Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Secara sadar maupun tidak, dana publik Korea Selatan selama ini telah ikut membiayai deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Hal itu diungkapkan oleh Seulki Lee, seorang jurnalis independen di Korea Selatan dalam tulisannya yang diterbitkan chinadialogue.net pada akhir Desember 2020 lalu.
Menurut Lee, produsen minyak sawit Korea Selatan menjadi sorotan internasional pada tahun 2016. Saat itu, kelompok advokasi lingkungan Mighty Earth bekerja sama dengan Federasi Gerakan Lingkungan Korea (KFEM) mengekspos pembukaan hutan besar-besaran konsesi kelapa sawit milik Korindo dan Posco International di wilayah Papua.
Lee mengutip data Mighty Earth lewat data satelit dan foto drone yang menunjukkan Korindo telah menebangi 30.000 hektar hutan hujan dalam dua tahun terakhir. Sementara Posco International telah membuka 19.000 hektar dalam empat tahun terakhir.
Direktur Senior Kampanye di Mighty Earth, Deborah Lapidus menyebut deforestasi yang dilakukan perusahaan perkebunan asal Korea melenyapkan hutan, satwa liar, dan tanah adat. “Model deforestasi perkebunan kelapa sawit Korea mengingatkan kita kembali pada masa lalu, hari-hari gelap industri minyak sawit ketika hutan, satwa liar, dan tanah adat dilenyapkan untuk membangun hamparan raksasa perkebunan monokultur, yang keuntungannya sebagian besar masuk ke pemilik asing,” kata Deborah Lapidus, sebagaimana dikutip dalam publikasi Lee.
Baca juga:Walhi: Investasi sawit di Kabupaten Jayapura ancaman masyarakat Kapitiau
Lee menulis, salah satu pemilik asing industri sawit yang belakangan ini mendapat banyak sorotan di Papua adalah Korindo. Korindo dan Posco Internasional sama-sama beroperasi di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
Kedua perusahaan itu telah menjalankan bisnis kelapa sawit mereka dengan uang publik dari Dinas Kehutanan Korea dan Bank Ekspor-Impor Korea (Bank Exim Korea). Hal itu dinyatakan advokat dari Kantor Advokat untuk Hukum Kepentingan Umum (APIL), Chung Shin-young. Ia telah menyelidiki industri minyak sawit Korea Selatan dan memimpin kampanye guna menghentikan pendanaan publik kepada industri tersebut.
“Jika Anda melihat detail pernyataan pinjaman pemerintah ke Posco International, Anda akan mengetahui bahwa mereka jarang menjalankan bisnis dengan uang sendiri. Tapi bukan hanya Posco International, LG International, Daesang, dan JC Chemical sebelumnya juga mendapat pinjaman dari Korea Forestry Service,” kata Chung.
Ditulis Lee, Chung dan timnya menjadi salah satu kelompok lokal pertama yang menyelidiki kaitan perusahaan kelapa sawit Korea Selatan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan deforestasi besar-besaran di Indonesia, khususnya di Papua. Penyelidikan itu mereka lakukan sejak 2016, bersama dengan Federasi Gerakan Lingkungan Korea (KFEM).
Baca juga: Dituduh bakar hutan di Papua untuk investasi sawit, Korindo sampaikan klarifikasi
Minyak sawit rupanya telah ditetapkan sebagai komoditas strategis dalam hukum Korea Selatan. Undang-Undang Pengembangan dan Kerjasama Pertanian & Sumber Daya Hutan Luar Negeri dan Undang-Undang Bisnis Pengembangan Sumber Daya Luar Negeri digunakan sebagai dasar hukum untuk menyubsidi perusahaan minyak sawit Korea di luar negeri. Dinas Kehutanan Korea dan berbagai lembaga keuangan mengklasifikasikan pengembangan kelapa sawit itu sebagai proyek “penghijauan/aforestasi bioenergi”.
Lee menyatakan penggunaan kata “aforestasi” itu tidak tepat. Kata itu umumnya berarti menanam pohon untuk manfaat lingkungan dan iklim, bukan menebang hutan tropis untuk perkebunan monokultur.
