Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Draf rancangan Peraturan Daerah Khusus atau Raperdasus tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, agar menjadi bahan kajian dalam penyusunan Keputuan Presiden tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Hal itu dinyatakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua John NR Gobai di Jayapura, Senin (14/10/2019).
Gobai menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) telah menyiapkan draf Raperdasus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah dilengkapi dengan naskah akademik. Menurutnya, dalam proses penyusunan draf Raperdasi KKR itu DPRP juga telah menjalankan tahapan konsultasi publik di lima wilayah adat yang ada di Provinsi Papua.
Draf yang disusun Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRP itu juga telah dibahas dengan Biro Hukum Pemerintah Provinsi Papua, dan sempat dibahas dalam sidang paripurna DPRP. “Akan tetapi, sidang paripurna DPRP menyepakati agar draf Raperdasus KKR itu diajukan kepada [pemerintah] pusat [sebagai bahan] kajian,” kata Gobai.
Kesepakatan itu diputuskan karena sidang paripurna DPRP mempertimbangkan pengaturan Pasal 46 ayat (3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). Pasal itu menyatakan susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas, dan pembiayaan KKR diatur dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur Papua.
Gobai menyatakan Gubernur Papua Lukas Enembe sudah menanggapi keberadaan draf Raperdasus KKR itu. “Beliau mengatakan draf Raperdasus KKR ini akan diajukan kepada [pemerintah] pusat. Alasan [draf Raperdasus itu] didorong ke pusat karena pembentukan KKR merupakan kewenangan pusat. Draf Raperdasus KKR didorong menjadi Keputusan Presiden,” kata Gobai.
Terkait dengan keputusan Gubernur Papua yang menugaskan Universitas Cenderawasih (Uncen) membuat kajian KKR Papua, Gobai menyatakan Bapemperda DPRP siap bekerja sama dengan Uncen untuk mengkaji draf Raperdasus KKR itu.
Secara terpisah Rektor Uncen Dr Ir Apolo Safanpo mengatakan berbagai konflik telah menimbulkan gejolak sosial di Tanah Papua sejak 1961. Hal itu menimbulkan penderitaan bagi rakyat Papua, dan menyebabkan trauma para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Penderitaan dan trauma itu berkepanjangan karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM berlarut-larut.
“Akibat belum terselesaikan [berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu] program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah sering berbenturan dengan masalah HAM. Untuk itu, perlu adanya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” kata Safanpo, di Jayapura pada pekan lalu.
Terkait berbagai konflik yang terjadi belakangan ini, para akademisi Uncen akan mencoba membagi pola penanganannya dalam tiga kelompok berbeda. Ketiga kelompok penanganan kasus itu adalah jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Menurut Safanpo, pembentukan KKR akan menjadi salah satu bentuk penanganan kasus pelanggaran HAM jangka panjang, yang dilakukan pasca pemulihan kondisi keamanan (penanganan jangka pendek) dan penanganan masalah sosial pasca kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti membuka lapangan kerja baru (penanganan jangka menengah).(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G