Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Fransiskus Batlayeri
Salah satu penyebab manusia kehilangan martabatnya adalah karena manusia menempatkan kepentingannya di atas nilai kemanusiaan itu sendiri. Segala cara bisa dihalalkan demi mencapai keinginan dan tujuannya.
Menghalalkan berbagai cara tentu membentuk watak manusia yang akan berpotensi pada tindakan tidak menghargai manusia lain. Proses penghalalan berbagai cara adalah pendekatan yang bersifat destruktif.
Sikap ini tentunya berasal dari kerakusan manusia sendiri. Kerakusan ini kemudian membius tindakan manusia sehingga manusia hanya mau memonopoli segala hal demi kepuasan tujuan pribadi, kelompok atau ras dan bangsa tertentu.
Tulisan ini hendak melihat bagaimana Post Truth menyuburkan potensi konflik di Papua. Pada era postmodern ini bahasa komunikasi sangat penting bagi semua orang. Bahasa komunikasi adalah sarana untuk mencapai tujuan manusia. Bahasa komunikasi juga mau menyampaikan maksud dan memperoleh apa yang diinginkannya dengan baik dan benar. Namun, penggunaan bahasa komunikasi pada era postmodern ini sarat kepentingan. Kepentingan itu lalu mulai meruntuhkan rasio manusia demi mencapai kebenaran. Kepentingan itu juga memunculkan potensi konflik yang akarnya sulit terselesaikan akibat ketumpulan rasio manusia untuk mencerna informasi sebagai bahasa komunikasi yang sungguh benar adanya–akhirnya, manusia sulit membedakan mana yang benar dan mana “benar buatan”. Akibatnya, kebenaran terbungkus dalam balutan emosi tetapi tidak mengalir dari rasio yang berdasarkan pada realitas.
Dalam era postmodern ini, justru kebenaran menjadi tumpul. Kita tahu bahwa teknologi di bidang komunikasi (media sosial atau medsos) mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia, termasuk merongrong akal budi dan emosi manusia dalam menyikapi kesesuaian realitas sebagai sebuah kebenaran.
Kepuasan manusia terlihat tampak dalam budaya konsumtif–tanpa mencerna dan mengkritisi informasi dengan benar, manusia menerimanya saja. Lalu informasi yang beredar (viral) itu kemudian diterima berdasarkan emosi (rasa) sebagai sebuah kebenaran yang akhirnya mempengaruhi tindakan manusia, untuk berbuat atau melakukan sesuatu berdasarkan “rasa” yang dianggap benar tadi. “Rasa” itu tentunya sesuai dengan praduga sementara yang diterima dari informasi “buta”.
Melihat fenomena yang akhir-akhir ini terjadi di tanah Papua, sebagian besar bisa dikatakan tercipta dari era Post Truth, yakni tercipta berdasarkan emosi dalam menerima informasi dari medsos yang kemudian mempengaruhi tindakan manusia menjadi anarkhistis. Manusia mudah terprovokasi oleh berbagai postingan yang kebenarannya masih harus dibuktikan (dipertanyakan). Manusia ahkirnya menjadi ‘serigala’ bagi manusia lain. Ungkapan ini memang menjadi momok yang menggerogoti semangat kita dalam memperjuangkan kemanusiaan di tanah Papua.
Era Post Truth
Istilah Post Truth menurut penjelasan kamus Oxford digunakan pertama kali tahun 1992. Istilah itu diungkapkan oleh Steve Tesich di majalah The Nation ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi pada periode tersebut. Ralph Keyes dalam bukunya The Post–Truth Era (2004) dan komedian Stpehen Colber mempopulerkan istilah yang berhubungan dengan Post Truth yaitu Truthiness yang kurang lebih berarti sesuatu yang seolah-olah benar meski hal itu tidak benar sama sekali.
Tahun 2016, Oxford menjadikan kata Post Truth sebagai “word of the year”. Penggunaan istilah Post Truth saat itu meningkat 2000 persen dibandingkan tahun 2015. Ada beberapa alasan mengapa kurva penggunaan kata Post Truth melambung tinggi tahun 2016.
Sebagian besar penggunaan kata ini, hampir selalu disematkan pada dua momen politik paling berpengaruh terhadap dunia–keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Dalam hal ini kamus Oxford sendiri mendefenisikan kata Post Truth sebagai kondisi di mana fakta atau kebenaran berdasarkan realitas tidak lagi berpengaruh, melainkan opini publik berdasarkan emosi yang berperan dalam membentuk keyakinan personal. Informasi-informasi hoaks memiliki pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya.
