Papua No. 1 News Portal | Jubi
(Sebuah catatan kritis di tengah pro dan kontra otsus Papua )
Oleh: Frans Pekey
Untuk mengawali tulisan ini, perlu dimaknai kebijakan otonomi khusus (otsus) Papua sebagai kebijakan publik yang diberikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan dan konflik di Papua yang terus terjadi lebih dari lima dekade ini.
Sebelum menganalisis lebih jauh, dapat diuraikan pengertian kebijakan publik secara konseptual, di antaranya oleh Thomas R. Dye (1981), bahwa kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Selanjutnya, James E. Anderson (1979) menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat pemerintah.
Maka kebijakan publik adalah pilihan-pilihan pemerintah yang dinyatakan dan ditetapkan untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh lembaga negara dan pejabat pemerintah.
Dalam konteks ini, kebijakan otsus Papua sebagai pilihan Pemerintah Republik Indonesia untuk melaksanakan berbagai tindakan yang ditetapkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintahan dan para pejabatnya, baik di pusat, maupun di daerah dalam rangka percepatan pembangunan Papua guna mewujudkan kesejahteraan rakyat Papua dan menyelesaikan konflik di Papua.
Pertanyaannya adalah bagaimana kenyataan kebijakan otsus Papua ini dilaksanakan selama 19 tahun ini dan apa yang perlu dilakukan dalam upaya perbaikan? Secara singkat dalam tulisan ini dapat dianalisis dari beberapa perspektif sebagai berikut:
Perspektif formulasi kebijakan
Formulasi kebijakan sebagai rangkaian proses perumusan dan penetapan kebijakan dalam suatu sistem pemerintahan dan politik negara. Proses itu diawali dari isu, fenomena dan masalah sosial masyarakat, untuk dibahas oleh pemerintah bersama stakeholder melalui mekanisme dan proses yang baik dan terencana.
Namun, untuk formulasi kebijakan otsus tahun 2001 tidak sepenuhnya berjalan optimal karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sosial, politik, dan keamanan yang kurang kondusif sejak reformasi hingga pasca Kongres Papua II tanggal 29 Juli – 4 Agustus 2000 di GOR Cenderawasih Jayapura.
Oleh karenanya, pendekatanan formulasinya adalah aktor rasional yang dibentuk oleh pemerintah dan mekanisme penetapannya melalui pendekatan politik birokratik antara DPR dan Pemerintah yang menghasilkan UU No. 21/2001 Tentang Otsus bagi Provinsi Papua pada tanggal 22 November 2001.
Perspektif aktor yang terlibat
Proses formulasi atau perumusan kebijakan diwarnai dengan dinamika interaksi antara para aktor atau pemangku kepentingan yang disebut sebagai aktor kebijakan. Aktor kebijakan dalam proses perumusan kebijakan dikelompokkan dalam aktor formal (pemerintah atau lembaga pemerintahan) dan aktor informal (individu, kelompok non pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama dan kelompok kepentingan lainnya).
Kedua aktor kebijakan ini selayaknya memiliki aksesibilitas yang sama dalam proses formulasi kebijakan dalam memperjuangkan permasalahan dan kepentingannya yang argumentatif dan faktual.
Aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan otsus tahun 2001 didominasi oleh aktor formal dalam sistem pemerintahan dan politik, sedangkan aktor informal rakyat Papua tidak terlibat.
Faktor penyebabnya adalah, pertama, situasi sosial politik lokal Papua saat itu yang tidak kondusif untuk membangun aksesibiltas para aktor; kedua, aktor informal Papua dan mayoritas rakyat Papua saat itu menolak tawaran kebijakan otsus akibat dari hasil dialog nasional antara 100 tokoh Papua dengan Presiden B.J. Habibie tahun 1999 dan hasil Kongres Papua II di Jayapura tahun 2000.
Perspektif evaluasi implementasi dan dampaknya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2002 sampai saat ini (2020) dan memasuki tahun ke-19 implementasinya. Berbagai dinamika telah diketahui, dialami dan dirasakan selama pelaksanaan otsus ini. Ada masalah dan tantangan, ada keberhasilan dan capaian, serta ada kegagalan.
Untuk menilai dan mengukurnya diperlukan evaluasi, meskipun alat ukur dan parameter evaluasi otsus tidak pernah diatur secara spesifik didalam regulasi manapun. Namun demikian, evaluasi kebijakan otsus yang komprehensif perlu dilakukan, meliputi:
Pertama, evaluasi proses formulasi dan pelibatan aktor seperti diuraikan di atas; Kedua, evaluasi pelaksanaan isi pasal-pasal dalam undang-undang yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu kategori kebijakan yang gagal diimplementasikan seperti pasal 45 pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), pengadilan HAM, pasal 32 Komisi Hukum Adhoc, pasal 44 kewajiban perlindungan HAKI OAP, pasal 41 Penyertaan modal pada BUMN dan Perusahaan Swasta di Papua, dan lainnya; Kategori kebijakan yang tidak berhasil dalam implementasinya, seperti pasal 27 menetapkan kebijakan kepegawaian, pasal 28 partai politik lokal, pasal 45 perlindungan dan penghormatan HAM, pasal 58 membina dan mengembangkan bahasa dan sastra daerah, pasal 61 kewajiban pembinaan dan pengendalian penduduk OAP (orang asli Papua), dan lainnya;
Ketiga, evaluasi pelaksanaan otsus untuk mengukur efisiensi anggaran, efektivitas program dan capaian hasil dari lima bidang prioritas otsus serta menilai pelaksanaan pasal-pasal Undang-Undang Otsus;
Keempat, evaluasi kinerja kebijakan yang berdampak bagi rakyat Papua untuk mengukur perubahan dan kemajuan Papua serta implikasinya bagi kesejahteraan dan perdamaian di Papua.
