Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Perjuangan panjang ribuan buruh PT Freeport Indonesia (PTFI) terus dilakukan, untuk mendapatkan hak-haknya yang terus diabaikan perusahaan tambang raksasa di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Kali ini, 8300 buruh, yang di dalamnya termasuk orang asli Papua, mengadukan nasibnya kepada Majelis Rakyat Papua.
Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua, yang juga kuasa hukum buruh PTFI mengatakan, MRP merupakan Lembaga kultural orang asli Papua, salah satu tugasnya adalah melindungi hak-hak orang asli Papua di atas tanah ini. Termasuk di dalamnya adalah ribuan karyawan PT Freeport yang diabaikan hak-haknya.
“Dalam konteks UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, definisi orang asli Papua itu kan jelas. Jadi, kita melihat itu bisa menjadi landasan yang bisa kita dorong ke MRP untuk bisa memperjuangkan hak buruh ini, yaitu supaya mereka [buruh] bisa terima upahnya dan bisa kembali dipekerjakan,” kata Gobay kepada Ketua MRP, Timotius Murib, yang didampingi Wakil I [Jimmy Mabel], Wakil II [Debora Mote], serta unsur pimpinan masing-masing Pokja, Selasa [4/8/2020].
“Banyak dari antara mereka adalah orang asli Papua dan ada juga yang non-Papua tapi mereka sudah mengabdi di PTFI berpuluh-puluh tahun lamanya,” imbuh Gobay.
Dalam penjelasannya, Gobay juga menyebutkan sejumlah dampak yang dialami para buruh atas pemutusan kerja yang dinilai sepihak tersebut. Perbuatan PTFI telah merebut hak hidup manusia, hak untuk bersekolah bagi anak-anak buruh, hingga persoalan kesejahteraan dalam rumah tangga.
“Dampaknya sampai orang [buruh] meninggal, itu satu pelanggaran hak hidup. Ada juga anak dari para buruh yang sekolahnya terputus karena biaya untuk sekolah tidak ada karena gajinya diputus. Selain itu, ada yang suami-suami yang dong pu istri kas tinggal karena tidak mampu penuhi kesejahteraan dalam keluarga. Jadi, dampaknya ke mana-mana,” jelasnya.
Mewakili para buruh, Anton Awom meminta Majelis Rakyat Papua bersikap tegas kepada seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah Provinsi Papua, OPD [organisasi perangkat daerah] terkait, hingga kepada perusahaan PT Freeport Indonesia agar menjalankan tanggung jawabnya masing-masing. Dalam hal ini, terkait pemenuhan hak-hak buruh yang telah dijamin dalam peraturan yang berlaku.
“Kami buruh mengharapkan, MRP tegas kepada perusahaan PT Freeport Indonesia supaya mereka patuhi aturan tenaga kerja. Sampai hari ini, nota pemeriksaan pertama sudah dikeluarkan, tetapi lewat dari 30 hari yang dijanjikan, nota pemeriksaan kedua tidak dikeluarkan [Dinas Tenaga Kerja] dan Freeport juga tidak mematuhi peraturan itu,” ujar Awom.
“Jika nota itu didapatkan [buruh] maka hak-hak kita juga bisa dipenuhi. Tetapi, faktanya sampai hari ini tidak ada,” imbuhnya.
Setelah menerima penjelasan tentang buruh yang di-PHK sepihak oleh PTFI, Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan pihaknya mendukung upaya yang dilakukan para buruh dan akan menindaklanjuti permintaan tersebut sesuai mekanisme yang berlaku di lembaganya.
“[Aspirasi] ini menjadi hal yang penting untuk MRP membela [hak] orang asli Papua. MRP akan melakukan langkah-langkah sebagaimana berlaku di lembaga ini,” katanya.
Laporkan hakim ke Komisi Yudisial
Emanuel Gobay menjelaskan secara singkat perjalanan perjuangan para buruh ini, yang kemudian berdampak pada berbagai hal, hingga menuntut hakim yang dinilai melanggar kode etik hakim.
Tahun 2017, PT Freeport Indonesia menghentikan hak-hak pekerja pasca aksi mogok kerja yang dilakukan sekiranya 8300 buruh. Mereka tak diberikan akses untuk bekerja serta hak-haknya pun tak diberikan.
Atas perjuangan buruh, tahun 2018, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Papua mengeluarkan nota pemeriksaan satu [1]. Isinya, menyatakan bahwa demonstrasi aksi mogok kerja yang dilakukan ribuan buruh tersebut adalah sah. Setahun kemudian, pada 2019, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, pun menguatkan pernyataan Dinas Tenaga Kerja dengan mengeluarkan sebuah surat. Isinya pun sama, yang menerangkan bahwa aksi buruh adalah sah sesuai dengan UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Dalam dua surat itu, penegasannya sama: Mogok kerja itu sah! Sehingga, Freeport harus bayar upah mereka dan juga menerima mereka bekerja kembali di PT Freeport Indonesia. Cuma, lagi-lagi itu, Freeport tidak melaksanakan [perintah aturan tentang tenaga kerja] sampai sekarang Agustus 2020,” jelas Gobay.
Di sisi lain, Gobay menjelaskan, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Papua semestinya mengeluarkan nota pemeriksaan dua [2]. Namun, itu tidak dilakukan.
Dinas Tenaga Kerja Papua pun dilaporkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara [PTUN]. Namun, buruh seolah menemui jalan buntu. “Dalam keputusannya, Hakim bilang, dirinya tidak punya kewenangan untuk periksa,” kata Gobay.
Atas jawaban Hakim itu, Gobay menilai, “Itu hanya alasan yang hakim buat karena tidak mau masuk dalam persoalan Freeport ini. Karena, kalau dilihat dari UU Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, sebenarnya Hakim punya kewenangan. Nah, atas sikap hak itu juga kita akan laporkan ke Komisi Yudisial karena melanggar Kode Etik hakim,” tandasnya. [*]
Editor: Syam Terrajana