Papua No. 1 News Portal I Jubi
Jayapura, Jubi – Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Freeport Indonesia (PTFI) diminta serius segera melakukan perundingan dengan orang asli Papua (OAP), terutama pemilik hak ulayat gunung Nemangkawi di Tembagapura, Mimika.
Demikian ditegaskan Sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP), John NR. Gobay, menanggapi keputusan divestasi saham 51%. Menurutnya Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM, Ignasius Jonan, harus menghormati OAP sebagai pemilik tanah.
“Bapa-bapa (presiden dan menteri) punya negara, tapi saya punya gunung. Ini dua hal yang penting. Kedaulatan negara dan kedaulatan pemilik tanah harus nyata bersama, sesuai UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan 18 ayat 2, serta Pasal 28I ayat 3, dan UU No 21 tahun 2001 serta Pasal 135 UU No 4 Tahun 2009. Saya harap jangan ada pihak yang membangkang terhadap ini dalam kerangka bicara Freeport,” tegas John kepada Jubi di Jayapura, Kamis, (31/8/2017).
Ia menyarankan, semua pihak harus duduk bersama dan bicara dalam meja perundingan, sebab itu penting untuk pemilik tanah ulayat.
“Bagaimana dengan perbaikan wilayah yang dirusak, itu menjadi tanggung jawab siapa? Bagaimana pascatambang? Sebab persoalan utama adalah ketidakpercayaan. Kalau negara mengeluarkan IUPK berarti masyarakat adatlah yang membuat kontrak tanah dengan Freeport. Hal yang lain kita perlu bicarakan, apa hak dan apa yang didapat oleh Pemprov Papua dan Pemda Mimika?” katanya.
Ia mempertanyakan, siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan dan melakukan kegiatan CSR yang lebih baik serta penghormatan terhadap pemilik tanah adat
“Kita semua tentu mengetahui, orang kebanyakan enggan mencuci piring yang dipakai makan orang lain,” katanya.
Terpisah, pimpinan gereja Katolik, Uskup Keuskupan Timika, Mgr. John Philip Saklil, Pr mengatakan, dengan perpanjangan kontrak ada dua hal yang dilanggar, yaitu masyarakat pemilik hak ulayat tidak dilibatkan untuk memutuskan perpanjangan kontrak dan haknya sebagai pemilik hak ulayat.
"Pemilik hak ulayat tidak dilibatkan dalam kesepakatan itu. Nah, ini bisa disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM),” jelas Uskup Saklil. (*)