Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: RD Santon Tekege
Saya membaca di berbagai media nasional maupun asing tentang penolakan otsus (otonomi khusus) jilid 2 bagi Papua dan Papua Barat. Penolakan otsus datang dari berbagai pihak, termasuk mereka yang dulunya menerima otsus jilid 1 sejak 2001, tetapi menolak otsus jilid 2 sekarang.
Kelompok-kelompok yang menolak otsus adalah LSM, para aktivis kemanusiaan, persekutuan gereja-gereja di Tanah Papua, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pun ikut menolak.
Bagi mereka otsus jilid 1 membawa malapetaka atau kehancuran manusia, hutan, krisis identitas budaya dan menambah beban luka atas (ujaran) rasisme monyet orang Papua. Segala kekerasan dan konflik yang dialami dan dirasakan oleh orang asli Papua (OAP) selama ini.
Selain itu, otsus ditolak karena tidak adanya regulasi bagi OAP dan tidak adanya kebebasan bagi OAP dalam berbagai kesempatan di Tanah Papua. Tidak adanya izin masuk bagi wartawan asing dan tidak mengizinkan lembaga-lembaga kemanusiaan HAM PBB masuk di Tanah Papua, serta kehancuran hutan Papua karena diganti dengan perusahaan kelapa sawit tanpa izin masyarakat setempat.
Para kapitalis mengurus perizinan dan pengurusan surat-surat lain tentang perusahaan sawit itu di Jakarta, seakan-akan tidak adanya kewenangan otsus jilid 1 di Tanah Papua.
Otsus diberikan kewenangan khusus bagi OAP tetapi non-OAP atau migran yang ada di Tanah Papua bisa menjadi bupati, DPRD atau DPRP, atau pejabat-pejabat lainnya. Di samping itu, para pengusaha dikuasai oleh para migran.
Semua itu dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Tanah Papua. Pemerintah tidak sadar bahwa Papua sudah diberikan otsus dan segala kewenangan daerahnya pun (harus sesuai otonomi) khusus.
Namun semuanya itu diatur dari Jakarta, seakan-akan otsus tidak diberikan sejak 21 November 2001 di Tanah Papua.
Atas dasar masalah-masalah tersebut di atas, maka banyak pihak menolak otsus jilid 2 karena kegagalan otsus jilid 1.
OPM dan banyak pihak meminta referendum untuk kedua provinsi (Papua dan Papua Barat), bukan otsus jilid 2, karena otsus jilid 1 saja sudah gagal total atas semua kewenangan yang ada dalam Otsus.
Saya rasa (pemerintah) Indonesia tidak akan mau memberikan referendum untuk West Papua, karena mereka mau memberikan otsus jilid 2 untuk kedua provinsi tersebut. Indonesia tetap memaksakan otsus yang dibuat dan diracik di Jakarta. Sementara OAP dan OPM menolak otsus jilid 2 yang diracik dan dibuat di Jakarta.
(Ibaratnya) Otsus jilid 2 untuk Provinsi Papua telah dimasak dari Jakarta. Masakannya diberikan dan dipaksakan makan bagi OAP dari sana, tetapi masakannya terlalu basi, bahkan baunya sangat busuk untuk dimakan bagi OAP di sini.
Masakan seperti ini bisa (membuat OAP) keracunan makanan. Jika keracunan makanan yang baunya busuk, maka pastilah orang yang memakan makanan itu akan mati. Demikian juga otsus jilid 2 yang bau busuk yang masakan dan racikannya dari Jakarta.
Jakarta sedang memaksakan kepada OAP supaya memakan hasil racikan dan masakannya yang kedua bagi kedua provinsi bagian timur Indonesia ini. Namun hasil masakan dan racikannya akan sama seperti masakkan dan racikan pertama.
Orang asli Papua tidak mau keracunan makanan dari Jakarta. Kami tidak mau mati karena makanan yang dimasak di Jakarta. Kalau kami makan, maka akan merasakan penyakit melalui makanan dan kami akan mati.
Maka dari itu, OAP meminta masakan dan racikan yang baru, yaitu referendum untuk West Papua. Itu pun kalau (pemerintah) Indonesia setuju memberikan referendum bagi OAP.
Jika (pemerintah) Indonesia tidak setuju dengan referendum bagi OAP, saya menawarkan dialog internasional antara Jakarta dan ULMWP di luar negeri.
Masa Provinsi Aceh diberikan otsus seluas-luasnya melalui dialog dengan Jakarta di Helsinki, tetapi Provinsi Papua dan Papua Barat tidak diadakan dialog yang difasilitasi pihak ketiga? Bukankah Provinsi Papua dan Papua Barat bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Kalau kedua provinsi Indonesia bagian timur dirasa bagian dari NKRI, maka pentingnya diadakan dialog internasional antara Jakarta dan ULMWP demi terciptanya perdamaian di tanah Papua.
Orang Papua minta referendum bagi West Papua. Sementara Jakarta, Indonesia memaksakan masakan dan racikan terbaik melalui otsus jilid 2.
Keduanya, baik dari Papua, maupun Jakarta tidak bisa mempertahankan pikirannya masing-masing. Tetapi saya menawarkan jalan solusi terbaik demi terciptanya perdamaian di Tanah Papua melalui dialog.
Kita tidak saling mengorbankan satu sama lain hanya demi mencapai tujuannya masing-masing. Namun saya menawarkan supaya kedua kubu, baik dari Jakarta maupun Papua, harus duduk sama-sama dan mencari solusi terbaik sebelum diberlakukan otsus jilid 2 di Tanah Papua.
Jalan terbaik yang ditawarkan penulis adalah duduk sama-sama, bicara sama-sama, dialog sama-sama di tingkat internasional yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang independen atau negara yang diakui secara bersama-sama antara Jakarta dan Papua demi terciptanya perdamaian di Tanah Papua. (*)
Penulis adalah pastor dari Keuskupan Timika, Papua