Di sisi lain jika kebijakan otsus itu gagal, maka setidaknya dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu : pertama, sejak awal persepsi OAP tentang otsus adalah bukan aspirasi dan keinginannya; kedua, pelaksanaannya jelek (bad execution); ketiga, kebijakan sendiri jelek karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi (bad policy); keempat, kebijakan itu bernasib jelek (bad luck) karena dilaksanakan di lingkungan masyarakat yang tidak mendukung dan lingkungan yang kurang kondusif; kelima, gagal karena para penentu kebijakan (pemerintah), pelaksana (birokrasi), pelaku dan penerima manfaat (rakyat) tidak konsisten dalam menjalankannya.
Perspektif rekonstruksi kebijakan otsus
Rekonstruksi atau revisi UU No. 21/2001 dalam suasana sosial politik Papua yang mempersepsikan otsus antara gagal dan berhasil atau menolak dan melanjutkan otsus bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Di satu pihak pemerintah tetap melanjutkan otsus dengan merevisi terbatas atas undang-undang ini meskipun tidak sesuai amanat pasal 77, tetapi di pihak lain orang Papua dengan tegas menolak kelanjutan otsus karena dinilai gagal menyejahterakan orang Papua.
Untuk itu, beberapa langkah yang perlu dilakukan, yaitu pertama, membangun rekonsiliasi antara pemerintah dan rakyat Papua dan membuka komunikasi konstruktif agar menemukan jalan tengah, guna menghindari kekerasan dan konflik; kedua, pemerintah/lembaga tertentu melakukan evaluasi implementasi otsus secara menyeluruh dari dua aspek yaitu evaluasi isi pasal-pasal UU 21/2001, evaluasi implementasi otsus untuk mengukur capaian kinerja (keberhasilan/kemajuan/dampak) dan faktor pendukungnya, serta kegagalan dan faktor penghambatnya sesuai amanat pasal 78;
Ketiga, Untuk memenuhi amanat pasal 77 mengenai usul perubahan UU No. 21/2001 ini, maka rakyat Papua perlu memberikan ruang kepercayaan kepada Pemerintah Provinsi Papua/Papua Barat, DPRP/DPR PB dan MRP/MRPB menginisiasi proses dan tahapan revisi kebijakan otsus dari daerah.
Usul perubahan ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu mendasari rekomendasi hasil evaluasi implementasi otsus dan melalui penjaringan aspirasi rakyat Papua yang dilakukan secara terorganisir, terstruktur, dan terukur di semua wilayah adat di Tanah Papua;
Keempat, berkenaan dengan Rancangan Undang-Undang Otsus Papua telah masuk dalam Prolegnas Prioritas DPR RI tahun 2020, maka saat ini Pemerintah dan DPR cukup melakukan revisi pasal 34 tentang alokasi dana OTSUS setara 2 % DAU Nasional atau dapat menunda pembahasan Revisi UU ini tahun 2021.
Hal ini cukup beralasan karena sesungguhnya masa berlaku UU 21/2001 saat ini adalah baru 19 tahun dan atau akan mencapai 20 tahun pada tahun 2021 sejak UU ini diimplementasikan tahun 2002 silam. Artinya, masa berlaku pasal 34 tersebut baru akan berakhir pada Desember 2021. Dengan demikian, pemerintah bisa memberi ruang yang cukup bagi Rakyat Papua untuk mengevaluasi dan mengajukan usul revisi undang-undang ini sampai dengan tahun 2021.
Hal ini akan sejalan dengan arahan Presiden RI Joko Widodo dalam Rapat Terbatas Kabinet bulan Juli lalu bahwa perlu dilakukan evaluasi total terhadap otsus dan memberikan ruang bagi rakyat Papua untuk mengajukan usul revisi UU Otsus ini sesuai amanat pasal 77 tersebut.
Menurut penulis, jika keempat hal ini dianalisis dan dilakukan secara bijak dan konsisten oleh pemerintah dan rakyat Papua, maka akan dapat menjadi jalan tengah untuk meredam suasana pro dan kontra tentang nasib kebijakan otsus yang saat ini sedang berpolemik di Papua.
Untuk itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dari pemerintah dan rakyat Papua tentang tujuan dan cita-cita dari kebijakan otsus sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum UU No 21/2001 yaitu mengejar ketertinggalan dan memajukan Papua, serta menyelesaikan berbagai persoalan di Papua dan bukan sebaliknya membiarkan Papua terus tertinggal atau juga bukan membiarkan dan terus menerus terjadi berbagai persoalan dan konflik di Papua. Jika otsus berhasil, maka itu mengindikasikan keberhasilan PAPUA, tetapi sebaliknya jika otsus gagal, maka sesungguhnya adalah kegagalan kolektif.
Ingatlah bahwa kebijakan otsus adalah pendekatan kebijakan politik negara dalam rangka percepatan pembangunan di Tanah Papua guna memajukan Papua dan mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Papua di Tanah Papua atau Bumi Cenderawasih ini. (*)
Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik, kebijakan, pemerintahan. tinggal di Kota Jayapura
Editor: Timoteus Marten