Demo menolak New York Agreement di Malang berujung ricuh

Mahasiswa Papua di Malang ketika melakukan aksi damai - Dok. AMP
Mahasiswa Papua di Malang ketika melakukan aksi damai – Dok. AMP

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Para mahasiswa asal Papua yang berada di Jawa Timur, berunjukrasa damai di Malang, Kamis (15/8/2019) pagi, mengecam penandatanganan New York Agreement antara Pemerintah Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1962. Unjukrasa Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua yang mengecam perjanjian penyerahan Papua dari Belanda kepada Indonesia itu berakhir ricuh, dan para mahasiswa asal Papua bentrok dengan sekelompok warga Malang.

Read More

Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Pusat Jhon Gobay membenarnya ada sekelompok warga Malang yang menghadang aksi para mahasiswa Papua menyuarakan aspirasi mereka menolak New York Agreement. Gobay menuturkan, peristiwa itu terjadi sekitar pukul 9.30 WIB, ketika para aktivis AMP berunjukrasa di sekitar Jalan Basuki Rahmat didatangi sekelompok warga.

“Teman teman AMP Malang diejek dengan sebutan nama binatang, dipukul dengan helm, dilempari batu, dan ditendang. Polisi ada di lokasi, namun mereka diam. Warga baru disuruh mundur setelah polisi melihat kawan-kawan kami terluka kena lemparan batu dan dipukul helm,” kata Gobay.

Menurutnya, sejumlah lima mahasiswa terluka dan berdarah. Gobay mengakui, beberapa mahasiswa asal Papua membalas lemparan batu itu. “Beberapa peserta aksi langsung melempar balik, pada saat itu sudah ada tiga motor kepolisian, satu mobil Dalmas,” katanya.

Gobay menuturkan jumlah polisi yang datang bertambah banyak. “Ada beberapa kawan kami yang terluka mau diangkut menggunakan ambulans polisi. Padahal, saat itu sudah ada ambulans milik rumah sakit, namun kami diarahkan ke mobil ambulans polisi,” katanya.

Gobay menuturkan satu truk tentara juga mendatangi lokasi unjukrasa AMP. Truk itu melaju kencang, dan nyaris menabrak para peserta aksi. “Ada kawan kami yang ditahan polisi. Satu teman kami, Niko Jigibalom, masih hilang.

Salah satu peserta aksi AMP itu, Pangkrasia Yeem mengatakan para mahasiswa berunjukrasa menolak New York Agreement, karena perjanjian penyerahan Papua kepada Indonesia itu menjadi awal dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua. “Papua menjadi bagian dari Indonesia berdasarkan perjanjian sepihak Indonesia dan Belanda [tanpa melibatkan orang Papua],” kata Yeem.

Yeem menilai perjanjian yang disponsori Amerika Serikat itu telah mengabaikan keberadaan orang asli Papua sebagai subyek hukum yang telah ada ketika perjanjian itu dibuat. “Perjanjian New York adalah perjanjian penipuan, pencaplokan, pembunuhan, pemusnahan bagi Bangsa Papua Barat sehingga kami Bangsa Papua Barat merasa dikorbankan. Kami minta pemerintah Belanda, Indonesia, Amerika Serikat, maupun PBB segera bertanggung jawab terhadap bangsa Papua Barat,” jelas Yeem.

Jhon Gobay mengatakan penguasaan Indonesia atas Papua tidak salah, karena Indonesia sendiri telah melanggar kesepakatan Perjanjian New York yang menyatakan Penentuan Pendapat Rakyat 1969 harus dilakukan dengan melibatkan seluruh rakyat Papua, atau “one man, one vote. Pelaksanan Penentuan Pendapat Rakyat Papua tidak sesuai kesepakatan dalam Perjanjian New York itu,” katanya.

Lebih ironis lagi, Indonesia bahkan telah menyepakati perjanjian Kontrak Karya dengan Freeport McMoRan pada 7 April 1967. “Itu dilakuan sebelum proses Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969. Pada 1969, 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara akhirnya hanya diwakili 1.026 orang yang sebelumnya sudah dikarantina Pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu, pada peringatan 56 tahun Perjanjian New York, kami menuntut rezim Jokowi-Jusuf Kalla, Belanda, Amerika Serikat, dan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk segera memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi bangsa Papua,” kata Gobay.

Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua menuntut Pemerintah Indonesia segera menutup kegiatan usaha para raksasa tambang di Papua, termasuk Freeport, BP, dan LNG Tangguh. Mereka juga meminta Amerika Serikat bertanggungjawab karena telah mendorong Perjanjian New York yang menjadi pintu kekerasan aparat keamanan Indonesia terhadap orang Papua.

Selain itu, Papua harus dijadikan zona demiliterisasi. Para mahasiswa itu juga menuntut Pemerintah Indonesia menjamin kebebasan orang Papua berkumpul dan menyatakan pendapatnya, serta mengizinkan para jurnalis asing meliput di Papua. Mereka juga menyatakan dukungannya terhadap Forum Kepulauan Pasifik (PIF) yang akan membuat resolusi tentang isu West Papua dalam pertemuan tingkat tinggi para pemimpin negara PIF di Tuvalu pada 13-16 Agustus 2019.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply