Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Calon anggota legislatif (caleg) mempertanyakan pungutan pajak reklame yang ditetapkan Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BPPDR) Kabupaten Nabire. Penetapan ini dinilai tidak tepat sasaran sebab para caleg menilai baliho alat peraga kampanye (APK) yang mereka pasang tidak memiliki nilai komersial.
Seorang caleg DPRD Kabupaten Nabire, Lery Buinei, mengatakan apakah pemasangan baliho caleg yang mempromisikan diri memiliki nilai komersial? Dia mengatakan yang mempunyai nilai komersial misalnya jasa dokter, pengacara hukum, tukang pijit, dan artis, sehingga tepat jika ditetapkan biaya retribusi.
“Kalau kami ini nilai komersialnya dimana, kami ini bukan barang,” ujar Buinei, di Nabire, akhir pekan lalu.
Menurutnya, baliho para caleg yang dipasang adalah bentuk dari promosi diri calon kepada pemilih, yang hanya sebatas merangkul massa. Pemasangan baliho hanya selama sekitar dua bulan dan akan berakhir tanggal 5 April mendatang.
Buinei mengatakan dirinya telah melayangkan surat protes kepada Pemkab Nabire, sekaligus mempertanyakan kenapa baru dalam Pemilu 2019 baliho caleg dikenakan biaya. Pad pemilu sebelumnya tidak pernah dipersoalkan.
Dasar hukum yang dipakai adalah berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 tahun 2010 tentang Pajak Daerah serta Peraturan Bupati (Perbub) Nabire Nomor 40 tahun 2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Reklame.
“Pertanyaannya, kenapa baru sekarang? Pemilu legislatif 2014, pemilihan bupati tahun 2015, serta pemilihan gubernur tahun 2018, tidak dikenakan biaya,” kesalnya.
Kader PDIP ini menjelaskan berlakunya satu perda hanya selama tiga tahun, selebihnya harus direvisi dan perda Nomor 4 tahun 2010 sudah berumur sembilan tahun, artinya harus sudah tiga kali direvisi.
“Maka saya dan beberapa rekan menolak membayar pajak reklame. Karena perda itu substansi dan subyek hukumnya tidak ada. Sanksi juga tidak ada. Sanksi misalnya jika tidak membayar maka harus dipenjara 10 tahun atau denda,” ungkapnya dengan nada berang.
Hal senada disampaikan caleg DPRD Kabupaten Nabire dari PSI dapil 2, Kurios B. Duwiri. Dia mengatakan kebijakan Pemkab Nabire melalui BPPRD dalam menarik pajak reklame dari para caleg untuk Alat Peraga Kampanye (APK) tidak tepat.
Artinya, peraturan dalam Undang-undang Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum bahwa hal ini berada dalam lex specialis.
“Maka penterjemahannya tentu saja berbeda dengan UU lainnya dan tidak perlu caleg tunduk pada pemahaman reklame APK baliho. Sebab caleg tidak jualan, baliho caleg adalah hanya bersifat mensosialisasikan pikiran kami kepada masyarakat calon pemilih,” terangnya.
Duwiri mengatakan pemkab harus lebih bijak agar tidak menjadi bahan tertawaan orang. Hal ini tidak memberikan pelajaran politik yang baik kepada rakyat, sebab ini merupakan peluang untuk tindakan korupsi di masa mendatang.
Contohnya, untuk satu baliho paling besar dikenakan pajak Rp 1,8 juta per baliho, maka total satu baliho habis biaya RP 2,300 juta. Satu caleg jika memasang 10 baliho, harus menyiapkan uang Rp 23juta.
“Iya kalau dia terpilih masuk jadi DPR. Estimasi saya, dari satu bulan gaji yang diterima bulan pertama dibandingkan dengan gaji anggota DPR sekarang hanya akan menerima Rp 5 juta. Artinya, apa yang seharusnya dikembalikan ke rakyat tidak akan pernah sampai sebab dia akan bekerja terus untuk menutupi modal politik yang dikeluarkan. Jadi kasarnya ini pungli namanya, pungli yang dilindungi UU,” katanya.
Sebelumnya, Sekretaris BPPRD Nabire, Fatmawati, mengatakan penarikan pajak reklame memiliki dasar hukum. Selain itu, ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan PAD.
“Ini satu upaya untuk dalam mendongkrak PAD dan tentu memiliki dasar hukum. Artinya, kami tidak asal tarik pajak,” katanya. (*)
Editor: Dewi Wulandari