Dubes RI Selandia Baru, Fientje Suebu, dan wajah perempuan Papua di negara-negara Pasifik

Papua-Dubes Selandia Baru, Fientje Suebu
Dubes RI untuk Selandia Baru, Samoa, Kerajaan Tonga, Kepulauan Cook dan Nieu, Fientje Suebu - Jubi/ArusBaik.id

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Hubungan Netherlands Nieuw Guinea nama Provinsi Papua dan Papua Barat di zaman Belanda sudah terjalin lama hampir 15 tahun (1947-1962). Bahkan South Pacific Commision (SPC) pernah berencana untuk melakukan sidang ke-4 tahun 1965 di Hollandia sekarang Kota Jayapura.

Sejak 1962  hubungan antara negara-negara Pasifik Selatan terputus dengan wilayah bekas jajahan Belanda, Netherlands Nieuw Guinea. Belakangan pemeirntah Indonesia mulai terusik dan menggencarkan hubungan bilateral dengan negara-negara kecil di Pasifik.

Read More

Kepulauan Solomon, Fiji, Vanuatu, Papua Nugini (PNG), dan FLNKS dari Kanak Caledonia Baru termasuk negara-negara ujung tombak Melanesia yang mengundang WPNCL dari West Papua untuk hadir dalam MSG Summit di Noumea.

Kemudian berlanjut dan delegasi dari West Papua tergabung dalam United Movement Liberation for West Papua (UMLWP) bersama dengan delegasi dari New Caledonia pejuang Kanak dalam FLNKS atau Kanak and Socialist National Liberation Front (FLNKS). Bahkan Indonesia dan UMLWP duduk satu meja dalam pertemuan negara negara ujung tombak Melanesia sejak itu sampai sekarang.

Baca juga: Politik anggaran di Papua belum untungkan kelompok perempuan

Guna memperat hubungan atau menunjukkan wajah Indonesia di negara-negara Pasifik Selatan, pada 25 Oktober 2021, Presiden Joko Widodo melantik 16 dubes baru termasuk salah seorang perempuan Papua bernama Fientje Suebu.

Ia terpilih secara resmi menjadi Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk negara Selandia Baru, termasuk Samoa, Kerajaan Tonga, Kepulauan Cook, dan Niue, yang nantinya berkedudukan di Wellington.

Sebelumnya pemerintah Indonesia era Presiden Megawati pernah pula menempatkan almarhum Dr Jhon Jopari, MA sebagai Duta Besar RI di Port Moresby menjadi Dubes RI di PNG dan juga di Kepulauan Solomon sejak 2002 sampai dengan 2006.

Kali ini di era Presiden Joko Widodo, wajah perempuan asal Sentani, Fientje Suebu, untuk menduduki posisi penting di negara Selandia Baru menggantikan artis dan penyanyi Tantowi Yahya di Wellington Selandia Baru.

Melansir peranperempuan.id, Fientje Suebu adalah putri dari seorang kepala suku di Papua. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Dinas Luar Negeri. Sebelum ditunjuk jadi Dubes, Fientje Suebu menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala Perwakilan di Kedubes RI untuk India sejak Februari 2018 lalu.

Istri dari Pdt Philipus Awom ini bukan hanya menjadi Dubes RI di Selandia Baru tetapi ada 5 (lima) negara di Pasifik Selatan. Ibu dari tiga anak ini mengaku harus selalu berpindah negara dan mengadaptasi sistem pendidikan terutama bagi anak-anaknya.

“Kami harus mengelola bermacam perbedaan budaya yang sangat besar, baik di sekolah dengan perbedaan mata pelajaran dan pekerjaan rumahnya,” ujarnya sebagaimana dilansir peran perempuan.id

Perempuan Papua dan KDRT di Pasifik

Kehadiran perempuan Papua di wilayah Pasifik sebagai Dubes Selandia Baru dan juga Samoa, Tonga, Kepulauan Cook, dan Nieu akan memberikan perempuan Papua terutama angka pengaduan kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT di negara-negara Pasifik termasuk Papua dan Papua Barat.

Selama pandemi COVID-19, angka pengaduan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT telah melonjak secara global, termasuk di Kepulauan Pasifik. Wilayah Kepulauan Pasifik dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi di dunia. Lima feminis dari Pasifik memilih untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2021 dengan berbagi pandangan mereka tentang penanganan kekerasan berbasis gender dan ketimpangan gender.

Seorang perempuan asal Samoa menggunakan organisasi non-pemerintah yang ia pimpin, Brown Girl Woke, untuk memberdayakan anak-anak perempuan di sejumlah sekolah dasar di pedesaan. Pendiri organisasi itu, Maluseu Doris Tulifau, memulai inisiatif ini ketika ia masih berada di Amerika Serikat (AS), saat ia berkuliah di sana.

Beberapa tahun kemudian dia memutuskan untuk memulai perjalanan pribadinya sebagai penyintas KDRT, dengan pindah kembali ke Samoa dan mendalami isu and data KDRT di tanah kelahirannya.

“Di Samoa, data tentang KDRT ada, tetapi yang tidak ada adalah solusinya. Saya lalu memutuskan untuk membawa organisasi saya dari AS ke Samoa, karena saya melihat adanya kebutuhan akan organisasi seperti itu. [Ada kebutuhan] akan tempat yang aman bagi anak-anak muda Samoa. Generasi penerus inilah yang akan menjadi solusi terhadap persoalan tingginya angka KDRT di negara ini,” ucapnya. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply