Cerita tiga generasi petani kopi di Paniai

Kris Kadepa (kanan) dan anaknya (tengah) serta Bapak Nikodemus (kiri), petani kopi dari Aradide – Jubi/Zely
Kris Kadepa (kanan) dan anaknya (tengah) serta Bapak Nikodemus (kiri), petani kopi dari Aradide – Jubi/Zely

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Zely Ariane

Read More

Saat minum kopi mulai menjadi tren gaya hidup di Indonesia, minat terhadap budidaya kopi telah pelan-pelan kembali ke Papua. Khususnya di Kabupaten Paniai, petani-petani kopi mulai menaruh harapan pada program budidaya kopi arabika yang sedang didorong oleh pemerintah kabupaten.

Tiga orang petani kopi ini mewakili tiga generasi petani di Paniai. Akhir tahun 2019 lalu, Jubi mendapatkan cerita inspiratif dari pengalaman ketiganya.

Kris Kadepa

Kristianus Kadepa, akrab dipanggil Kris, generasi ketiga petani kopi yang berasal dari Kampung Toyaimuti Distrik Aradide Kabupaten Paniai. Walau mengantongi ijazah SMA, Kris memilih menjadi petani kopi, meneruskan semangat bapaknya yang pertama kali mendapat bibit kopi arabika dari Kampung Duadide (Wopa), tahun 1990-an.

Laki-laki muda ini kenal menanam kopi arabika sejak kelas IV SD. Kini usianya mendekati 33 tahun dan masih setia merawat 323 pohon kopi arabika yang ia tanam bersama bapaknya, Nikodemus Kadepa, tahun 1990.

Bapak Nikodemus saat itu menjadi peserta didik Sekolah Penyuluh Lapangan (SPL) yang ditugaskan membuat kebun kopi di kampung tersebut.

Menurut Kris, motivasi bapaknya menanam kopi pada saat itu semata-mata karena kebun kopi dapat diwariskan dan dilanjutkan oleh anak cucunya kelak. Waktu itu dia tidak terlalu paham akan seperti apa potensi kopi arabika dan pengolahannya.

“Sekarang saya sedang melanjutkan ini. Saya yakin kopi ini tidak akan hilang, hasilnya kami akan selalu panen apabila rajin kerja,” ujar Kris.

Kris rajin memangkas pohon kopi, membersihkan rumput di sekelilingnya dan lain-lain. Sehingga kopi milik Kris selalu berbuah banyak. Namun sebelum menemukan pembeli biji kopi, pohon-pohon kopi mereka jadikan perhiasan pekarangan rumah saja.

Menurut Kris, pohon-pohon kopinya berbuah banyak, selain karena terawat, juga karena biji rajin dipetik.

“Kondisi buah saat ini selalu baik, saya selalu petik buah. Apalagi saat hujan, pasti berbuah banyak,” ujarnya.

Selain itu, Kris juga mulai semakin sering memetik biji kopi merahnya sejak sudah punya akses ke pembeli biji kopi.

Dahulu Kris membawa biji hijau (green bean) kering ke Enarotali untuk dijual ke pedagang eceran yang menampung biji. Kemudian dia juga menjualnya ke pastoran, dan sekarang Kris mulai menjual dalam jumlah besar ke unit pemrosesan kopi Enauto Coffee.

“Pertama kali saya sudah mulai jual jumlah besar sebanyak 57 kg,” kata Kris.

Melalui hasil kopi, keluarga Kris dapat membeli beras, peralatan dapur, dan kebutuhan lainnya termasuk membiayai pendidikan.

“Kami kekurangan alat alat pengolahan kopi seperti tempat penjemuran, alat penggilingan kulit merah, dll. Saya berharap melalui pendampingan dan pelatihan, bisa mendapat alat dan bahan yang nantinya dapat memperlancar produksi kopi di kebun kopi saya supaya produksi kopi meningkat,” katanya.

Otopina Boma

Almarhum Bernadus Boma mungkin tidak menduga anak perempuan pertamanya, Otopina Boma, kini bersemangat merawat kebun kopi yang dia wariskan di Kampung Waukotopa Beko, Paniai Barat.

Otopina lahir 55 tahun yang lalu di Kampung Beko mewakili generasi kedua petani kopi di Meepago. Usianya 13 tahun saat bapaknya, Bernadus Boma, mulai menanam kopi arabika tahun 1978.

“Bapak menanam sekitar 100 pohon kopi dan pohon penaungnya adalah cemara,” ujar Otopina.

Sebenarnya tanah dekat kali tempat tumbuh kopi dan pohon cemara itu tidak terlalu subur. Namun berkat kerja keras Bernadus mengolah tanah, kopi dan pohon cemara tumbuh baik.

