Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Yan Christian Warinussy, advokat dan pembela HAM di Tanah Papua/Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, meminta semua pihak di Indonesia dan Tanah Papua agar tidak “tersesat” dalam menyikapi laporan dugaan pelanggaran HAM yang diserahkan oleh aktivis kepada Presiden Joko Widodo belum lama ini di Canberra-Australia, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, laporan-laporan HAM yang ditulis dan dirilis oleh organisasi Papuan Behind Bar tersebut merupakan hasil kerja jaringan organisasi masyarakat sipil/civil society organization (OMS/CSO) di dunia.
Maka katanya, segenap OMS/CSO di Tanah Papua ikut berkontribusi dalam membidani lahirnya laporan Papuan Behind Bar tersebut. “Ini dihasilkan dari investigasi yang dilakukan langsung sejak terjadinya aksi tolak rasisme 19 Agustus 2019 yang berujung rusuh di beberapa kota besar di Tanah Papua, seperti Jayapura, Wamena, Nabire, Manokwari, Sorong dan Fakfak,” ,” ujar advokat peraih penghargaan internasional di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) “John Humphrey Freedom Award” tahun 2005 di Canada itu, melalui rilisnya kepada Jubi, Senin, 17 Februari 2020 .
Dia menegaskan, langkah investigasi dan penulisan laporan tersebut diakui di dalam amanat Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengenai Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Hal ini menurutnya dipertegas pula dalam UU RI No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahkan sesungguhnya negara, terutama pemerintah bertanggung jawab dalam konteks perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Laporan Papuan Behind Bar tersebut juga dinilainya sesuai dengan mekanisme HAM di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) khususnya Dewan HAM PBB. Sehingga laporan tersebut pasti akan menjadi masukan penting bagi Dewan HAM PBB untuk melakukan prosedur review terhadap Indonesia sebagai negara anggota PBB mengenai aspek pemajuan HAM.
“Dengan demikian maka jelas laporan tersebut bukan merupakan laporan pribadi seorang Advokat HAM Veronica Koman sendiri. Tapi merupakan hasil kerja bersama OMS/CSO HAM di Tanah Papua dan Indonesia. Hasil investigasi tersebut diserahkan kepada Presiden Jokowi tepat di saat kunjungannya ke Australia,” ujarnya.
Dengan diserahkannya laporan itu, diharapkan Presiden akan menugaskan Komnas HAM sebagai institusi negara yang berkompeten sesuai amanat UU RI No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk memverifikasinya lebih lanjut.
“Inilah prosedur dan mekanisme yang benar menurut hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Shanti Purwono membantah pernyataan pengacara HAM Veronica Koman yang mengklaim telah menyerahkan dokumen berisi nama-nama tahanan politik Papua ke Presiden Joko Widodo.”Tidak benar kabar itu,” ujar Dini saat dikonfirmasi, Senin (10/2/2020) sebagaimana dikutip CNN Indonesia.
Dini mengklaim pihak istana juga tak pernah menerima dokumen apapun yang berkaitan dengan nama-nama tapol dan korban tewas Papua. Ia memastikan informasi yang disampaikan Veronica itu salah.
Sebelumnya, melalui keterangan tertulis Veronica menyatakan telah menyerahkan dokumen yang memuat nama dan lokasi puluhan tapol Papua kepada Jokowi melalui tim yang ada di Canberra.
Jokowi diketahui tengah melakukan kunjungan kerja ke Australia sejak Jumat (7/2/2020) lalu dan dijadwalkan kembali Senin (10/2/2020).
Veronica mengatakan, Jokowi pernah membebaskan lima tapol Papua di awal periode kepemimpinan pada 2015. Namun pada awal periode kedua saat ini, terdapat 57 orang yang dikenakan makar yang sedang menunggu sidang. Langkah ini dinilai hanya akan memperburuk konflik di Papua. (*)
Editor: Syam Terrajana