Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Yohanis Mambrasar
Akhir-akhir ini isu berakhirnya Otonomi Khusus (Otsus) Papua ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat Papua, khususnya kalangan elite birokrat Provinsi Papua, Papua Barat, dan politisi OAP (Orang Asli Papua), bahkan menuai tanggapan dari pejabat pusat–pemberi dan pengawas otsus, yaitu Kementerian Dalam Negeri Dirjen Otonomi Daerah (Otda).
Sedangkan di sisi masyarakat akar rumput diskusi tentang berakhirnya otsus belum menjadi diskusi harian pagi-sore mereka, bahkan masyarakat Papua di kampung-kampung, pesisir, dan pedalaman atau pinggiran kota tidak mengetahui kapan otsus akan berakhir.
Padahal isu berakhirnya otsus ini mulai diperbincangkan sejak 2017 dan ramai didiskusikan akhir 2018, yang diperdebatkan oleh para elite birokrat dalam berbagai diskusi pada forum-forum resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah kedua provinsi, pemerintah pusat yang kemudian menyasar para politisi, kaum akademisi hingga kaum intelektual muda, yang turut mengembangkannya dalam diskusi-diskusi formal maupun nonformal di warung kopi.
Berbagai wacana dalam narasi berakhirnya otsus pun telah dikembangkan, misalnya, wacana perpanjangan otsus jilid dua, perpanjangan otsus yang disertai evaluasi dan otsus tetap lanjut dengan revisi, bahkan ada pula wacana sampingan yang dikembangkan bahwa (jika) otsus berakhir, maka kebersamaan Papua dengan Indonesia juga berakhir.
Wacana-wacana ini menggambarkan adanya keresahan semua pihak tentang keberlangsungan kebijakan otsus itu sendiri, maupun relasinya dengan pembangunan manusia dan alam Papua, yang menjadi subjek esensi dari otsus itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui bahwa kebijakan pemberian kewenangan khusus pada Papua oleh pemerintah pusat yang dilahirkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 hanya diberlakukan selama 20 tahun, yaitu sejak tahun 2001-2021.
Dalam jangka 20 tahun ini melalui undang-undang otsus pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melakukan kebijakan khusus membangun orang-orang Papua di daerah pemerintahannya secara mandiri. Kebijakan khusus ini juga disertai pemberian uang yang juga berlaku khusus sebagai fungsi implementasi mandat undang-undang otsus itu sendiri.
Selama 20 tahun diberikan sebagai stimulan untuk pembangunan secara penuh kepada orang-orang Papua di segala aspek pembangunan: sistem politik lokal, ekonomi, sosial dan kultur, sehingga dengan kekhususan yang dimiliki pemerintah daerah ini, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dapat mengubah kehidupan orang-orang Papua, yang dulunya tertinggal dalam konteks pembangunan infrasturuktur, sumber daya manusia (SDM) dan mentalitasnya dapat berubah serta lebih maju; setara dengan orang-orang Indonesia lainnya di setiap provinsi.
Pertanyaannya: apakah diskursus tentang berakhirnya otsus ini telah menyasar persoalan-persoalan mendasar rakyat Papua? Ataukah hanya sebagai ajang pertarungan kekuasaan antara elite-elite birokrat dan para politikus OAP dengan pemerintah pusat?
Perdebatan otsus di penghujung waktu masa berlakunya ini mestinya menjadi perdebatan tentang capaian-capaian substansial otsus–capaian yang sesuai dengan mandat utama otsus tersebut–yaitu pembangunan kemajuan manusia Papua sesuai dengan aspirasi dan hak-hak orang Papua (pasal 1 huruf b UU Otsus 21/2001).
Alat uji paling mudah untuk mengukur kebijakan otsus apakah telah mencapai substansisnya/mandat pokoknya atau belum dengan mengunakan alat ukur penerapan kebijakan perlindungan, kebijakan, keberpihakan, dan kebijakan pemberdayaan yang merupakah roh dari otsus itu sendiri, serta pembagunan pilar-pilar utama otsus, yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP), partai lokal, pengadilan HAM ad hoc, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR).
Dengan begitu kita dapat mengetahui apakah kebijakan pembangunan di Tanah Papua sudah berpihak pada orang Papua atau belum, apakah otsus sudah melindungi orang Papua (orang Papua terlindungi) atau belum, apakah orang Papua sudah diberdayakan di berbagai sektor pembangunan–sistem politik lokal, ekonomi kerakyatan, birokrasi, pemerintah, pengembangan skil dan mental, dan SDM? Apakah pilar-pilar otsus telah dibentuk? Jika belum apakah masalahnya?
Hemat penulis diskursus berakhirnya otsus belum substansial karena wacana yang berkembang selama ini hanya mengenai bagian formil dari otsus itu–diskusinya hanya mengenai perubahan anggaran, perubahan mekanisme prosedural dan tata kelola, penambahan kewenangan, bahkan diskusinya menjadi perdebatan yang saling menyalahkan antara pemerintah Papua dan pemerintah pusat mengenai mekanisme kewenangan dan isu-isu kesejahteraan, ketika menghadapi isu-isu tertentu yang berkembang mengenai Papua.
Diskursus tentang berakhirnya otsus menjadi lebih berbobot jika menyentuh materi-materi substantif, yaitu evaluasi mandat otsus: pemberlakukan kebijakan khusus dan pembangunan empat pilar otsus. Diskursus berakhirnya otsus harus menjadi ajang evaluasi penerapan otsus selama lebih dari 18 tahun ini, yang kemudian menjadi basis argumentasi dalam menentukan kebijakan selanjutnya bagi Papua.
Hal terpenting lagi yang harus lahir dalam diskursus otsus adalah bagaimana membangun format consensus politik yang kuat antara pemerintah Papua dan Papua, konsensus tentang pengakuan sungguh-sungguh dan kepatuhan nyata pemerintah Indoensia atas kebijakan-kebijakan politik yang telah dibuat untuk Papua. Jika tidak, kebijakan apa pun yang akan dilakukan setelah otsus tidak akan menjadi solusi final untuk menyelesaikan masalah Papua.
Diskursus tentang format politik ini harus berkaca pada pengalaman selama 18 tahun otsus diterapkan, yang banyak diintervensi dan dibatasi oleh kewenangan pemerintah pusat, dan pengalaman UUPA (Udang-Undang Pokok Aceh/Otsus Aceh) yang kini terancam dilumpuhkan oleh pemerintah pusat. (*)
Penulis adalah praktisi hukum di Kota Jayapura
Editor: Timo Marthen