“Bapak saya sangat ulet dan rajin berkebun sehingga tanaman kopi dan pohon penaungnya telah bertumbuh baik dan menghasilkan buah setelah lima tahun,” kata Otopina.

Hasil panen biji hijau pada mulanya dijual Bernadus ke koperasi P5 Moanemani di Dogiyai.

Namun bertahun-tahun kemudian, setelah Bernadus semakin tua dan meninggal, anak-anaknya tak lagi perhatikan kebun yang ditinggalkannya.

“Kebun kopi dan pohon cemara itu menjadi hutan,” kenang Otopina.

Sekitar tujuh tahun lalu, Otopina ikut pelatihan yang tak saja memberinya informasi seputar budidaya kopi, namun juga membeli biji kopi dengan harga yang cukup bagus.

Sejak saat itulah dia tergerak untuk kembali ke kebun kopi yang telah menghutan dan mulai membersihkan kebun kopi warisan bapaknya itu.

Ibu tujuh anak ini juga mengungkapkan rasa senangnya karena melalui kopi dia jadi berkesempatan melihat kota-kota di luar Papua.

“Saya sangat senang karena melalui biji kopi ini membuat saya bisa melihat beberapa kota besar di Indonesia dan juga ada penghasilan sedikit,” katanya.

Otopina, tahun 2018 lalu, pergi ke Jakarta untuk ikut lelang kopi di ajang Papua Coffee Week (Jacoweek). Di sana ia mendapat pengalaman sekaligus menambah harapannya terkait minat pembeli yang sangat tinggi terhadap kopi arabika Papua yang berkualitas.

Sekarang Otopina telah menanam bibit kopi baru.

“Mulai tahun kemaren (2018) saya sudah tambah menanam (kopi) lagi. Tahun ini pun (2019) saya tambah,” ujar Otopina.

Pendeta Simeon Gobai 

Pendeta Simeon Gobai adalah generasi pertama perintis kopi arabika wilayah Kebo, atau Distrik Kebo saat ini, di Kabupaten Paniai. Usianya sudah 82 tahun, tapi tidak menyurutkan komitmennya memelihara 200 pohon kopi arabika miliknya.

Simeon pertama kali menanam kopi arabika pada tahun 1982. Dia mendapatkan bibit kopi dari Bapak Adolof Pigai di Uwakopa, Kabupaten Dogiyai saat ini. Adolof Pigai (almarhum) adalah seorang perintis budidaya kopi arabika di Meepago. Tahun 2019 lalu Bupati Dogiyai, Yakobus Dumupa, memberikan penghargaan pada almarhum sebagi perintis kopi arabika di Dogiyai.

Menurut Simeon, kebun kopi arabika sejak ia tanam dan mulai memetik hasilnya telah menjamin kehidupan keluarganya. Ia bisa menyekolahkan anak hingga anak-anaknya sukses adalah berkat hasil kopi. Karena itu dia merasa heran jika saat ini orang-orang enggan menanam kopi.

Walau hanya 200 pohon, kebun kopi arabika milik Simeon selalu berbuah tak pandang musim. Namun selama lima tahun terakhir Simeon kesulitan memetik biji merahnya karena faktor usia dan kesehatannya.

“(Saya) biasa petik, tidak petik begitu saya kasih tinggal selama 5 tahun setelah saya jadi tua karena takut kedinginan,” katanya.

Sejak itu Simeon hanya menerima pembeli di tempatnya saja. Orang yang membutuhkan biji kopi datang ke tempatnya untuk membeli. Dia mengatakan tidak pernah menghitung secara pasti berapa kilogram rata-rata hasil panen kebunnya. Simeon menjual biji kopinya perkilogram hanya Rp.10.000.

Simeon Gobai telah bertahan dan setia dengan kopi arabika selama 37 tahun semata-mata karena dia dan keluarga telah menikmati hasilnya.

“Saya sendiri sudah menikmati hasil kopi secukupnya dari menjual biji, lalu saya dapat mengerti kopi bisa bertahan 10 tahun dan sampai kapan pun tidak akan hillang sehingga sampai sekarang saya ada rawat ini,” ujarnya.

Sejak era 1960-an, saat Tanah Papua masih berada di bawah kekuasaan Belanda, di dataran tinggi pegunungan tengah, khususnya di wilayah adat Meepago, budidaya kopi arabika telah dimulai. Puluhan ribu pohon kopi arabika tersebar di lokasi-lokasi yang saat ini masuk ke wilayah administrasi Kabupaten Paniai, Deiyai dan Dogiyai.

Namun sebagian besar pohon-pohon itu kemudian terbengkalai dan menghutan di era kekuasaan Pemerintah Indonesia. Terlebih saat era otonomi khusus, budidaya kopi arabika tak lagi diperhatikan. (*)

*) Penulis adalah redatur Jubi

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply