Candu baru bernama raskin

Papua No. 1 News Portal | Jubi,

Jayapura, Jubi – Jauh sebelum orang asli Papua mengenal beras, betatas (ubi jalar), keladi, dan sagu merupakan makanan pokok sejak zaman dahulu. Namun, kala sejumlah program penyamarataan pangan, mulai dari pemerintahan orde baru hingga saat ini, panganan lokal turut kena imbas, dan akhirnya mulai dilupakan.

Kehadiran beras miskin (raskin) atau kini "berganti kulit" dengan sebutan beras sejahtera (rastra), membuat masyarakat semakin melupakan panganan lokal. Efeknya dahsyat. Tidak hanya mereka di kota, masyarakat di kampung kini enggan menanam dan mengkonsumsi betatas, keladi dan sagu.

Raskin hadir bak candu. Menyebabkan ketergantungan masyarakat, menyingkirkan panganan lokal. Meramu, berburu, dan berkebun yang menjadi tradisi hidup masyarakat asli Papua selama ini, perlahan ditinggalkan.

"Raskin ini membuat masyarakat malas lagi berkebun, menokok sagu, dan lainnya. Pola hidup masyarakat di kampung mulai mengalami pergeseran," kata Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, John Nasion Robby Gobai kepada Jubi di Jayapura, pekan lalu.

Melihat kondisi kini, perlu ada langkah berbagai pihak, terutama Pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Masyarakat asli Papua harus disadarkan, dibangunkan dari tidurnya, agar mereka tidak terus terlena dengan raskin. Pelan-pelan, masyarakat harus dilepaskan dari ketergantungan kepada beras subdisi itu.

Jika Pemerintah pusat menjadikan Kabupaten Merauke sebagai lumbung pangan nasional untuk tanam padi, mengapa Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, tidak berinisiatif memprogramkan lumbung pangan lokal di Papua?

Bertanya solusi? Bisa dimulai dengan menjadikan satu daerah percontohan pengembangan pangan lokal. Misalnya betatas dan keladi di wilayah pegunungan, sagu di daerah pesisir pantai.

"Makanya kami dorong Pemprov Papua membentuk satgas ketahanan pangan dan gizi. Perlu inovasi SKPD terkait. Jangan hanya ikut maunya Pemerintah pusat, tanpa peduli potensi daerah dan masyarakat adat," kata Gobai, yang juga legislator Papua dari 14 kursi pengangkatan, keterwakilan wilayah adat Meepago itu.

 

Ciptakan lumbung tanpa bergantung

Menciptakan lumbung pangan lokal, tanpa masyarakat harus tergantung dengan raskin, salah satu solusi jangka panjang menjaga ketahanan pangan di Papua. Perlu ada satuan tugas (satgas) pangan dan gizi, yang terdiri dari beberapa dinas dan pihak terkait, termasuk melibatkan akademisi. Tim ini yang nantinya bertugas membuat peta kerawanan pangan, petunjuk teknis penanganan masalah pangan dan gizi, juga menyusun program pembangunan lumbung pangan lokal di Kabupaten dan Kota.

Dari sisi potensi ekonomi panganan lokal betatas, kalangan legislatif turut buka suara. Mustakim satu diantara anggota Komisi II DPR Papua yang membidangi ekonomi berujar, upaya mendorong pembangunan pabrik betatas di Distrik Skamto, Kabupaten Keerom, terus dilakukan.

Mustakim berandai, kehadiran pabrik ini diharapkan dapat menampung hasil panen betatas masyarakat, untuk diolah menjadi berbagai bahan panganan.

"Selain itu, ini (pabrik) dapat memacu masyarakat menanam betatas, yang merupakan panganan lokal," kata Mustakim.

Tahun anggaran 2017 lalu, pembangunan pabrik betatas dianggarkan senilai Rp10 miliar. Dana Rp7 miliar untuk pembangunan pabrik, dikelola Disperindag Provinsi Papua, dan Rp3 miliar untuk pembangunan jalan menuju lokasi pabrik dikelola Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Papua.

Proses pembangunan kini sudah mencapai kurang lebih 30 persen. Namun untuk APBD induk provinsi tahun anggaran 2018, tidak dianggarkan, disebabkan anggaran difokuskan untuk pembangunan infrastruktur PON XX di Papua, 2020.

"Kami akan dorong anggarannya nanti dalam APBD perubahan tahun anggaran ini. Nantinya, ketika pabrik sudah berdiri dan mulai beroperasi, selain ada pembinaan kepada petani, kami juga harap dinas terkait mempunyai kebun inti betatas, untuk menjaga jangan sampai kekurangan bahan baku," ucapnya.

 

Lahan sagu yang disulap jadi sawit

Namun bukan hanya betatas, panganan lokal yang harus diperhatikan kelangsungannya. Sagupun kini terus punah, ditandai dengan tergerusnya hutan sagu  yang disulap menjadi sawit. Kehadiran sawit, terutama di wilayah pesisir Papua, mengancam keberlangsungan hutan sagu, yang semakin hari semakin terkikis.

Layaknya betatas, sagu merupakan salah satu makanan pokok orang asli Papua sejak zaman dulu, sebelum mereka mengenal beras. Dikhawatirkan, kalau tak dilestarikan, kedepan tak ada lagi hutan sagu di Papua.

"Pemerintah juga perlu melestarikan pohon sagu yang kini semakin menipis. Upaya mengganti pohon sagu yang hilang sangat minim. Pemerintah perlu menempatkan pohon sagu sebagai kearifan lokal di Papua," tukas Mustakim. (*)
 

Related posts

Leave a Reply