Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Konflik antara TNI-Polri versus TPN PB telah terjadi sejak akhir tahun 2018 sampai tahun 2020 ini. Akibat konflik tersebut telah melahirkan banyak persoalan hukum dan HAM salah satunya adalah melonjaknya jumlah masyarakat sipil yang terdampak jadi pengungsi.
Pada praktiknya, para pengungsi tidak ditangani secara baik oleh institusi independen bentukan negara, yakni Palang Merah Indonesia yang bertugas menangani masalah pengungsi padahal di tahun 2018, pemerintah telah memberlakukan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
Untuk diketahui bahwa Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk dari bencana atau konflik (Pasal 1 angka 12, PP No 7 Tahun 2019).
Dengan berpatokan pada kalimat “konflik” dalam definisi pengungsi diatas selanjutnya dihubungkan dengan fakta adanya masyarakat sipil yang menjadi pengungsi akibat konflik TNI-POLRI VS TPN PB di Nduga 2018, konflik TNI-POLRI VS TPN PB di Intan Jaya 2019 dan konflik TNI-POLRI VS TPN PB di Tembagapura 2020 telah menambah jumlah daftar pengungsi hingga mencapai puluhan ribu orang.
Berdasarkan data media onliene tirto.id dalam beritanya yang berjudul “Nestapa Nduga” kurun 2019 ada 37.000 orang mengungsi dan 241 orang tewas. Selain itu, berdasarkan data media online radarpagi.com dalam beritanya yang berjudul “Ribuan Pengungsi terima bantuan dari Pemkab Intan Jaya dan Gereja Katolik” menyebutkan 1.237 orang pengungsi.
Kompas.com juga memberitakan “Teror KKB sudah 1.582 warga tembagapura mengungsi. Dari jumlah tersebut dapat ditarik jumlah keseluruhan masyarakat sipil papua yang mengungsi akibat konflik TNI-POLRI VS TPN PB berjumlah 57. 819 orang pengungsi (tidak termasuk 241 orang tewas).
Pada praktiknya penanganan pengungsi Nduga di Wamena dilakukan oleh masyarakat sipil dan juga kementerian sosial.
“Penanganan pengungsi oleh kementerian sosial sendiri patut dipertanyakan dasar hukumnya sebab berkaitan dengan konflik bersenjata tidak masuk dalam kategori konflik sosial yang dapat ditangani oleh kementerian sosial,” ujar ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay, melalui keterangan tertulis kepada Jubi, Kamis ,12 Maret 2020.
dia menjelaskan,sesuai dengan dasar pertimbangan pembuatan UU Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan pada huruf c disebutkan : dengan telah diratifikasinya Konvensi Jenewa Tahun 1949 dengan UU Nomor 59 Tahun 1950 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, mewajibkan negara menerapkannya dalam sistem hukum nasional.
Ada juga aturan turunannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2019 tentang Peraturan pelaksana Undang Undang Nomor 1 tahun 2018 tentang Kepalangmerahan. “Di sana jelas memberikan tugas kepada Palang Merah Indonesia (PMI) untuk melakukan pelayanan bagi Pengungsi dimasa damai dan masa konflik bersenjata dengan prinsip kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesemestaan dan lain-lain,” ujarnya.
Atas dasar itu, semestinya PMI tidak tinggal diam seperti yang telah dilakukan dalam kasus penanganan pengungsi Nduga. Namun dapat bergerak secara aktif untuk menangani pengungsi Intan Jaya dan Tembagapura.
Apabila dalam pada praktiknya PMI tidak menangani pengungsi Intan Jaya dan Tembagapura, maka akan ditarik kesimpulan bahwa Negara melalui pemerintah tidak menjalankan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
Berdasarkan uraian di atas, dalam rangka penegakan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan bagi pengungsi Nduga, Intan Jaya dan Tembagapura maka Lembaga Bantuan Hukum Papua menegaskan kepada Presiden Republik Indonesia, Panglima TNI , Kapolri, Kapolda Papua, Pangdam Cenderawasih wajib mengimplementasikan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan junto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksana Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan dalam penanganan pengungsi Nduga, Intan Jaya dan Tembagapura
Pihaknya juga mendesak Palang Merah Indonesia (PMI) segera turun ke lapangan tangani pengungsi Nduga, Intan Jaya dan Tembagapura sesuai dengan perintah Undang Undang tersebut.
Sebelumnya dikabarkan, Palang Merah Indonesia (PMI) mendistribusikan bantuan logistik kepada pengungsi di Kabupaten Nduga, Papua, yang tersebar di beberapa titik lokasi, salah satunya pengungsian di Wamena, dan Lanny Jaya.
“Sebagai organisasi kemanusiaan dan menjalankan mandat Undang Undang kepalang merahan nomer 1 tahun 2018 dan peraturan pemerintah (PP) nomer 7 tahun 2019. PMI harus berperan aktif dalam berbagai kegiatan pelayanan kemanusiaan dengan segala kondisi. Baik kondisi damai, terjadi bencana maupun membantu pengungsi pada saat ada permasalahan sosial,” ujar Kepala Markas PMI Pusat, Sunarbowo sandi dalam rilis medianya, Maret tahun lalu.
Menurutnya, PMI Pusat sudah berkoordinasi dengan pemerintahan daerah. Baik Pemerintah Kabupaten Wamena Jayawijaya maupun Pemerintahan Lanny Jaya dalam proses asessmen dan distribusi.
Pihaknya juga menyatakan terus mengupayakan serta akan memberikan segala dukungannya untuk memperkuat kapasitas PMI lokal dalam memaksimalkan pelayanan kemanusiaan.
Catatan kekerasan terhadap perempuan tahun 2019 yang dirilis pada 6 Maret 2020 menyebutkan, dampak dari konflik SDA yang terjadi di Papua, seperti pemberian izin HGU kepada perusahaan dan investor yang tidak disertai konsultasi dan persetujuan masyarakat adat, menimbulkan konflik bersenjata dan perintah operasi militer untuk mencari kelompok TPNPB/OPM yang berjuang untuk Papua.
Kondisi ini menyebabkan warga memutuskan untukmengungsi, dan membuat masyarakat sangat ketakutan.
Demikianpula diskriminasi rasial berlangsung terhadap orang Papua, yang semakin menguatkan kekerasan di tanah Papua. Pada 26-29 Maret 2019 Komnas Perempuan melakukan pemantauan ke Wamena, Papua, tempat
sebagian pengungsi dari Nduga mengungsi dan terorganisir. Kondisi pengungsi sangat memprihatinkan, mereka menempati rumah yang mencapai 30 orang dalam 1 (satu) satu rumah.
Komnas Perempuan berpandangan bahwa konflik Nduga dan sejumlah konflik lain di Papua (termasuk konflik di sejumlah kota di Papua sepanjang Agustus 2019) serta persoalan pengungsi yang terus berlangsung menunjukkan keberulangan dan ketidaksiapan pemerintah menjalankan peran perlindungan dan pemenuhan hak warganya dalam situasi konflik maupun pasca konflik.
Kondisi ini akan semakin buruk bahkan terus berulang jika tidak segera dilakukan perbaikan pada alat-alat kelengkapannya, mulai aparat dari negara hingga mekanisme kerjanya.
Menindaklanjuti temuan-temuan tersebut, Komnas Perempuan pada Juli dan Oktober 2019 bersama perwakilan masyarakat sipil di Papua menyampaikannnya kepada sejumlah Kementerian/ Lembaga terkait melalui Kementerian Koordinasi PMK mengenai kondisi dan respons segera yang dibutuhkan oleh pengungsi. (*)
Editor: Syam Terrajana