Demi demokrasi, Presiden Jokowi harus hentikan kriminalisasi Haris-Fatia

papua
Tangkapan layar dialog daring Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang dianggap mencemarkan nama baik Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan. (Sumber: YouTube Haris Azhar)

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Siorus Degei*

Ada sebuah fenomena yang mencoreng fitrah dan marwah Pancasila, hukum, HAM dan demokrasi di Republik ini. Seakan-akan negara ini telah kehilangan substansi hidupnya.

Read More

Banyak kasus besar yang nyata-nyatanya merusak nama baik negara, tetapi tetap saja oleh pemimpin dijadikan sandiwara. Kita sebut saja kebangkitan Khilafah, Front Pembela Islam, Aksi 212, kasus Papua, kasus Novel, kasus Munir, hingga kasus Haris-Fatia.

Kasus-kasus ini oleh pemimpin negara dianggap remeh. Tidak ada sedikit pun komitmen dari Presiden Jokowi untuk menyelesaikannya dengan damai, demi keutuhan marwah Pancasila, hukum, HAM dan demokrasi Indonesia. Yang ada hanyalah janji-janji politik yang palsu (Kompas.com, 20/10/2018).

Dari banyak desas-desus kasus tersebut penulis akan mengerucutkan pembahasan pada kasus somasi Haris Azhar, Direktur Lokataru dan Fatia Maulidiyanti, Ketua Kontras. Haris-Fatia disomasi Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang diduga memiliki gurita bisnis di Papua, khususnya di Intan Jaya (Blok Wabhu) dan Kalimantan.

Baca juga: Empat negara boneka ala Peter W. Botha dan 5 provinsi ala Jokowi

Somasi terhadap Haris dan Fatia atau tepatnya disebut kriminalisasi terhadap dua aktivis HAM ini bermulai ketika Harris dan Fatia berdiskusi melalui channel Youtube Haris Azhar berjudul “Ada Tuan Luhut Di Balik Hubungan Ekonomi-OPS TNI Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada. NgeHAMTAM“.

Dalam video berdurasi 26.52 menit yang dipublikasikan 20 Agustus 2021 itu, kedua pendekar HAM ini memaparkan hasil penelitian dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Papua. Keduanya mengklaim ada kaitan erat antara eksploitasi tambang dan dropping militer di Papua (Kompas.com, 23/9/2021).

Ada empat perusahan yang beroperasi di Intan Jaya, yaitu, PT Freeport Indonesia (PTFI), PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ), PT Nusapati Satria (PTNS), dan PT Kotabara Mitratama (PTKM). Dua diantaranya, yakni, PT Freeport dan PT Madinah Qurrata’Ain merupakan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan TNI/Polri, termasuk Luhut Binsar Panjaitan, mantan Kopassus TNI AD.

Lebih spesifik lagi kedua aktivis tersebut menyebutkan, PTQM terhubung dengan PT Toba Sejahtera, sebab, salah satu anak usahanya, yakni PT Tobacom Del Mandiri, memiliki saham 30 persen di perusahan tersebut.

Baca juga: Setiap detik Bintang Kejora berkibar di Papua

Mengapa ada banyak militer di Intan Jaya? Pada saat yang sama ada banya kepentingan di balik konsesi tambang tersebut, dan laporan Koalisi Bersihkan Indonesia menyebut dugaan keterlibatan Luhut dan 18 militer lainnya. Luhut dinilai “bermain” di gurita bisnis di Papua, sebab PT Toba Sejahtera Group merupakan miliknya (Tempo.co, 29/8/2021).

Sebagai bentuk protes, Luhut melayangkan gugatan terhadap Haris dan Fatia sebagai pelaku pencemaran nama baik. Beliau sempat melayangkan dua kali somasi kepada keduanya untuk meminta maaf. Namun mereka ngotot menyatakan, bahwa apa yang mereka sampaikan merupakan hasil kajian (penelitian) sejumlah LSM yang kredibel dan terpercaya, sehingga mereka tidak akan pernah meminta maaf atau menghapus cuplikan videonya.

Alhasil, Luhut mengadang mereka dengan pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3) UUD RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau pasal 14 dan atau pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau pasal 310 KUHP dan atau pasal 311 KUHP.

Beliau juga berencana menempuh jalur perdata dengan menuntut 100 miliar. Uang tersebut nanti diberikan kepada rakyat Papua (Kompas.com, 22/9/2021), agar semua tahu bahwa ia tidak “bermain” tambang di Papua.

Padahal orang Papua sangat tidak membutuhkan uang haram tersebut, karena berasal dari hasil menghakimi kebenaran. Lagi pula apa yang beliau dapatkan dari Papua tidak sebanding dengan 100 miliar tersebut. Beliau terlihat hendak cari nama baik karena kasusnya tercium publik (indonews.id, 23/9/2021).

