Cabut akar otsus dan tanam referendum di Papua

papua-demo-mahasiswa-tolikara-tolak-otsus-jilid-II
Mahasiswa Tolikara, Papua saat melakukan aksi tolak otsus beberapa waktu lalu di Jayapura - Jubi/Yuliana Lantipo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh:.Yosep Riki Yatipai

Seluruh rakyat Papua bersatu dalam satu suara dengan kata “referendum”, serta merta juga menolak Otonomi Khusus (otsus) Jilid II. Otsus (dianggap) sudah gagal sebagai jejak pahit bagi orang asli Papua (OAP).

Read More

Rentetan panjang yang menjelaskan betapa implementasi otsus selama 20 tahun sudah merugikan OAP. Bahwa otsus sebagai jalan tengah bertujuan untuk memberikan legitimasi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas Tanah Papua.

Hal ini tidak dibenarkan sebagai jejak derita rakyat Papua, sebab OAP sudah berjuang dan menempuh jalan kemerdekaan dengan tangisan, ratapan, dan kertak gigi.

Otsus merupakan upaya negara Indonesia untuk memberikan penghiburan (obat bius) kepada OAP di tanah leluhurnya, dengan dalih (alasan) politik dan keamanan sumber-sumber kehidupannya pun semakin dikuras habis, sehingga keberadaan masyarakat Papua kini laksana bangkai-bangkai hidup yang berjalan di atas tanah warisan leluhurnya sendiri (Agus A. Alua, Papua Barat Dari Pangkuan Ke Pangkuan,.Suatu Ikhtisar Kronologis, Seri Pendidikan Politik No.1).

Seluruh rakyat Papua menolak adanya (wacana) Otsus Jilid II dan meminta referendum sebagai solusi akhir dari harapan panjang rakyat Papua, sebab otsus hanya menambah luka duka bagi OAP; mahasiswa, denominasi Gereja-Gereja Papua, para pastor pribumi, ULMWP, KNPB, dan seluruh lembaga adat Papua menolak Otsus Jilid II sebagai representasi petisi rakyat Papua agar tidak diberlakukan Otsus jilid II di Tanah Papua.

Rakyat Papua meminta agar pemerintah pusat (Jakarta) tidak memaksakan Otsus Jilid II sebagai win-win solution bagi rakyat Papua lagi. Rakyat Papua meminta referendum sebagai solusi.

Sekalipun demikian rakyat Papua tidak bisa dilihat dalam ruang lingkup otsus saja, tetapi juga dipandang dari berbagai sudut baik historisitasnya, antropologisnya, maupun dari bidang ilmu terkait lainnya, yang berbicara tentang pengalaman pahit OAP di bawah kekuasaan penjajah.

Dengan ini, pemerintah pusat dapat benar-benar memahami dan mengenal rakyat Papua sebagai bangsa, yang juga memiliki harkat dan martabat untuk merdeka. Selayang pandang dalam memahami rakyat Papua tidak layak dengan konstruksi pikiran kolonial.

Muara dari konstruksi pikiran ini terlihat jelas dengan diskriminasi rasial yang dilabelkan oleh Indonesia kepada OAP. Peristiwa (ucapan) rasial yang terjadi di Surabaya, 16 Agustus 2019, merupakan akumulasi dari rentetan panjang penghinaan dan pelecehan terhadap rakyat Papua selama berada di dalam bingkai NKRI. Maka pemerintah pusat (Jakarta) diharapkan untuk berpikir jernih terhadap rakyat Papua: mulai dari 1945-1960 (Pembentukan Irian Barat), 1961-1963 (perjanjian-perjanjian tanpa melibatkan OAP sebagai pemilik hak ulayat dan aneksasi Tanah Papua), 1969-1973 (Pepera) sampai era otsus (2001-2021).

Semua ini bukan perjalanan yang ringan dan remeh, sehingga pemerintah Indonesia mesti membuka ruang demokrasi yang sebesar-besarnya bagi tulang-belulang rakyat Papua akibat senjata, sehingga rakyat Papua dapat hidup dan menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat di atas tanah leluhurnya sendiri.