Dalam “Ethics On The News” (dalam Jurnal Komunikasi Indonesia; edisi April, 2017), Kharisma Dhimas Syuhada memaparkan bahwa banjir infromasi di era revolusi digital menghadirkan sejumlah dampak sosial. Problem manusia postmodern ini bukan pada bagaimana mendapatkan informasi, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar.
Kredibilitas media arus utama yang selalu digerogoti kepentingan elite dan pemilik, memaksa manusia postmodern mencari informasi alternatif. Masalahnya medium alternatif macam medsos, terutama facebook tak selalu mengalirkan berita benar.
Syuhada menuliskan bahwa kebimbangan jurnalisme dalam menghadapi pernyataan-pernyataan hoaks para politisi dan pemimpin juga menandai era Post Truth. Ini dapat dilihat selama pemilu presiden Amerika Serikat 2016. Menjadi bukti bahwa semakin sering media menyiarkan berita-berita bohong soal Donald Trump, justru membuat nama Trump semakin populer dan kebohongan-kebohongannya tersebar luas.
Bukan rahasia lagi bahwa kepercayaan pada wartawan dan penyedia berita di Amerika menurun beberapa tahun terakhir. Menurut jajak pendapat Pew Research Center, orang Amerika kehilangan kepercayaan pada media arus utama pada medio 2007-2010. Pada periode tersebut kenaikan angka tidakpercayaan sangat signifikan melebihi periode 12 tahun sebelumnya.
Lipman (1920) mengatakan, “the crisis in western democracy is a crisis in journalism”. Menurut jurnalis sekaligus ahli komunikasi politik ini, nalar publik terlalu lunak, dan mudah dimanipulasi oleh informasi palsu. Tanggung jawab utama para ahli dan media, yakni terciptanya masyarakat madani yang dapat menggerakkan demokrasi yang transparan, jujur dan adil.
Singkatnya era Post Truth adalah era di mana kebohongan dianggap menjadi hal yang lumrah dan seolah-olah manusia menghalalkan tindakannya berdasarkan informasi yang ditanggapi dari hoaks, sehingga hoaks dianggap bukan sebagai masalah serius di kalangan masyarakat masa kini. Dengan begitu kita bisa mengatakan bahwa era Post Truth adalah era di mana kebohongan lahir dan menjadi ‘pemimpin’ atas manusia; era di mana kebohongan mengontrol tindakan manusia.
Ruang publik masyarakat modern yang menjadi usaha manusia untuk hidup tidak lagi kondusif. Kebenaran tidak lagi menemukan ‘cakarnya’ untuk mengontrol tindakan manusia. Fenomena era Post Truth semakin kuat tertanam dalam diri manusia melampaui budaya dan batas negara karena ditopang oleh fondasi medsos dan internet.
Potensi konflik di Papua
Tanah Papua yang sering diagungkan menjadi tanah terbekati, damai, dan dipenuhi “susu dan madu”, surga kecil yang jatuh ke bumi, lama-kelamaan mulai terkubur karena potensi konflik yang menguat dan mengontrol kehidupan manusia. Jumlah korban manusia yang berjatuhan akibat konflik tak terhitung lagi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa tindakan manusia tidak lagi saling menghargai satu sama lain.
Mengapa Papua penuh dengan konflik yang sangat memprihatinkan? Tentu jawaban atas pertanyaan ini adalah ladang konflik itu muncul karena potensi konflik bertumbuh subur.
Di era postmodern ini salah satu hal yang menyebabkan potensi konflik menguat adalah karena sumber informasi yang beredar di medsos tidak dicerna dengan baik. Kebanyakaan orang mencerna informasi berdasarkan emosi, yang sebenarnya menumpulkan rasio manusia dalam mengkritisi kebenaran informasi yang mungkin perlu ditelaah kembali.
Melalui tulisan ini, penulis hendak menjelaskan salah satu faktor penyebab suburnya potensi konflik di Papua yakni penggunaan medsos. Banyak orang (oknum) yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk mengembangkan era Post Truth tadi. Konstruksi nalar manusia dikendalikan di era Post Truth ini, sehingga mempengaruhi emosi sosial dan menempatkan masyarakat kecil menjadi korban.
Tujuan era Post Truth ini sederhana, yakni masyarakat Post Truth yang secara psikologis mudah melekatkan diri kepada kelompok sosial tertentu yang berlawanan dengan kaum elite akan teguh mengikuti keyakinan mayoritas di mana mereka berdiri. Persoalan uji kebenaran berdasarkan realitas tidak lagi dilakukan sebagai hal yang wajib dilakukan, melainkan kebenaran mayoritaslah yang mengontrol tindakan manusia sebagai kebenaran sejati.
Sejalan dengan penjelasan di atas, lalu era Post Truth yang mengarah kepada potensi konflik di Papua itu berkembang. Orang-orang yang mendiami tanah ini mudah terpengaruh dan masuk dalam era Post Truth. Kebanyakan orang termakan isu yang digiring kemana-mana, sehingga proses penyelesaian persoalan selalu mengambang.
Ketika internet hadir dan merasuki kehidupan masyarakat di Papua, kehidupan itu berbalik. Bukan lagi masyarakat yang mencari berita (informasi) dan mengecek kebenarannya, melainkan berita itu “datang” menghampiri masyarakat. Informasi paling cepat tersebar melalui medsos. Isu soal Papua selalu digiring untuk mengarah kepada ujaran kebencian.
Ujaran-ujaran kebencian yang begitu banyak terjadi hingga akhirnya bermuara pada ujaran-ujaran rasis. Fenomena ini kemudian berkembang biak bagaikan wabah penyakit. Hal ini dengan sangat mudah lalu memunculkan potensi konflik sosial (konflik horizontal).
Pastor Neles Tebay dalam bukunya “Dialog Jakarta-Papua“, menjelaskan bahwa konflik Papua melibatkan dua pihak yang bertikai yakni pemerintah Indonesia (pemerintah) dan orang Papua. Konflik ini dimulai sejak Indonesia menguasai Papua 1 Mei 1963 dan hingga kini belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh (Neles Tebai, 2009). Hal ini kemudian ditegaskan oleh LIPI yang menyebutkan beberapa sumber konflik yang harus diselesaikan di tanah Papua–politik, ekonomi, budaya, sosial, antropologi, dll. Lalu untuk menyelesaikan persoalan itu ditawarkan satu media yakni dialog yang komprehensif antara pihak-pihak yang bertikai.
Dalam era postmodern ini, konflik sebenarnya, yang diungkapkan di atas mulai dialihkan. Hoaks dan fakenews mulai mengambil perannya oleh orang-orang tertentu yang punya kepentingan. Mereka mulai menggiring isu yang sebenarnya mengarah kepada konflik horizontal. Masyarakat mulai diadu domba, berita-berita miring tentang kerusuhan, kebencian, dan rentang konflik SARA mulai muncul ke dinding medsos.
Masyarakat lalu dibuat tak berdaya; mencernanya tanpa berpikir panjang, lalu mulai melakukan tindakan anarkhistis, saling membunuh, membenci, dan saling mengungkapkan ujaran kebencian tanpa memikirkan dampaknya bagi keselamatan manusia.
Era Post Truth dan potensi konflik di Papua sangatlah relevan. Post Truth memunculkan fenomena baru dalam kehidupan masyarakat di Papua.
Akhir-akhir ini fenomena era Post Truth menjadi salah satu penyebab tindakan manusia yang bermuara pada praksis anarkhisme. Lalu isu sebenarnya yang menjadi akar konflik dialihkan supaya ada yang menjadi korban.
Era Post Truth berupaya menggiring opini publik agar tidak melihat akar masalah sebenarnya dalam penyelesaikan konflik. Konflik digiring lagi agar memunculkan potensi konflik baru. Dengan demikian era Post Truth di Papua bukan hanya terjadi ketika pemilu (pilkada) serentak 2020, dan era Post Truth bukan hanya digunakan oleh para politisi untuk menghalalkan berbagai cara, sehingga bisa duduk di ‘kursi empuk’ pada pemilu kemarin, melainkan juga merebak dalam kehidupan sosial masyarakat Papua, terutama dalam situasi konflik di Papua.
Era Post Truth ini akhirnya lebih-lebih digunakan oleh oknum (elite) tertentu yang ingin supaya konflik di tanah ini berlangsung terus-menerus. Dengan begitu mereka yang punya kepentingan tertentu selalu menjadi ‘penonton’. Ya, menjadi ‘penonton’ permainan drama mereka sendiri. Mereka menjadi orang-orang yang mengorbankan orang lain demi kepentingan mereka. Mereka membungkus kepentingan mereka di bawah penderitaan masyarakat kecil–orang-orang yang mudah terprovokasi.
Akhirnya fenomena ini tentunya menjadi catatan hitam yang perlu disadari semua pihak, bahwa era Post Truth sedang bekerja dan menghancurkan tatanan hidup sosial manusia di Tanah Papua. Oleh sebab itu, kecerdasaran manusia yang menggunakan medsls dan internet sangat penting.