Kurang lebih demikian desas-desus kasus kriminalisasi Luhut terhadap aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia. Berikut beberapa poin, yang hemat penulis, wajib diketahui bersama.

Luhut, menteri yang abai etika demokrasi

Kriminalisasi terhadap Haris dan Fatia memperlihatkan bahwa dari sekian banyak menteri kabinet di Republik ini, barangkali hanya Luhut yang abai akan demokrasi. Kita tidak tahu, apakah beliau pura-pura abai atau benar-benar abai akan demokrasi.

Hal ini nyata dalam tindak-tanduknya dalam rangka merespons hasil kajian ilmiah yang dibahas oleh Haris dan Fatia. Jika beliau paham etika demokrasi, pasti beliau tidak berkoar-koar bahwa ekspresi Haris dan Fatia sebagai tindakan pencemaran nama baik.

Sebaliknya beliau merespons itu sebagai sebuah kritikan terhadapnya, sehingga paling tidak, beliau juga menanggapinya secara demokratis-ilmiah. Beliau juga mesti menanggapinya secara sehat dan rasional.

Namun ternyata yang terjadi di luar koridor akal sehat. Beliau malah hendak mengkriminalisasi kedua aktivis tersebut. Hal inilah yang hemat penulis, menegaskan bahwa Luhut merupakan satu-satunya pejabat publik yang pemahaman etika demokrasinya amat kabur.

Baca juga: Menyoal nasib 407 ribuan anak Papua yang tidak sekolah

Selain itu, hal lain yang menegaskan Luhut sebagai menteri “paling benturan” dalam etika demokrasi adalah, saat memahami peringatan yang dilayangkan oleh anggota Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, 26 Oktober 2021. Ada dua poin peringatan tersebut.

Pertama, ekspresi yang disampaikan organisasi masyarakat sipil dengan tujuan mengkritik dan mengontrol pemerintah harus dilindungi dan dihormati. Ekspresi diperlukan sebagai bentuk kritik dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis;

Kedua, pejabat publik harus sadar untuk membuka diri terhadap pengawasan publik. Pejabat harus memberikan toleransi yang tinggi terhadap kritik, bahkan dalam keadaan ekspresi yang dianggap menghina pejabat publik sekalipun;

Terakhir, menurut Sandra, menganggap ekspresi yang dianggap menghina itu tidak cukup untuk membenarkan pemberian hukum kepada pengkritik. Karena semua pejabat publik adalah sah untuk dikritik (Tempo.co, 19/1/2022), sehingga siapa suruh Lord Luhut jadi pejabat jika bermimpi mau kebal kritik?

Haris dan Fatia korban “kedunguan” demokrasi semu

Haris dan Fatia merupakan korban dari kedunguan model demokrasi semu yang jauh dari idealisasi demokrasi yang dijelaskan Sandrayati Moniaga.

Dengan mengkriminalisasi Haris-Fatia, merupakan sebuah fenomena yang amat mencoreng fitrah dan marwah Hukum, HAM, Pancasila, dan demokrasi di Indonesia, karena baru kali ini ada pejabat negara yang mengkriminalisasi aktivis HAM.

Dari sini terlihat sekali bahwa Luhut sudah takut dan acuh tak acuh kalau-kalau bisnis tambangnya di Papua terbongkar. Pilihan Luhut untuk menempuh jalur hukum menjadi bukti bahwa beliau akan menggunakan jurus lama, yaitu “kapitalisasi dan monopolisasi hukum”.

Karena keduanya sangat getol, beliau mungkin akan mengkapitalisir dan menopolisir hukum negara ini. Praktik kapitalisasi dan monopoliasasi hukum semacam ini bukan lagi hal baru di negara ini. Hukum tidak lebih dari sebuah komoditi yang bisa diperjulabelikan (opsi.id, 18/1/2022).

Presiden Jokowi segera pecat Luhut

Sebagai pemimpin yang merakyat, sederhana, tegas, dan terbaik, sudah saatnya Presiden Jokowi—jika paham etika demokrasi dan HAM dengan sehat dan nurani masih bekerja—maka sosok pejabat negara semacam Luhut mesti segera dipecat, agar tidak merusak tatanan indeks demokrasi bangsa yang sedang dibangun, tidak mencoreng nama baik Tim Kerja Jokowi Jilid 2, dan tidak menghambat program pembangunan nasional.

Presiden sendiri dalam setiap pidato kerjanya dengan tegas dan tanpa pikir-pikir mengatakan, “Akan Saya Copot di tengah jalan bagi siapa saja yang tidak mendukung program nasional” atau “akan saya berhentikan Kabinet jika tidak becus kerja” (Kompas.com, 23/10/2019), sehingga untuk menghindari klaim publik bahwa Presiden kita tidak konsisten, maka dalam konteks kasus kriminalisasi akitivis HAM yang dilakukan Menteri Luhur, Presiden Jokowi mesti secara jantan pasang badan untuk memecat Luhut, yang dianggap terang-terangan “bermain” gurita bisnis di Intan Jaya Papua.