Maka dari itu, cabut otsus dari akar-akarnya dan tanam referendum bagi OAP sebagai solusi. Rekam jejak pahit (memoria passionis) telah memberikan bukti yang berarti, sehingga pemerintah pusat harus berani dan mengakui hak hidup dan kemerdekaan OAP.

(Pemerintah) Indonesia mendorong otsus dengan diboncengi aparat TNI/Polri secara sistematis dan terstruktur. Lengsernya Soeharto 1998 merupakan angin segar bagi demokrasi di Indonesia sampai di Papua, sehingga mendorong pembentukan Tim 100 akibat kemerdekaan Timor Leste, yang kemudian tim 100 menghadap B.J. Habibie sebagai Presiden RI pada rezim Reformasi di Istana Negara Bogor Jakarta untuk meminta hak yang sama seperti Timor Timur (kini Timor Leste), tetapi B.J. Habibie menolak hak kemerdekaan Papua dengan meminta Tim 100 untuk kembali dan merenungkan pernyataan itu. Tim 100 kembali dan dalam sejarahnya kemudian melahirkan otsus sesuai UU Nomor 21 Tahun 2001.

Dalam hal ini, perjalanan lahirnya otsus pun tidak terlepas dari intimidasi dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Papua, seperti Theys Hiyo Eluay dan tokoh-tokoh Papua lainnya.

Selama 20 tahun terakhir rakyat Papua tidak merasakan penyaluran dana (otsus) yang signifikan. Uang senilai triliunan rupiah disalurkan untuk siapa dan kemana? Dalam hal ini, rakyat Papua tidak tahu-menahu mengenai penyaluran dana sebesar itu. Sekalipun demikian, dana itu belum sebanding dengan (kekayaan) Sumber Daya Alam (SDA) OAP yang sudah dan sedang dikuras habis-habisan oleh segelintir penjilat.

Keberadaan otsus tidak mengubah nasib rakyat Papua, tetapi memberikan efek jera. Pada prinsipnya, rakyat Papua tidak bisa hidup di dalam bingkai NKRI. Apalagi yang mau diharapkan dari otsus?

Manusia dan alam Papua sudah dan sedang menolak segala bentuk motif politik kapital yang diciptakan oleh Indonesia dan pemodal dunia. Rakyat Papua menyebut otsus sebagai akal-akalan pemerintah pusat dan pemodal nasional maupun internasional, sehingga segala motif atas tanah Papua segera dihentikan, sebab semua itu tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan itu sendiri.

Rakyat Papua menghargai harkat dan martabat Indonesia sebagai manusia, tetapi Indonesia mengabaikan harkat dan martabat OAP.

Indonesia adalah negara hukum dan mengedepankan moral sebagai patokan hidup berbangsa dan bernegara. Tetapi, tidak dapat disangsikan lagi bahwasannya, keamanan dengan tekanan militer lebih ditonjolkan daripada mengutamakan aspek kemanusiaan itu sendiri.

Ungkapan Emmanuel Levinas mengenai “Aku dan Aku yang lain” merupakan subjek dan otonom, sehingga dalam hal ini tidak ada seorang manusia pun yang bisa menjadikan seorang manusia lain sebagai objeknya. Dengan kata lain, Aku ada untuk Aku yang lain bukan Aku untuk menguasai yang lain sebagai objek.

Pandangan ini hendaknya dapat memberikan sebuah gambaran, bahwa tidak ada manusia yang hanya dijadikan sebagai objek demi kepentingan segelintir manusia. Maka itu, OAP meminta kepada seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah dapat membuka ruang demokrasi yang terpimpin secara beradab dan bermartabat.

Pemerintah pusat harus duduk setara dengan aktor-aktor yang direkomendasikan JDP dan LIPI sebagai jalan penyelesaian. (*)

Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply