Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh NG
Delapan belas tahun setelah diterbitkannya Essay berjudul “Paradise Betrayed: West Papua’s Struggle for Independence”, buku John Martinkus, The Road: Uprising in West Papua, dirilis. Banyak yang telah terjadi dalam hampir dua dekade sejak penerbitan karya-karya ini, tetapi beberapa fakta dasar tetap sama: masyarakat West Papua menghadapi pendudukan militer yang brutal di tanah air mereka oleh militer Indonesia.
Kekerasan ekstensif dan pelanggaran hak asasi manusia adalah kejadian rutin di wilayah tersebut. Kepentingan perusahaan ekstraksi sumber daya multinasional secara rutin ditempatkan di atas mata pencaharian masyarakat yang tanahnya telah dirampas, dan upaya untuk melaporkan situasi ini sangat sulit karena tidak adanya kebebasan pers.
Seorang jurnalis Australia yang telah bekerja di zona konflik bersenjata selama beberapa dekade, Martinkus melaporkan situasi di West Papua hampir sepanjang abad ini. Sejak 2003 pemerintah Indonesia tidak mengizinkannya kembali masuk ke Papua.
Jalan yang disebutkan dalam judul buku tersebut mengacu pada Jalan Tol Trans-Papua, sebuah proyek konstruksi sepanjang 4.300 kilometer yang membentang di sepanjang West Papua. Jalan ini memainkan fungsi simbolik penting bagi nasionalisme Indonesia. Sukarno, presiden pertama Indonesia, membayangkan sebuah bangsa Indonesia bersatu dari Sabang, sebuah pulau di pesisir ujung paling barat Aceh, hingga Merauke, sebuah kota di ujung tenggara West Papua. Penyelesaian jalan Trans-Papua akan memenuhi visi Sukarno, dan untuk alasan inilah masyarakat West Papua, yang sebagian besar tidak pernah menerima klaim Indonesia atas wilayah mereka, dengan tegas menentang pembangunannya.
Selain fungsi simbolisnya, jalan tersebut selanjutnya akan memfasilitasi perampasan sumber daya alam Papua oleh perusahaan multinasional. Dari keputusan tentang status hukum daerah pada tahun 1960-an hingga saat ini, kepentingan perusahaan sumber daya multinasional lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat West Papua.
Pada tahun 1967, mendiang presiden Indonesia, Suharto, memberikan kontrak kepada perusahaan AS Freeport-McMoRan untuk membuka tambang Grasberg, tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga terbesar kedua. Freeport-McMoRan adalah pembayar pajak terbesar bagi pemerintah Indonesia. Tambang ini secara konsisten ditentang oleh orang West Papua, dan pada tahun 1977 sebuah bagian dari gerakan kemerdekaan berhasil menghentikan operasinya. Hasilnya adalah terbunuhnya 800 orang Papua, dan Martinkus mengutip bukti bahwa Freeport sendiri telah membayar peralatan dan senjata yang digunakan oleh militer Indonesia dalam penumpasan dengan kekerasan tersebut. Baru-baru ini pada bulan Maret tahun ini ada laporan baru tentang konflik bersenjata di kota Tembagapura, dekat tambang Grasberg.
Kisah-kisah tentang peristiwa-peristiwa terbaru dalam perjuangan kemerdekaan West Papua inilah yang membuat buku Martinkus sangat berharga, menempatkannya dalam konteks gerakan historis untuk kemerdekaan. Sebuah pernyataan yang dirilis pada bulan Mei oleh aktivis Papua di pengasingan, Benny Wenda, menginformasikan bahwa sejak Desember 2018 lebih dari 45.000 orang West Papua telah mengungsi secara internal, dan bahwa militer Indonesia menggunakan pandemi virus corona sebagai cara untuk menyembunyikan tindakan mereka. Martinkus menunjukkan kepada kita bahwa sementara penindasan yang dihadapi oleh orang West Papua tidak mereda, perlawanan terhadap penindasan itu semakin meningkat.
Dia merinci gelombang protes pada Agustus tahun lalu di kota-kota di seluruh Papua Barat, yang dipicu oleh insiden di mana mahasiswa West Papua di kota Surabaya, di pulau Jawa, menjadi sasaran pelecehan rasial. Protes tersebut mengumpulkan ribuan orang dan mencapai intensitas yang mengejutkan pihak berwenang Indonesia; gedung-gedung pemerintah dibakar, seperti penjara, yang menyebabkan 250 tahanan melarikan diri.
Di ranah diplomasi, tahun lalu juga terlihat pengiriman petisi ke PBB yang telah mengumpulkan 1,8 juta tanda tangan rakyat West Papua, dari total populasi 2,5 juta, meminta agar wilayah West Papua dicantumkan kembali sebagai wilayah dalam perhatian Komite Khusus Dekolonisasi PBB. Perjuangan kemerdekaan sedang berlangsung dan buku Martinkus adalah jurnalisme terkini, bukan sejarah.
Menjelang akhir buku Martinkus menulis bahwa:
Saya berada di Irak pada puncak pendudukan Amerika, Sri Lanka pada puncak kampanye untuk menumpas orang Tamil, Burma pada puncak kampanye melawan rakyat Burma dan minoritas yang menentang militer, Timor Timur dan Aceh di bawah orang Indonesia, Afghanistan di daerah yang dikuasai Taliban [tetapi] belum pernah saya melihat orang yang lebih tertindas dan terisolasi secara sistematis daripada orang West Papua […]
Dalam sebuah buku yang diteliti dengan baik dan tahan terhadap sensasi, pernyataan seperti itu sangat mencengangkan untuk dibaca. Kita harus mempertimbangkan klaim ini di samping fakta bahwa negara Australia, melalui diplomasi, kepentingan ekonomi, pelatihan militer, dan bantuannya, telah secara aktif memfasilitasi pendudukan Indonesia di West Papua dan pelanggaran serta kekerasan yang terjadi di sana – ada, seperti Martinkus mengingatkan kita, “hanya satu hari perjalanan dengan perahu ke Australia melintasi Selat Torres”.
The Road adalah sumber yang sangat berharga yang layak dibaca oleh khalayak luas yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang sejarah dan perkembangan terkini dari perjuangan kemerdekaan di West Papua. (*)
Penulis adalah peresensi buku. Tinggal di Australia.
Atas permintaan penulis, nama penulis hanya ditulis dalam inisial.