Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Dedi Lolansolot
Sejarah nasional dengan bangga dituturkan dari generasi ke generasi, mahalnya harga diri bangsa Indonesia yang merdeka dari penjajahan dengan jalan perang. Dengan sangat hormat dan harga diri yang mahal bangsa ini bebas dari musuh lewat jalan paling mulia yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban yakni pertumpahan darah, mayat-mayat bergelimang, dan kehilangan.
Sejarah lalu dituturkan dengan pilu bahwa kemenangan harus dirayakan dengan lagu-lagu kematian mengantar tubuh-tubuh kaku, yang kemudian dihormati sebagai pahlawan, ke liang kubur sunyi. Itulah mengapa kehormatan dan harga diri adalah hakikat yang diperjuangkan dalam perang.
Masa berganti, kehormatan dan harga diri tak pernah mati. Tak pernah digiring ke liang kubur sunyi dengan lagu-lagu paling pilu. Ia kini memiliki nama baru: nasionalisme.
Sejak orde lama hingga revolusi mental ia disebut nasionalisme. Seperti kehormatan dan harga diri, nasionalisme adalah anak dari pertumpahan darah, mayat-mayat bergelimang dan kehilangan. Setelah melewati masa-masa yang tak pernah lepas dari masalah nasionalisme kini tumbuh besar dan kokoh.
Apa artinya nasionalisme? Anda mungkin bertanya-tanya demikian. Nasionalisme adalah kehormatan dan harga diri bangsa. Semua orang percaya pada satu kehidupan baru yang diberikan nasionalisme: merdeka.
Kita percaya hingga kini bahwa kita sudah merdeka. Demi nasionalisme kita akan terus mempertahankan kehidupan yang merdeka ini. Benarkah nasionalisme mutlak membawa kehidupan baru yang merdeka? Benarkah setelah nasionalisme tiada lagi perang?
Buku-buku sejarah mungkin belum mencatatnya namun realitas membuktikan bahwa masih ada yang belum merdeka; masih ada perang dan korban berguguran. Realitas menuturkan dengan rasa sakit hati yang paling dalam bahwa pasca 1945 di pedalaman Papua perang melawan buta huruf belum berakhir.
Buta huruf tidak mati, bahkan hingga era revolusi mental. Sebaliknya, banyak masyarakat pedalaman Papua yang kalah berperang melawan buta huruf. Ketika Anda sedang membaca tulisan ini, perang antara orang-orang pedalaman Papua dan buta huruf sedang berlangsung.
Orang-orang pedalaman Papua berjuang atas nama nasionalisme dan otonomi khusus (otsus) melawan buta huruf untuk menumpas pembodohan. Perjuangan itu untuk satu tujuan: hidup baru yang lebih baik.
Malangnya, mereka masih kalah tidak hanya dalam jumlah pasukan perang, tetapi juga dalam urusan yang paling krusial; sistem perang–sistem yang mengandung strategi untuk menaklukkan lawan dan aturan yang mengikat pasukan untuk patuh dan tetap gigih berjuang.
Mappi (kabupaten pemekaran dari Merauke 2002) adalah sebuah medan perang lain di pedalaman Papua. Bagi Anda, Mappi adalah sebuah pemerintahan kecil dalam negara bersama segala macam perangkatnya.
Namun, bagi si buta huruf, Mappi adalah sebuah medan perang lain di pedalaman Papua yang harus ditaklukkan dengan kebodohan. Orang-orang Mappi harus tetap bodoh. Begitulah prinsip yang berlaku di medan perang buta huruf.
Ketika berdiri sebagai sebuah kabupaten, bidang yang paling tidak siap adalah kependidikan, kata bupati Mappi pada suatu pertemuan. Inilah penyebab utama buta huruf tetap menang di Mappi yang orang-orangnya merasa sudah merdeka bersama nasionalisme dan otsusnya. Bidang kependidikan–sekolah, tenaga pendidik, dinas pendidikan, dan sistem pendidikan–belum dianggap penting dalam perang melawan buta huruf.
Sejak berdirinya Mappi masih dikuasai buta huruf. Ironisnya, dalam semangat nasionalisme dan otsusnya, Mappi tetap merasa baik-baik saja ditindas buta huruf. Mappi sebaiknya menyadari bahwa sekolah adalah satu-satunya solusi tepat yang bisa menaklukan buta huruf.
Sekolah dan sistem pendidikan yang bagus sangat diperlukan di Mappi. Dalam perjuangan ini guru adalah pemimpin pasukan perang, sedangkan calistung adalah senjatanya. Gedung sekolah layak pakai dan kedisiplinan administrasi adalah markas para pejuang–kepala sekolah, guru, pengawas dan peserta didik–mengatur siasat/strategi dan mengevaluasi dengan serius proses kerja melawan buta huruf.
Katage–kampung dari medan Mappi–pernah memanfaatkan sekolah sebagai model serangannya. Pasukannya terdiri atas peserta didik, remaja, dewasa, dan orangtua.
Di Katage sekolah didirikan 1992. Pada 1997-2003 Ayub Sabami ditugaskan sebagai guru merangkap kepala SD Inpres Katage. Ia dibantu rekannya, Kaitanus Mari dan Ari Bohoji. Karena kekurangan guru, Martinus Peragi dan Gerardus Kesong, warga setempat menjadi guru honorer.
Bermodalkan ijazah paket SMA dan pengalaman berasrama semasa sekolah mereka mengajar semampunya. Kedua guru honorer ini mengajar sekitar tujuh tahun. Selama itu, peserta didik belajar membaca, menulis, berhitung, dan bercocok tanam. Mereka membuka kebun di belakang sekolah kemudian ditanami jagung, singkong, kacang panjang, cabai, sawi, nanas.
“Kalau mau hidup baik itu mesti belajar tanam. Kalau nanti beras sudah masuk kamu sudah tahu tanam padi, jangan hanya tahu makan saja,” kata Martinus, mengenang Ayub kala membuka kebun sekolah.
Ayub berhasil mengalahkan buta huruf. Generasi-generasi didikannya yang telah berkeluarga terus bercerita dengan bangga bahwa mereka bisa membaca, menulis, dan berhitung. Ada yang tamatan SD dan SMA, beberapa gagal di perkuliahan, satu orang berhasil jadi sarjana, lulusan Universitas Cenderawasih.
Pengalaman berkebun di sekolah membuka wawasan mereka, sehingga tidak hanya mengharapkan uang dari penjualan kayu gaharu, tetapi juga dari sayur-sayur yang ditanam.
“Anak guru, ini sudah mereka yang didikan pak guru Ayub waktu itu. Sekarang ini mereka berhasil. Tanam sayur lalu jual di pasar dan warung-warung makan. Kalau setelah pak Ayub semua anak-anak hancur. Otak mati, kerja tidak tahu. Hanya bikin gaya saja nomor satu,” tutur Gerardus, guru honorer semasa guru Ayub.
Tahun 2004 SDI Katage mendapat kepala sekolah baru, Beni Obikoma, yang menggantikan Ayub. Tak lama setelah Ayub mutasi, Kaitanus Mari pindah ke SD Inpres Sogope dan Ari Bohoji ke SD Inpres Sorokia. Martinus dan Gerardus pun tidak lagi mengajar sebagai guru honorer.
Beni berjuang seorang diri melawan buta huruf. Berbulan-bulan ia meninggalkan peserta didiknya dan pergi ke kota tanpa waktu yang pasti untuk kembali, pun tak pernah memberitahu urusan apa yang membuatnya lama di kota. Peserta didik akhirnya ke hutan mencari gaharu atau ke dusun sagu meramu makanan bersama orangtua mereka. Berbulan-bulan sekolah tidak dikunjungi peserta didik. Berbulan-bulan tiada penambahan guru di SD Inpres Katage untuk mengisi kekosongan sepeninggalan Obikoma ke kota.
Sejak 2004 hingga awal 2018 sekolah mulai tidak berjalan baik. Peserta didik lebih banyak tinggal di hutan. Guru lebih banyak menghabiskan waktu di kota.