“Pinjaman publik pertama lembaga itu untuk industri minyak sawit adalah kepada perusahaan aforestasi kelapa sawit, Daesang Holdings, pada tahun 2008. Secara total, 3,8 miliar won (sekitar US $ 3,2 juta) dipakai untuk membiayai proyek aforestasi bioenergi di Indonesia,” ungkap Shin Gun-seop, seorang petugas administrasi di Kantor Pengembangan Sumber Daya Luar Negeri Dinas Kehutanan Korea.
Antara tahun 2010 dan 2019, menurut Shin, Dinas Kehutanan Korea menyediakan 40,1 miliar won (sekitar Rp524,96 miliar) untuk menanam kelapa sawit di sekitar 24.000 hektar lahan, sebagian besar terletak di Indonesia. Daesang Holdings, LG International Corp, Kodeco, dan JC Chemical adalah beberapa perusahaan penerima pinjaman publik itu.
Hancurnya penghidupan
Ekspansi perusahaan minyak sawit Korea Selatan telah membahayakan mata pencaharian masyarakat adat. Banyak dari mereka telah dipindahkan dari lahan hutan milik mereka di masa lalu.
Angky Samperante dari Yayasan Pusaka menyatakan kekhawatirannya. “Kekhawatiran saya kehadiran Korindo dan Posco International di Papua akan semakin memperlebar kesenjangan dan memperdalam ketidakadilan di Papua ketika bisnis besar merampas segalanya dan masyarakat setempat ditinggalkan dengan tangan kosong. Bagi sebagian besar penduduk asli Papua, hutan adalah supermarket, bank, rumah sakit, dan tempat keramat mereka. Konversi hutan besar-besaran berarti mereka kehilangan mata pencaharian,” kata Angky Samperante seperti dikutip Lee dalam artikelnya.
Pada tahun 2019, Korea Selatan mengimpor 745.000 metrik ton minyak sawit, naik dari impor minyak sawit Korea Selatan pada 2005, yang mencapai 194.000 metrik ton. Korea Selatan menjadi salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat untuk komoditas di dunia, didorong oleh kebijakan pemerintah yang mengklaim minyak sawit sebagai ‘industri hijau’ yang menguntungkan, sekaligus mengamankan pasokan pangan dan energi dari luar negeri.
Sebagian besar minyak sawit itu berasal dari Indonesia dan Malaysia, dan hingga saat ini digunakan dalam produksi berbagai makanan olahan, seperti mi instan. Tak cukup sampai disitu, melalui “Kesepakatan Baru Hijau” yang diperkenalkan awal tahun ini, minyak sawit dipromosikan sebagai sumber energi terbarukan, sebagai bahan bakar nabati untuk transportasi dan pembangkit listrik.
Baca juga: Investor sawit diduga tipu warga Tahota-Mansel dengan ‘uang merah’
Tapi kredensial “hijau” minyak sawit itu diperdebatkan dengan hangat. Sementara AS dan Eropa mengambil langkah untuk membatasi penggunaan minyak sawit yang memicu semakin luasnya deforestasi dan menambah emisi karbon yang tinggi, lembaga publik Korea Selatan justru memberikan subsidi jutaan dollar AS kepada perusahaan yang mengembangkan perkebunan di Indonesia, atas nama pembangunan “hijau”.
Aktivis lingkungan dan pengacara di Korea Selatan menjadi semakin vokal tentang hubungan industri kepala sawit dengan pelanggaran HAM dan deforestasi di Indonesia, termasuk Papua. Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan praktik pembiayaan terhadap pelaku industri kepala sawit yang merusak.
Lee menulis, pemenuhan 97 persen kebutuhan energi dan 75 persen kebutuhan bahan Korea Selatan bergantung kepada impor. Setelah krisis pangan global 2008, pemerintah langsung bersiap mengamankan minyak sawit yang dapat dimakan dan industrinya, dengan meluncurkan program “Pengembangan Sumberdaya Pertanian Luar Negeri” pada tahun 2009. Skema pinjaman publik itu menutupi 70 persen biaya bisnis perusahaan swasta Korea Selatan yang memproduksi dan mendistribusikan gandum, kedelai, jagung, dan minyak sawit mentah.
Pemain-pemain utama
Selain Korindo, ada enam perusahaan besar Korea Selatan lain yang juga menjadi pemain utama dalam industri minyak sawit dan dibiayai oleh uang publik. Hampir 200 juta dollar AS (setara Rp2,8 triliun) dana publik Korea Selatan telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan itu untuk mengembangkan lebih dari 65.000 hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Perkiraan itu didasarkan kepada data publik dan diverifikasi oleh Dinas Kehutanan Korea, Bank Ekspor-Impor Korea dan parlemen Korea Selatan. Investigasi independen oleh APIL menyimpulkan hampir semua perusahaan itu memiliki konflik pelanggaran hak dan tanah masyarakat lokal, dan konflik itu masih berlangsung.
