Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Kilion Wenda
Siapapun yang pernah tinggal atau menetap dan travelling di Papua mengetahui lagu “Di sana Pulauku yang Kupuja s’lalu, Tanah Papua Pulau Indah”, ciptaan seorang guru kesenian Yance Rumbino, yang kemudian dinyanyikan oleh grup Trio Ambisi. Lagi ini menggambarkan alam yang sangat kaya raya, dengan gunung-gunung, lembah-lembah, aliran sungai, dan pesisir pantai, serta manusia dan kebudayaan Papua yang indah dipandang.
Papua secara geografis dan kebudayaan merupakan bagian dari Melanesia. Namun Papua adalah bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebab setiap warga negara berhak dan bebas berinteraksi dengan sesama, dengan alam dan Tuhan yang diyakininya, karena manusia sebagai makhluk sosial berhubungan secara timbal balik dengan manusia lainnya.
Dengan kebebasan realitas itulah Tanah Papua dijuluki sebagai Indonesia mini, karena kemajemukan suku, bahasa, agama, dan kebudayaan yang berbeda-beda ada di Tanah Papua. Keanekaragaman di Papua ini sebagai contoh yang baik dalam penerapan nilai-nilai toleransi dan pluralisme.
Konflik dan kekerasan tidak menyelesaikan masalah
Dengan keunikan dan keharmonisan itulah konflik dan kekerasan juga tidak pernah habisnya. Sejak Papua secara de jure dan de facto berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1960-an, masalah Papua ibarat sebuah benang kusut dan berlingkar, sehingga sulit untuk diurai—mulainya darimana dan berakhir dimana.
Konflik juga diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih. Bisa juga kelompok, yang mana, salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Kekerasan merupakan sebuah ekspresi yang dilakukan secara fisik maupun verbal yang mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan yang dapat dilakukan perorangan maupun sekelompok orang.
Sudah sangat lama konflik dan kekerasan ini terjadi di Tanah Papua, baik konflik horizontal antarmasyarakat, maupun konflik vertikal yang melibatkan institusi negara dan kelompok kombatan di tingkat masyarakat yang berbeda ideologi.
Kesenjangan ekonomi dan sosial mengakibatkan konflik horizontal. Sebagai contoh di Tanah Papua, (hampir pasti) semua sektor ekonomi dan instansi pemerintahan (mulai dari cleaning service sampai pejabat eselon) dikuasai oleh orang non-Papua. Jabatan politik juga ikut bersaing, mulai dari ketua dan anggota DPRD sampai bupati dan wakil bupati.
Konflik vertikal ini semacam musiman, sewaktu-waktu meledak lalu hilang. Konflik vertikal menyebabkan luka dalam bagi korban karena tidak pernah ada penyelesaian yang menyeluruh dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Dari sekian banyak konflik dan kekerasan di Tanah Papua, konflik terlama adalah konflik Nduga. Konflik ini terjadi sejak kekerasan yang dilakukan oleh TPNPB pimpinan Egianus Kogoya yang menewaskan 16 orang pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018, yang mengakibatkan operasi militer TNI-Polri tanpa batas waktu, karena masih berlangsung sampai saat ini.
Konflik Nduga telah menyebabkan banyak orang menjadi korban, baik masyarakat sipil, maupun TPNPB/OPM dan TNI-Polri. Ribuan masyarakat yang mencari perlindungan mengungsi ke kabupaten tetangga, seperti Jayawijaya, Timika, Lani Jaya dan daerah-daerah lain di Papua.
Konflik ini juga dapat menyebabkan aktivitas pemerintahan dan perekonomian terganggu, bahkan wakil bupati Kabupaten Nduga pun sempat mengancam mundur dari jabatan, karena pemerintah pusat dianggap tidak ada niat baik untuk menyelesaikannya.
Perlu mencari formulasi baru
Perlu mencari formulasi baru untuk meredam konflik dan kekerasan di Tanah Papua, karena kekerasan tidak dapat menyelesaikan masalah, tapi kekerasan akan menambah kekerasan yang baru, sehingga dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan menambah luka baru bagi masyarakat sipil.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2009 menemukan empat akar masalah di Papua yang seharusnya dapat diselesaikan oleh pemerintah. Empat masalah itu di antaranya, marginalisasi dan diskriminatif, kegagalan pembangunan, sejarah politik Papua, dan pelanggaran HAM.
Tawaran LIPI itu tidak pernah dilihat dan dipahami baik oleh pemerintah pusat, mulai dari rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahkan sebagai jawabannya, pemerintah membentuk unit baru. Pemerintah lalu mengeluarkan Keputusan Presiden baru, Instruksi Presiden baru yang mengarah pada pembangunan fisik, misalnya, pembangunan jalan, membuka Daerah Otonomi Baru (DOB). Semua regulasi yang dibuat pemerintah jauh dari harapan masyarakat Papua.
Pemerintah perlu merefleksikan kembali masalah-masalah Tanah Papua, terutama konflik yang melatarbelakangi politik ideology, karena “NKRI harga mati” dan “Papua merdeka harga mati” tidak dapat menyelesaikan masalah. Semakin lama masalah Papua tidak dapat diselesaikan, semakin meluas pula persoalan Papua sampai pada tingkatan internasional.
Dialog sebuah cara untuk mencari solusi
Dulunya dialog dapat dilihat sebagai sebuah harapan yang tabu, karena dialog dipandang hanya membahas masalah-masalah kesejahteraan, pembangunan, dan ekonomi. Namun di masa kini dialog menjadi salah satu sarana yang sangat baik untuk membahas persoalan-persoalan, seperti, pendidikan, ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, keamanan, hukum dan HAM, politik, dan sejarah integrasi.
Pemerintah Indonesia perlu membentuk sebuah lembaga atau unit khusus untuk menangani dialog Papua. Tim yang dibentuk akan melibatkan semua komponen yang berkepentingan di Tanah Papua, termasuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk membahas, mengidentifikasi, dan mencari solusi secara bersama.
Pemerintah Indonesia tidak bisa melihat ULMWP sebagai kelompok diaspora di luar negeri yang tidak ada pengaruhnya di Tanah Papua, tetapi sebuah organisasi politik yang memiliki sayap militer dan jaringannya sampai pada tingkatan masyarakat di Tanah Papua, sehingga pemerintah diharapkan perlu mendekati para pemimpin ULMWP sebagai mitra dialog, untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Tanah Papua.
Semoga harapan yang dicita-citakan oleh kedua tokoh perdamaian Papua, alm Dr. Muridan Satrio Widjoyo dan alm Dr. Neles Kebadabi Tebay, Pr. dengan semboyan “Dialog Tidak Membunuh” dapat diwujudnyatakan di Tanah Papua. (*)
Penulis adalah aktivis perdamaian dan pemerhati sosial, tinggal di Wamena, Jayawijaya, Papua
Editor: Timoteus Marten