Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi- Dewan Pers mengecam tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa oleh aparat keamanan selama kegiatan unjuk rasa terhadap penolakan pengesahan RKUHP, pada tanggal 24/9/19 di beberapa kota.
“Dewan Pers juga prihatin dan menyesalkan pemberitaan yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat serta berpotensi meningkatkan eskalasi konflik terkait peristiwa kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah, khususnya di Wamena,” kata Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry CH Bangun, melalui rilisnnya Rabu (2/10/2019).
Terkait hal tersebut , Dewan Pers mengingatkan bahwa kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Untuk itu Dewan Pers menyatakan sikap :
1. Prihatin dan mengecam serta mengutuk semua tindakan penghalangan, kekerasan, intimidasi dan
penganiayaan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap wartawan yang sedang melakukan
kegiatan jurnalistik.
2. Mendesak kepada semua pihak untuk tidak melakukan penghalangan, kekerasan, intimidasi dan
penganiayaan kepada wartawan pada saat sedang melakukan kegiatan jurnalistik.
3. Mendesak POLRI menindak tegas aparat keamanan yang terlibat dalam penghalangan,
kekerasan, intimidasi dan penganiayaan terhadap wartawan untuk diproses sesuai ketentuan
hukum yang berlaku.
4. Mendesak kepada perusahaan pers untuk selalu memperhatikan keselamatan wartawan dengan
menggunakan perangkat keselamatan ketika sedang melakukan kegiatan liputan terutama di
wilayah yang berpontensi kerusuhan.
5. Mendesak kepada wartawan yang mengalami kekerasan segera membuat laporan kepada
perusahaan pers dan kepolisian dalam waktu 24 jam.
6. Mendesak kepada perusahaan pers untuk melakukan pendampingan kepada wartawan korban
kekerasan dalam pembuatan visum dan membuat pelaporan kepolisian dalam waktu 24 jam.
Dewan Pers akan melakukan kordinasi bersama POLRI berdasarkan MoU 2017.
7. Mendesak agar seluruh perusahaan pers menegakan Kode Etik Jurnalistik untuk tidak menulis atau menyiarkan peristiwa berdasarkan prasangka, diskriminasi terhadap Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan dalam kebijakan redaksinya.
8. Mengingatkan kembali seluruh wartawan untuk mengutamakan jurnalisme damai.
Terpisah, Koordinator Forum Jurnalis Papua Arnold Belau menambahkan semua wartawan di Indonesia dilindungi UU Pers No. 40 tahun 1999. Dalam melaksanakan kegaitan jurnalistik itu, wartawan tidak bisa dihalang-halangi, dibatasi dan dan melarang untuk melakukan tugas sebagai wartawan (melakukan liputan). Dan UU menjamin untuk pidanakan siapapun orang atau pihak yang melakukan pelarangan, pembatasan dan penghalangan akses bagi wartawan.
“ Untuk itu, saya mengutuk keras tindakan penegak hukum, dalam hal ini kepolisian yang melakukan intimidasi, pembatasan akses untuk melakukan liputan dan pemukulan terhadap wartawan di Indonesia,” kata dia.
Dirinya menilai polisi sebagai aparat penegak hukum tidak paham dan tidak tahu tentang peran dan fungsi media (wartawan). Dia menyarankan untuk para penegak hukum bisa membaca dan memahami UU Pers. Sehingga mereka tidak melakukan kegiatan2 kriminal terhadap wartawan di Indonesia.
Pihaknya mendukung pernyataan Dewan pers tentang media yang harus kedepankan jurnalisme damai. “Saran saya untuk Dewan pers, agar bisa menertibkan berbagai media daring yang tumbuh subur di Indonesia. Tegur dan berikan sanksi pada media-media yang terus memproduksi kabar-kabar bohong (hoaks), juga pemberitaan yang tidak mengedepankan jurnalisme damai,” ujarnya.
Menurutnya, media harus menjadi pembawa kabar baik bagi masyarakat. Bukan pembawa berita buruk yang dapat menimbulkan konflik dan keresahan di masyarakat. Media di Indonesia mesti kedepankan jurnalisme damai dalam memproduksi setiap karya jurnalistik.
“Sebab, terlihat jelas sekali dalam pemberitaan tentang Wamena dan Papua. Dimana dalam pemberitaan di media-media di Indonesia banyak bikin berita yang dapat menimbulkan konflik baru dan keresahan dalam masyarakat di Indonesia,” ujarnya.(*)
Editor: Syam Terrajana