Papua No.1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Bekas tahanan politik yang juga aktivis Papua, Surya Anta membagikan pengalamannya selama berada di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat. Ia bersama kawan-kawanya bebas dari penjara usai menjalani masa hukuman atas vonis pidana makar sejak Agustus 2019 lalu.
Dalam unggahan lewat Twitter, Surya mengisahkan cerita mulai di pertama masuk Rutan Salemba, ia bersama rekan-rekannya yang langsung mengalami pemalakan dari tahanan lama. Angkanya bervariasi, dipalak sebesar Rp1 juta, rekannya lain dimintai uang sebesar Rp3 juta.
“Akhirnya kami berlima bayar 500 ribu setelah tahanan lain tahu kami aktivis bukan anak pejabat,” tulis Surya dalam akun Twitter resminya @Suryaanta, Minggu, (12/7/2020) kemarin.
Baca juga : Tiga eks Tapol Papua tiba di Jayapura
Pastor Katolik Pribumi Papua dari lima keuskupan minta keadilan untuk Buchtar Tabuni Cs
Tuntutan terhadap Tapol Papua dinilai PH tak sesuai fakta persidangan
Bersama rekannya, Ambros, Dano, Isay, dan Charles awalnya ditempatkan di ruang penampungan atau ruangan masa pengenalan lingkungan (Mapaling) di Rutan Salemba. Mapaling merupakan hal biasa dilakukan sebelum ditempatkan ke kamar tahanan.
Mereka mendiami ruangan mapaling selama sebulan atau selama 18 November hingga 19 Desember 2019 bersama ratusan tahanan lainnya.
Surya menyebut kondisi ruang penampungan itu tak manusiawi. Saat itu terdapat 410 tahanan yang dikumpulkan dalam satu ruangan yang tak terlalu besar.
Tak jarang, para tahanan harus mengatur posisi badan dalam posisi miring agar bisa tidur dengan nyenyak. Tak cuma itu, air yang tersedia di penampungan juga tak layak minum.
“Toilet cuma dua tahanan tidur kaya ikan dijejer, tak jarang agar bisa tidur badan miring. Airnya berasa ada yang lengket. Para tahanan jadi sakit tenggorokan,” tulis Surya yang menyertakan dengan foto yang menggambarkan ratusan tahanan tidur berjejer berhimpitan satu sama lain.
Selain itu, Surya turut menemukan praktik jual-beli narkotika lazim ditemukan di Rutan Salemba. Bahkan, ia menyaksikan sendiri para tahanan yang menjadi bandar bebas berkeliaran menjajakan narkotika seperti sabu dan ganja kepada para tahanan lainnya. Ia bahkan menyatakan tindakan tersebut diketahui dan tak digubris oleh para penjaga rutan.
Setelah berada selama sebulan di ‘barak’ penampungan Rutan, Surya bersama rekan-rekannya dipindahkan ke Blok J Rutan Salemba kamar 18. Mereka dipindah setelah ada tekanan dari rekannya sesama aktivis yang berjuang dari luar penjara.
Saat menempati kamar 18, Surya terkejut lantaran bersebelahan dengan kamar yang disebutnya sebagai ‘apotek’, yakni tempat pembuatan dan produksi sabu.
“Kamar atas belakang Dano itu adalah Kamar “Apotik”, kamar penjualan Sabu. Petugas tahu soal ini. Heran kenapa kami ditempatkan di kamar J18 yg ada apotik sabu,” tulis Surya lebih lanjut.
Surya sendiri turut mengunggah beberapa dokumentasi foto yang diambilnya sendiri yang diambil dengan ponsel. Sambil berseloroh, ia menyatakan keberadaan ponsel pintar sudah lazim ditemui di Rutan Salemba.
Bisnis narkoba lancar, bisnis transfer dan terima uang kiriman juga lancar. Warung makanan ada. Petugas tahu itu. Jual beli parfum ada. Yang gak ada prostitusi, sebelum 2016 kata para Napi lama ada,” Surya menjelaskan.
Tak hanya itu, fenomena praktik jual beli kamar oleh oknum di Rutan Salemba juga terjadi. Ia menyebutnya dengan sebutan uang ‘tiket masuk kamar’. Praktik tersebut terjadi ketika narapidana menyetor sejumlah uang untuk menempati kamar tahanan tertentu.
Alhasil, terjadi strata atau kelas sosial di dalam penjara. Surya menyebut para tahanan yang tak memiliki uang terpaksa tidur di lorong-lorong karena tak mampu membayar ‘tiket masuk kamar’.
Sementara, bagi narapidana yang memiliki cukup uang bisa menempati ruang tahanan di Blok O yang ditaksir mencapai harga ‘sewa’ Rp50-70 juta.
“Napi Kaya, koruptor misalnya, bisa beli kamar di Blok O seharga Rp50 hingga Rp70 juta. belum uang Mingguannya. Gak perlu masuk Penampungan atau Mapenaling dulu kayak kami selama 1 bulan. Bahkan Napi dari blok lain gak bisa main2 ke Blok O ini,” katanya.
Dalam kesaksian yang disampaikan, Surya Anta menyimpulkan selama ini negara tak menanggung semua kebutuhan para narapidana di penjara. Berbagai bahan pokok hanya disediakan oleh pihak Rutan dengan jumlah yang sangat sedikit. Melihat hal itu, ia bersama rekannya sesama tapol Papua harus memasak dan membeli lauk pauk menggunakan uang sendiri.
“Air juga kami beli sendiri. Galonnya juga beli. Kalau ada kerusakan listrik bayar pakai uang sendiri. Tahanan lain bayar uang kamar dan bayar uang mingguan. Kami tidak bayar karena pihak Penjara khawatir dengan tekanan publik atas kami. Dan lobby kawan-kawan agar kami tak tidur di lorong,”
Dengan biaya hidup yang tinggi di penjara, Surya melihat banyak narapidana yang ‘bekerja sambilan’. Misal, ada tahanan yang terpaksa menyopet, mencuri, servis elektronik, hingga jualan narkoba.
“Karena biaya hidup di penjara mahal. Survival Napi macam-macam. Ada yang nyopet. Ada yamg nyiletin kantung temannya. Servis elektronik,pijat. Jadi tamping (Tahanan Pendamping) yang juga ada beberapa yang mesti bayar. Jualan nasi. Jualan narkoba. Atau jd BNN (bagian Nagih-nagih) alias tukang pukul,” kata Surya menjelaskan.
CNN Indonesia yang mengutip testimoni Surya berusaha mengkonfirmasi Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjenpas, Rika Apriyanti. Namun yang bersangkutan tak merespons sampai berita itu diterbitkan. (*)
CNN Indonesia
Editor : Edi Faisol