Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jenewa, Jubi – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dikabarkan dapatkan hasil awal uji coba obat Covid-19 pada dua pekan lagi. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan obat itu harus segera mendapatkan hasil uji klinis yang mungkin efektif mengobati pasien Covid-19.
“Hampir 5.500 pasien di 39 negara sejauh ini telah dilibatkan dalam uji coba Solidaritas,” kata Tedros, Jumat, (3/7/2020).
Baca juga : Ilmuwan di China mulai uji klinis tahap dua vaksin Covid-19
Covid-19 adalah tantangan untuk sistem kesehatan PNG
Corona di AS tembus angka dua juta, ini kondisi di Eropa
Tercatat uji coba obat untuk Covid-19 dimulai dalam lima tahap dengan melihat pendekatan pengobatan potensial dari pengobatan standar, remdesivir. Termasuk obat anti-malaria yang digembar-gemborkan oleh Presiden AS Donald Trump, hydroxychloroquine, obat HIV lopinavir/ritonavir, dan lopanivir/ritonavir yang dikombinasikan dengan interferon.
Sedangkan awal bulan ini WHO menghentikan uji coba hydroxychloroquine pada pasien Covid-19 setelah penelitian menunjukkan tidak adanya manfaat dari obat tersebut, namun banyak pekerjaan yang masih diperlukan untuk melihat apakah obat itu cukup efektif sebagai obat pencegahan.
Kepala program kedaruratan WHO, Mike Ryan, mengatakan tidak bijaksana untuk memprediksi kapan sebuah vaksin bisa siap melawan Covid-19, penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus corona jenis baru dan telah menelan lebih dari setengah juta orang.
Sementara calon vaksin mungkin menunjukkan kemanjurannya pada akhir tahun, pertanyaannya adalah seberapa cepat vaksin itu dapat diproduksi secara massal, katanya kepada asosiasi jurnalis PBB ACANU di Jenewa.
Tidak ada vaksin yang terbukti melawan penyakit Covid-19 untuk saat ini, sementara 18 calon vaksin sedang diujikan pada manusia.
Pejabat WHO mempertahankan respons mereka terhadap virus yang muncul di China tahun lalu, dengan mengatakan bahwa mereka telah diarahkan oleh ilmu pengetahuan ketika virus itu berkembang. Ryan menuturkan apa yang ia sesalkan adalah bahwa rantai pasokan global putus, sehingga membuat para staf medis tidak memiliki alat pelindung.
“Saya menyesal bahwa tidak ada akses yang merata untuk mendapatkan alat Covid. Saya menyesal bahwa sejumlah negara memiliki lebih banyak dari yang lain, dan saya menyesal bahwa petugas lini terdepan meninggal karena (itu),” katanya.
Ia mendesak negara-negara agar terus mengidentifikasi klaster baru Covid-19, melacak orang yang terinfeksi dan mengisolasi mereka untuk membantu memutus rantai penularan. (*)
Editor : Edi Faisol