedalaman Papua. Semoga ini bisa menggugah hati para penonton, terurtama pemerintah Indonesia," kata John yang sekaligus menjadi produser Film Boven Digoel itu, dalam konferensi persnya di Jayapura, Kamis (2/2/2017).
Film ini yang mengambil lokasi di Kabupaten Boven Digoel ini tak hanya menampilkan akting anak-anak Papua. Aktris kawakan seperti Chistine Hakim, aktor muda Joshua Matulessy dan penyanyi asal Papua, Edo Kondologit juga Lala Suwages ikut ambil bagian.
Film Boven Digoel ini diperankan 90 persen anak-anak asli Papua. Perusahaan produksinya juga ada di Papua. Hadirnya film yang disutradarai Ipong ini diharapkan menumbuhkan minta masyarakat Papua diindustri film.
"Ini tantangan baru kami yang jauh di Timur Indonesia. Kami membuktikan kami setara dangan mereka di daerah lain," kata pimpinan produksi, Hendry Muabuay.
Chistine Hakim, artis senior Indonesia mengatakan, ia tak punya alasan menolak ketika Tim Formoko Matoa Indah Film datang ke kediamannya mengajaknya ikut bergabung dalam film itu.
"Tidak ada alasan untuk saya menolak. Ini seperti 'pucuk dicinta ulam pun tiba'. Saya mulai jatuh cinta kepada tanah Papua ketika film pertama saya yang shooting di Sorong, Papua Barat untuk film Sesuatu yang Indah," kata Christine Hakim.
Masyarakat Papua kata dia, punya bakat luar biasa dibidang seni. Sejak jaman dulu masyarakat Papua sudah tahu seni. Karya mereka, semisal ukiran, dikenal hingga ke mancanegara. Di dunia akting, anak-anak Papua memiliki potensi. Hanya saja belum tereksplorasi.
"Pemerintah membangun Papua dengan infrastruktur. Kami pekerja seni ingin berperan membangun Papua melalui seni. Harus ada anak-anak Papua yang sukses di bidang film. Menjadi prosuder film. Papua tidak hanya dimanfaatkan sebagai ‘setting strory’(lokasi cerita) sebuah film saja. Bukan tidak mungkin kedepan ada film lain yang butuh anak-anak Papua," ujarnya.
Butuh waktu 1 tahun 3 bulan dengan anggaran sebesar Rp7 miliar untuk merampungkan pembuatan film ini.
Dibalik layar, pembuatan Film Boven Digoel melibatkan Jujur Prananto. Dia adalah penulis skenario kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 30 Juni 1960 yang bukan orang baru di dunia film layar lebar Indonesia. Ia ikut andil dalam pembuatan sejumlah film layar lebar diantaranya Ada Apa dengan Cinta (2002), Petualangan Sherina (2000), Laskar Pelangi (2008) dan Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara (2016).
Selain Jujur Prananto, kameramennya, Yudi Datau, juga "kenyang" pengalaman di dunia film layar lebar. Hasil karya Yudi tak diragukan. Ia terlibat dalam pembuatan beberapa film layar lebar yang sukses dipasaran. Sebut saja Denias Senandung di atas Awan, Tenggelamnya Kapal dan Wijck, Alangkah Lucunya Negeri Ini, dan Critical Eleven (2017).(*)