Apakah Jokowi dapat memecat Luhut? Penulis sedikit optimistis sekaligus pemismistis. Sebelum kasus kriminalisasi Luhut terhadap Haris-Fati, banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum diselesaikan. Semuanya mentok di Sekretariat Menko Polhumkam dan menjadi janji-janji yang belum terealisasi (kumparan.com, 20/10/2019).

Hal lain yang membuat penulis pesimistis berkaitan dengan status Jokowi sebagai elite pengusaha. Harus diakui bahwa selain berstatus sebagai presiden, Jokowi juga pengusaha sukses.

Baca juga: Etika pembangunan infrastruktur di Tanah Papua

Rasanya, amat mustahil jika Jokowi memecat Luhut. Jika pun dapat, barangkali itu hanya proyeksi politik belaka. Tidak mungkin seorang Jokowi, yang juga mengajarkan dua putranya bagaimana menjadi elite dan investor ulung hingga kini keduanya disidak KPK (Cbcindonesia.com, 11/1/2022). Bagaimana bisa Jokowi mau memecat Luhut. Salah satu alasan penunjukan Luhut sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi adalah Luhut memiliki kemampuan berbisnis yang “wow”.

Hal yang sama juga berlaku pada penunjukan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Jokowi amat paham dunia bisnis di Indonesia dan dunia.

Dua tokoh ini merupakan dua nama paling terkemuka di kalangan elite dan pebisnis Indonesia (rmolsumut.id, 12/9/2021). Jokowi juga punya “link khusus” dalam korporasi bisnis Luhut. Paling kurang, kedua putranya terlibat. Jadi, mau mendukung, memecat saja Jokowi masih acuh tak acuh. Semoga Jokowi bertaji untuk memecat Luhut.

Kebenaran objektifnya akan terlihat, jika Jokowi adalah pemimpin hebat di antara pemimpin hebat oleh karenanya mesti dipertahankan selama tiga periode, maka tindakan mutlaknya dalam kasus kriminalisasi Luhut atas Harris-Fatai ini adalah “memecat” Luhut. Namun, jika Jokowi tidak berbuat apa-apa sama sekali, maka benarlah anggapan bahwa Jokowi permisif atas dugaan gurita bisnis tambang di Intan Jaya Papua.

Bebaskan Haris-Fatia dari ranjau hukum manipulatif

Haris dan Fatia nyatanya hanya korban dari abainya Luhut dalam atas prinsip etika demokrasi. Karena takut box pandora bisnisnya disoroti, maka Haris dan Fatia dikriminalisasi. Beliau mungkin semakin takut jika bisnisnya bersama rekan militer dan pejabat negara lainnya di wilayah Papua lainnya juga ikut terungkap (suara.com, 8/10/2021).

Bila dilihat, publik pantas kritis dan mempertanyakan mengapa konsesi tambang itu terjadi bersamaan dengan dropping pasukan militer dengan dalih membasmi OPM. Dropping pasukan juga mengakibatkan pengungsian masif. Hal itu juga memunculkan dugaan apakah ada “gurita bisnis” lainnya di beberapa daerah, yang kini menjadi medan operasi militer, yaitu Ndugama, Kiwirok-Pegunungan Bintang, Maybrat dan Yahukimo.

Solidaritas Rakyak Papua Tolak Kekerasan (Sorakpatok) menduga operasi militer yang mengakibatkan pengungsian dan kematian warga sipil di berbagai daerah itu juga dilatarbelakangi motivasi eksploitasi tambang oleh elite dan investor, baik lokal, nasional, maupun internasional (Jubi.co.id, 8/11/2021).

Kini banyak warga sipil Papua yang menjadi korban operasi militer. Terhitung sejumlah korban tewas (TNI/Polri, TPNPB/OPM, dan warga sipil) dan ribuan orang Papua mengungsi.

Kriminalisasi terhadap Haris dan Fatia ini pantas dinilai sebagai “desain” elite dan investor oligarkis lokal, nasional dan global. Maka dari itu, segera bebaskan Haris dan Fatia, sebab seluruh bangsa Indonesia dan Papua yang masih waras, telah mendeklarasikan diri untuk bersama Haris dan Fatia.

Jika Jokowi tidak bisa melengserkan Luhut, maka Jokowi tidak berwatak “banteng PDIP”. Hal ini diperparah jika aparat bisa disuap oleh elite dan investor oligarkis. Maka Jokowi seharusnya memecat Menteri Luhut dan membebaskan Haris-Fatia dari jeratan hukum yang dituduhkan Menteri Luhut. (*)

* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply