Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) membahas satu Raperdasi dan tiga Raperdasus yang kemudian diserahkan kepada pihak eksekutif, dalam hal ini Kepala Biro Hukum Provinsi Papua.
Pembahasan ini dilakukan bersama di Hotel Horison, Jayapura, Kamis (20/6/2019) oleh DPRP, Pemerintah Provinsi Papua, Kanwil Hukum dan HAM Papua, Komnas HAM Perwakilan Papua dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergiat di bidang hukum dan HAM.
Keempat rancangan Peraturan Daerah tersebut adalah : Raperdasi Penyelenggaraan Bantuan Hukum, Raperdasus Penyelesaian Pelanggaran HAM di Provinsi Papua, Raperdasus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua dan Raperdasus Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Papua.
“Raperdasi Penyelenggaraan Bantuan Hukum disusun oleh pegiat hukum dan HAM di Papua bersama akademisi dari Universitas Cenderawasih. Raperdasi ini tidak dibahas lagi, hanya diberi pembobotan saja. Sementara tiga Raperdasus lainnya masih harus dibahas kembali oleh DPRP, eksekutif, Komnas HAM Perwakilan Papua dan pegiat hukum dan HAM,” ungkap Ignatius Mimin, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BAPEMPERDA) DPRP kepada Jubi disela pembahasan.
Menurutnya, Raperdasi Penyelenggaraan Bantuan Hukum merupakan inisiatif DPRP dan pegiat hukum dan HAM Papua yang merasa sulit mengakses program bantuan hukum yang disediakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) karena beberapa persyaratan yang sulit seperti Organisasi Bantuan Hukum (OBH) harus terkreditasi dan terverifikasi.
“Intinya, kita tahu kesulitan lembaga-lembaga bantuan hukum di Papua ini. Pemerintah daerah harus membantu mengatasi masalah tersebut melalui anggaran yang disediakan dalam APBD. Bagaimana mekanismenya, itu yang diatur dalam Raperdasi tersebut,” ungkap Mimin.
Persoalan akses terhadap program bantuan hukum BPHN bukan hanya persyaratan yang sulit saja. Selain itu, jumlah anggaran yang dialokasikan sangat kecil untuk ukuran Papua. Misalnya, untuk satu proses pengadilan yang didampingi oleh OBH hanya dialokasikan sebesar lima juta rupiah. Sedangkan untuk konsultasi hukum disediakan anggaran sebesar 140 ribu rupiah.
“Bantuan itu juga sistemnya reimburse dan hanya bisa diakses untuk proses hukum di pengadilan. Jadi kalau kasus hukumnya berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, pelaku yang diadili lah yang menerima manfaat program itu, bukan korban,” kata Fince Yarangga, Kordinator TIKI Papua.
Hingga saat ini OBH yang mengakses program BPHN ini hanya empat OBH saja, sementara di Kota Jayapura saja terdapat lebih dari 10 OBH.
Raperdasi Raperdasi Penyelenggaraan Bantuan Hukum ini diserahkan kepada Kepala Biro Hukum Provinsi Papua, Derek Hegemur untuk selanjutnya ditindak lanjuti oleh pihak eksekutif.
Hegemur mengatakan Raperdasi tersebut adalah inisiatif yang sangat bagus. Namun menurutnya, pemerintah Provinsi Papua akan melihat kembali isi Raperdasi tersebut untuk menyesuaikan dengan peraturan-peraturan lainnya yang lebih tinggi. Terutama karena berkaitan dengan APBD maka harus melihat aturan-aturan yang berkaitan dengan penggunaan anggaran. (*)