Kelompok advokasi lokal telah berkampanye untuk penghentian pinjaman pemerintah kepada perusahaan kelapa sawit di Indonesia sejak APIL dan KFEM menerbitkan laporan berdasarkan investigasi mereka pada tahun 2019. Chung Shin-young menyatakan setiap lembaga pemerintah Korea Selatan punya tanggung jawab konstitusional untuk memastikan pembiayaan mereka tidak digunakan untuk proyek yang menimbulkan pelanggaran HAM, termasuk di Papua.
“Uang pajak kami yang masuk ke industri yang terlibat dalam perampasan tanah, hak masyarakat adat, dan pelanggaran hak buruh itu. Kami mendorong lembaga kredit ekspor Korea agar memiliki standar hak asasi manusia untuk dipatuhi saat memberikan pinjaman keuangan publik untuk proyek luar negeri seperti industri minyak sawit. Kantor pemerintah secara konstitusional bertanggung jawab untuk menghindari pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Chung.
Tekanan publik
Sejak tahun 2015, anggota parlemen Korea Selatan juga telah mempertanyakan kementerian terkait atas efektivitas dan keberlanjutan pembiayaan publik terhadap industri minyak sawit luar negeri. Anggota parlemen menyampaikan hal itu melalui inspeksi parlemen dan laporan layanan penelitian.
Berkat tekanan publik, Dinas Kehutanan Korea mengecualikan Korindo dari penerimaan pendanaan publik luar negeri dan membekukan dukungan pinjaman tambahan untuk proyek-proyek aforestasi kelapa sawitnya pada tahun 2019. Hal itu terjadi setelah Dinas Kehutanan Korea memperkenalkan kriteria evaluasi baru yang mengharuskan perusahaan menyertakan bukti seperti citra satelit untuk membuktikan bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas “konversi hutan”. Perusahaan yang menerima pinjaman sebelum tahun 2019 tidak terikat oleh kriteria evaluasi yang lebih ketat itu.
Keanggotaan Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO)—organisasi sertifikasi global yang didirikan untuk mempromosikan minyak sawit etis—tidak termasuk dalam kriteria evaluasi pembiayaan publik. Begitu pula komitmen terhadap kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE).
Baca juga: Masyarakat adat Awyu Boven Digoel tolak perusahaan kelapa sawit
Meskipun demikian, publik terus menekan sejumlah perusahaan itu untuk mengambil tindakan. Pada Maret 2020, Posco International secara sukarela bergabung dengan keanggotaan RSPO, dan memperkenalkan kebijakan nol-deforestasi untuk perkebunan kelapa sawitnya di Papua.
Ketika diminta untuk menanggapi protes internasional atas aktivitas mereka di Indonesia, Joyce Eun Jeong Seo dari Departemen Manajemen Berkelanjutan Posco International mengatakan kepada China Dialogue: “Dalam menjalankan bisnis kelapa sawit di Indonesia, Posco International dan anak perusahaannya PT Bio Inti Agrindo mengakui dan mematuhi hukum adat sebagai prioritas utama. Sebagai perusahaan global yang bertanggung jawab, [kami] berusaha memenuhi tingkat tanggung jawab sosial yang disyaratkan oleh norma-norma internasional.”
Warga Korea mulai menuntut lebih banyak transparansi terkait rantai pasokan minyak sawit, dan masalah seputar komoditas yang ada di mana-mana itu. “Kita semua tahu bahwa negara kami harus sangat bergantung pada sumber daya luar negeri untuk makanan dan energi kami. Pemerintah tidak bisa membutakan warganya dengan menggunakan logika ‘kepentingan nasional dan keamanan’ untuk membuat pembenaran atas pelanggaran HAM, deforestasi dan emisi karbon,” kata Kang Myung-hwa, seorang warga Seoul berusia 34.(*)
*Artikel ini disadur dari https://chinadialogue.net/en/food/south-koreas-finance-of-green-palm-oil-drives-destruction-in-indonesia/?amp
Editor: Aryo Wisanggeni G