Kebenaran berdasarkan fakta, bukan pada kepentingan
Pengungkapan kebenaran dan tindakan manusia sangat berkaitan erat dengan rasio manusia dan sikap kritisnya. Ketika manusia bijak menggunakan medsos dan kritis memilah informasi hoaks atau bukan hoaks, maka dengan jelas manusia itu dengan sendirinya sedang melawan badai Post Truth. Hanya sikap bijak, dan kritis dari manusialah yang mampu mengalahkan era ini.
Orang harus sadar dan sampai pada tahap melihat maksud dari berita yang ditulis atau informasi yang beredar. Kebenaran dalam berita yang dimuat harus berdasarkan pada realitas yang terjadi, bukan pada kepentingan.
Pengalihan isu, baik di internet, maupun medsos selalu menjadi hal yang memecah-belah kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak isu yang diangkat dalam medsos dan internet tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Bahkan banyak media “siluman” yang menjadi aktor utama untuk mempropaganda situasi di Papua, sehingga potensi konflik tumbuh subur.
Banyak ruang demokrasi yang dibungkam sehingga orang percaya pada elite atau oknum-oknum tertentu yang punya pengaruh, sehingga pengungkapan kebenaran itu bukan lagi objektif–sesuai realita–melainkan sesuai subjek (ikut mau saya).
Sejalan dengan itu, filsuf Adorno melihat bahasa komunikasi (bahasa informasi) sebagai perpanjangan tendensi manusia yang hanya memandang orang dan segala sesuatu yang lain sebagai instrumen yang boleh dipakai untuk memenuhi keinginannya sendiri. Melalui bahasa orang lain dijadikan ‘benda’, dan logika pembendaan inilah yang menjiwai setiap rezim totaliter.
Sebuah rezim totaliter adalah rezim yang menjadikan dirinya total, yang merasa berhak mendefenisikan segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri tanpa memberikan tempat bagi suara yang lain. Kepentingan dan keinginan sendiri menjadi kriterium untuk memandang segala yang lain (Budi Kleden, 2006).
Kebenaran harus diungkapkan berdasarkan fakta dan bukan pada kepentingan. Hal ini mengindikasikan bahwa pengungkapan kebenaran isu (masalah) harus terjadi sesuai fakta di lapangan. Pengungkapan kebenaran harus sesuai objektivitas. Inilah hal yang sering tidak disadari oleh para pengguna medsos dan internet, apalagi ketika kaum elite dan oknum-oknum tertentu mengambil perannya dalam medsos.
Mereka mem-posting sesuatu seusai kemauan dan menganalisis sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain. Permasalahan yang kemudian terungkap ke laman medsos itu menjadi “bom isu”.
Fenomena ini lalu membentuk persepsi publik dalam kesehariannya di luar internet. Hal itu dikarenakan manusia yang berselancar di medsos dan internet tersebut meyakini bahwa itulah yang benar terjadi. Perlu disadari bersama bahwa internet dan medsos bukanlah realitas. Dalam perspektif Heideger (Being and Time,1927), semua hal itu hanyalah sarana yang membantu kehidupan manusia.
Dengan demikian etika penggunaan medsos adalah cara yang ampuh mengatasi persoalan era Post Truth. Hal terpenting yang dilakukan adalah rekonstruksi nalar manusia. Ini bukanlah pekerjaan mudah karena berkaitan dengan penyadaran dan kesadaran bersama.
Ketika kita bijak menggunakan medsos dan internet kita juga membantu memperbaiki kehidupan dan tatanan sosial masyarakat yang majemuk. Kesadaran akan mencerna informasi juga membuat kita semakin kritis dalam mengolah infomasi. Potensi konflik akan berkurang ketika manusia menggunakan medsos dan internet sebagai sarana untuk membantu kehidupan yang lebih baik.
Medsos juga akan membantu kehidupan manusia ketika pengungkapan kebenaran berdasarkan objektivitas selalu dikedepankan lebih dari kepentingan mana pun yang terselubung. Perlu diingat juga bahwa setiap kali membaca informasi dari medsos, internet (dan media siluman), kita harus skeptis, kritis dan bijak mencernanya.
Sejalan dengan itu, filsuf Sokrates menyatakan bahwa setiap orang harus menggunakan akal budinya secara jernih untuk membuat keputusan, dan menjauhkan diri dari emosi-emosi yang tidak teratur (Reza A.A. Watimena, 2010). Gunakanlah rasio kita sebagai “pisau bedah” dalam mencerna setiap informasi yang beredar di medsos dan internet. Dengan demikian tindakan kita membantu membentuk watak dan tatanan sosial yang tidak mengarah kepada kehancuran, melainkan saling menghargai satu sama lain sebagai manusia yang bermartabat. (*)
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timo Marten