Tidak ada alasan jelas kepada warga atau kepala kampung saat mereka ke kota. Mungkin urusan dana BOS. Begitulah cerita Martinus Peragi sebagai kepala kampung Katage.
Kekurangan guru sejak sekolah berdiri membuat banyak warga kampung buta huruf. Guru tidak lebih dari dua atau tiga orang di SDI Katage. Guru yang ditugaskan lebih banyak di kota dengan alasan yang tidak pasti.
Hubungan sekolah dengan pemerintah kampung tidak bagus. Tidak pernah ada pertemuan antara guru, pemerintah kampung, dengan masyarakat untuk membahas masalah pendidikan. Ketika guru tidak berada di kampung, orangtua membawa anaknya ke hutan mencari gaharu dan pergi ke dusun sagu mencari makanan.
“Zaman kepala sekolah pak Titus, sekitar 2016, anak-anak baru dipanggil ke sekolah menjelang ujian nasional. Ai, anak-anak bisa kerja soal kah tidak ini. Selama ini tidak pernah ada pelajaran, pembagian rapor juga tidak ada,” kenang Martinus.
Sebagai kepala kampung yang menjadi guru honorer zaman Ayub, Martinus Peragi, menekankan kerjasama antara pemerintah kampung dengan sekolah. Misalkan ada pertemuan, aparat kampung diundang. Maksudnya, kalau sekolah membutuhkan sesuatu atau ada kekurangan di sekolah masyarakat bisa membantu mengajar. Sekolah dan pemerintah kampung bisa bekerja bersama untuk kemajuan peserta didik.
“Kami kecewa bila ada rapat di sekolah kami tidak diundang. Maksudnya agar kita bisa bahas tentang masalah-masalah di sekolah bersama. Kalau sekolah jalan sendiri, kampung jalan sendiri kita tidak maju. Selama ini juga sekolah tidak aktif baik, tidak ada rapor. Saat ujian baru guru ke kampung panggil anak-anak ke sekolah. Ini yang bikin rusak.”
Mappi sedang berjuang memberantas buta huruf. Bupati Rito Agawemu menciptakan model serangan anyar lewat program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT)–bekerjasama dengan Gugus Tugas Papua UGM–untuk merekrut para sarjana muda, baik pendidikan, maupun non pendidikan yang merasa terpanggil menjadi guru di pedalaman Mappi selama dua tahun. Lebih dari 300 GPDT sudah ditugaskan di kampung-kampung kabupaten Mappi berperang bersama peserta didiknya melawan buta huruf. Walaupun tetap mengalami kekurangan guru, para GPDT yang terdiri dari dua sampai tiga orang berjuang dengan gigih bersama peserta didiknya melawan buta huruf selama dua tahun.
Di Katage, atas nama nasionalisme, rasa merdeka otsus dengan segala kekurangan (gedung sekolah, buku-buku pelajaran, tenaga pendidik berjumlah tiga orang, penggunaan standar kurikulum pendidikan yang tak jelas, nihilnya evaluasi belajar mengajar) berperang melawan buta huruf terus berlanjut. Setiap hari guru-guru mengajak peserta didik ke sekolah, bermain, belajar dan berkebun.
Kadang-kadang guru ikut ke hutan dan kali untuk berburu, mengumpulkan kayu bakar atau memancing ikan. Segala upaya terus dilakukan agar peserta didik merasa perang melawan buta huruf itu mengasyikkan–seasyik bermain di dusun sagu, hutan, kali dan rawa.
“Sejak kehadiran GPDT kami merasa baik, terima kasih kepada bupati yang sudah datangkan GPDT, khususnya dua guru di sini. Ini sekolah sudah jalan baik. Sudah mantap. Kampung sudah rame dengan anak sekolah, kemarin-kemarin itu di hutan semua. Anak-anak sudah bisa baca, kenal huruf dan tau lagu-lagu nasional,” kata kepala kampung Katage pada upacara Api Unggun 17 Agustus. (*)
Penulis adalah Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Mappi
Editor: Timo Marten