Oleh: Aris Yeimo*
Pada artikel ini, penulis secara sadar, dengan sendirinya menghindari penyebutan komunitas lokal “gadungan” yang mana. Penulis hanya ingin mengidentifikasi watak dasar berbagai komunitas lokal di Papua, sehingga bagi penulis, kata “gadungan” layak untuk dilabelkan kepada komunitas-komunitas tersebut.
Mengapa penulis menggunakan kata “gadungan”? Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan gadungan adalah palsu; bukan sebenarnya; tentang penyamaran seseorang atau sekelompok orang. Terminologi ini kiranya tepat dilabelkan kepada komunitas-komunitas dimaksud.
Artikel ini dimaksudkan agar orang muda asli Papua kritis dan mampu membedakan mana komunitas yang benar-benar lahir dari keprihatinan dan mana yang benar-benar “gadungan”. Sebab, kedua jenis komunitas ini sangat berpotensi lahir di tengah situasi Papua yang serba kacau balau; kemiskinan; marginalisasi; konflik ideologi NKRI dan Papua Merdeka; pemekaran yang dipaksakan; dan situasi lainnya yang sedang diciptakondisikan oleh negara.
Realitas komunitas “gadungan”
Per hari ini, banyak komunitas lokal “gadungan” yang dibentuk di berbagai daerah di lima wilayah adat di Tanah Papua. Di dalamnya tergabung sejumlah orang muda asli Papua. Ada yang menyebut diri mereka intelektual muda, aktivis, tokoh pemuda, pemerhati masalah sosial, pemerhati lingkungan, mantan ketua BEM, dan sebutan lainnya..
Berbagai komunitas lokal “gadungan” ini tentu dilandasi dengan AD/ART atau semacam semangat bersama. Selain itu, ada visi dan misi sebagai penuntun arah gerak komunitas.
Alasan mendasar dibentuknya berbagai komunitas yang paling sering kita dengar bersama adalah sebagai bentuk keprihatinan terhadap realitas sosial yang terjadi di Papua.
Peran berbagai komunitas lokal “gadungan” ini sangat beragam. Ada yang bergerak di bidang sosial-kemasyarakatan, budaya, ekonomi, politik, pendidikan, lingkungan, teknologi, dan sebagainya.
Setiap komunitas menjalankan perannya sesuai visi-misi komunitasnya masing-masing. Mereka juga bergerak sambil menarik sebanyak mungkin simpati dari rakyat.
Kalau kita sedikit jeli melihat fenomena ini, tidak menutup kemungkinan kita akan bertanya-tanya, mengapa berbagai komunitas lokal “gadungan” ini dibentuk atau terbentuk di tengah situasi Papua yang sedang chaos? Siapa aktor intelektualnya? Siapa penyokong dana? Apa saja tupoksi komunitas tersebut? Sejauh mana sumbangsih komunitas tersebut terhadap realitas sosial?
Di sini, peran aktor intelektual dan penyokong dana sangat penting. Apapun indahnya susunan kata-kata pada pamflet ataupun baliho; apapun manisnya narasi yang dibangun di ujung megaphone; apapun kritisnya artikel yang ditulis; toh tetap saja kepentingan aktor intelektual dan penyokong dana tidak bisa diabaikan begitu saja. Artinya, kepentingan terselubung mereka harus diakomodir. Mau-tidak mau, suka-tidak suka.
Peran aktor intelektual dan penyokong dana sangat mudah terbaca melalui ketidak-independensitasnya arah gerak komunitas lokal “gadungan” tersebut. Akan sangat nampak pula ketidak-konsistensiannya. Atau dalam bahasa sederhana yang sering dikatakan Pastor Dr. Neles Tebay (alm), “bicara lain, tulis lain, buat lain”.
Terhadap realitas ini, hipotesa penulis adalah bahwa berbagai komunitas lokal “gadungan” ini dibentuk dengan satu tujuan, yakni mengalihkan perhatian orang muda asli Papua atas realitas hari ini. Orang muda semakin diarahkan menjadi pribadi apatis, tidak kritis dan mudah ikut arus. Selain itu, orang muda atau bahkan rakyat seakan dijadikan domba yang sedang digiring ke tempat pembantaian untuk dibantai melalui kehadiran berbagai komunitas lokal “gadungan” ini.
Watak komunitas “gadungan”
Hipotesis penulis di atas akan didukung dengan penjabaran watak komunitas lokal “gadungan”. Ada beberapa jenis watak yang ingin penulis utarakan di sini.
Pertama, uang. Tentu uang sangat dibutuhkan dalam upaya mendirikan sebuah komunitas. Uang digunakan sebagai pendukung berbagai aktivitas yang hendak diselenggarakan. Namun, uang juga bisa menjadi malapetaka ketika gerak komunitas berbasis pada kepentingan aktor intelektual dan penyokong dana. Uang menjadi penyukses kepentingan jahat aktor intelektual dan penyokong dana melalui gerak komunitas yang sudah “terorkestrasi”.
Kedua, fasilitas. Demi memuluskan kepentingan aktor intelektual dan penyokong dana, maka tidak jarang komunitas difasilitasi dengan berbagai macam fasilitas seperti mobil, motor, hotel, restoran, café, proyek dalam bentuk PT/CV, dan berbagai fasilitas lainnya. Ketersediaan fasilitas yang memadai sangat memungkinkan terciptanya keterikatan yang tersistemik antara komunitas dan kepentingan aktor intelektual dan penyokong dana.
Ketiga, jabatan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa organisasi atau komunitas tertentu sering dijadikan sebagai batu loncatan, untuk menjadi pejabat di bidang tertentu. Ini sangat memuakkan. Sejarah Papua mencatat itu.
Bahwa ketika menjadi mahasiswa, tidak jarang sebagian orang muda berteriak lantang menuntut keadilan bagi rakyat. Akan tetapi ketika ditawar dengan jabatan, mulut yang dulunya menuntut keadilan itu benar-benar dibungkam. Sekali lagi, ini sangat memuakkan!
Selain ketiga watak yang diutarakan penulis, para pembaca boleh menambah atau membantahnya. Bagi penulis, ketiga watak ini paling sering mendominasi gerak komunitas-komunitas lokal “gadungan”.
Orang muda asli Papua harus kritis
Tentu penulis menyadari bahwa setelah membaca artikel ini, para pembaca yang budiman mungkin saja mengatakan: penulis terlalu memudahkan persoalan atau penulis tidak memahami dinamika yang terjadi dalam tubuh komunitas, sehingga dengan gampang menduga ada berbagai komunitas lokal “gadungan”.
Pada pengantar artikel, secara eksplisit penulis berupaya menghindari penyebutan komunitas-komunitas “gadungan” secara spesifik. Alasannya karena ada juga komunitas lokal yang benar-benar dibentuk atas dorongan hati nurani. Dampak positif komunitas yang bergerak dengan hati nurani sudah dirasakan oleh penulis dan mungkin rakyat umumnya.
Penulis hanya ingin mengantar orang muda asli Papua, agar kritis memetakan aktor intelektual dan penyokong dana. Pemetaan aktor sangatlah penting. Di situ, akan dengan sangat jelas kita mengetahui arah gerak sebuah komunitas.
Sejarah ilmu pengetahuan dan gerakan revolusi di seluruh dunia memberi dalil itu. Bahwa arah gerak suatu komunitas sangat bergantung pada aktor intelektual dan penyokong dana sebagai pemain di belakang layar.
Hendaklah sebuah komunitas orang muda asli Papua dibentuk secara independen; bebas dari keterikatan tertentu agar kita bisa memperjuangkan keadilan demi kebaikan bersama (bonum commune).
Kita menginginkan setiap komunitas orang muda asli Papua benar-benar bersih dari segala kepentingan jahat aktor intelektual dan penyokong dana. Kita tidak ingin lagi seperti domba yang digiring kedua kalinya ke tempat pembantaian untuk dibantai. (*)
*Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timoteus Marten