Dampak pencemaran tumpahan limbah nikel mesti cepat diatasi dan diantisipasi. Namun, bukan berarti harus serbaterburu.
Tim Liputan Jubi
SUDAH tiga kali Daeng Hasyim berkeliling dengan sepeda motornya di seputaran Kamp Key Abepura, Jayapura. Ikan dagangannya masih saja belum habis terjual.
“Sepi. Biasa sekali putar (keliling) saja (ikan sudah laku), tetapi sejak Senin, sepi pembeli,” kata Hasyim yang ditemui Jubi pada Kamis (21/11/2019).
Hasyim sedang apes. Kabar mengenai pencemaran limbah nikel di Perairan Madang, Papua Nugini ternyata berdampak langsung terhadap dagangannya. Pelanggan ragu membelinya lantaran khawatir ikan yang dijual Hasyim terpapar limbah.
“Saya baca koran, ada pejabat bilang, aman. Ada juga yang bilang, jangan makan ikan dulu. Akhirnya, masyarakat jadi ragu-ragu,” katanya.
Hasyim begitu yakin ikan dagangannya aman untuk dikonsumsi. Lokasi pencemaran jauh dari perairan Jayapura. Dia pun tetap mengonsumsi ikan laut seperti biasa.
Namun, tidak begitu dengan sejumlah pengonsumsi ikan laut di Jayapura. Sebutlah, Naomi. Sudah beberapa hari ini, Warga Abepura tersebut tidak lagi membeli apalagi mengonsumi ikan laut.
Naomi beralih mengonsumsi mujair. Dia membelinya di Pasar Youtefa. Harga mujair saat ini pun melonjak. Sekilogramnya biasa cuma Rp35 ribu, sekarang Rp55 ribu. Sebaliknya, harga ikan laut justru anjlok. Kembung, misalnya. Setiap enam ekor kembung berukuran besar yang biasa hanya Rp20 ribu, melejit menjadi Rp50 ribu.
Naomi mengharapkan ketegasan dan jaminan dari pemerintah terhadap masalah yang dialaminya. Mereka harus bisa memastikan ikan laut aman untuk dikonsumsi berdasarkan penelitian komperehensif. Itu agar warga seperti dirinya tidak lagi ragu mengonsumsi sumber protein tersebut.
“Pemerintah harus membuktikan bahwa mereka serius bekerja (mengatasi persoalan tersebut), dengan membentuk tim peneliti. Hasilnya disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. Bukan pernyataan terburu-buru yang kami tunggu,” kata Naomi.
Arus menjauh
Tumpahan limbah pertambangan nikel telah mencemari perairan di sekitar Tanjung Basamuk di Provinsi Madang, Papua Nugini. Sebuah laporan yang dipublikasikan Dr Alex Mojon menyebut, limbah tambang nikel Ramu milik perusahaan Tiongkok tersebut mengakibatkan kematian ikan di perairan itu.
Tumpahan terjadi pada 24 Agustus lalu, tetapi media massa setempat melaporkan bencana kematian ikan masih berlanjut hingga saat ini. Kabar pencemaran itu pun menjadi perbincangan hangat warga Kota Jayapura dalam sepekan terakhir. Informasi yang berseliweran di media sosial membuat mereka semakin cemas, dan takut mengonsumsi ikan laut.
“(Pergerakan) arus laut Papua Nugini dalam sebulan terakhir menjauhi pesisir Jayapura, Sarmi, dan Teluk Cenderawasih. Jaraknya 600-700 kilometer sehingga kecil kemungkinan limbah itu masuk ke perairan Jayapura,” kata Akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) John Dominggus Kalor, Senin (18/11/2019).
Berdasarkan pola arus itu, Kalor menyimpulkan ikan laut dari perairan Jayapura masih aman untuk dikonsumsi warga. Potensi ikan terpapar zat merkuri tersebut berpeluang terjadi hanya ketika ada tsunami lantaran daya jelajah ikan juga terbatas.
“Hanya jenis pelagis besar yang memiliki daya bermigrasi jauh, sedangkan ikan karang kecil tidak mungkin bermigrasi sejauh 600-700 kilometer. Jenis ikan pelagis itu, di antaranya kelompok tuna, cakalang, marlin, tongkol, tenggiri, dan cucut,” kata Ketua Jurusan Kelautan dan Perikanan Uncen tersebut.
Tetap waspada
Tumpahan limbah nikel di perairan Madang tetap patut diwaspadai dampaknya oleh warga Papua. Masih ada potensi bahaya apabila pencemaran tidak segera diatasi.
“Bila merkuri (pada limbah nikel) berikatan dengan klor di perairan, akan membentuk HgCl (merkuri anorganik). Merkuri dalam bentuk tersebut mudah diserap plankton, dan berpindah pada biota lainnya sehingga berubah menjadi organik (metil merkuri),” kata Ahli Biota dan Ekosistem Laut Efray Wanimbo.
Plankton yang terpapar merkuri itu dapat menjadi santapan bagi ikan-ikan kecil. Zat kimiawi tersebut kemudian terakumulasi pada tubuh manusia sebagai konsumen tingkat akhir pada rantai makanan.
“Tumpahan limbah nikel itu harus diatasi dengan baik. Dampaknya bisa terakumulasi pada manusia karena masuk dalam rantai makanan,” ujar Wanimbo.
Mengingat potensi ancaman merkuri terhadap ekosistem maupun kesehatan masyarakat, Pemerintah Provinsi Papua memang perlu bergerak cepat untuk mengantisipasinya. Mereka harus membentuk tim terpadu guna memantau perkembangan tumpahan limbah nikel di Perairan Madang.
“Perlu ada monitoring berkala oleh tim terpadu untuk memastikan kadar merkuri akibat tumpahan limbah nikel. Jika kadar merkuri melewati ambang batas, perlu ada aksi untuk mengatasinya, dan larangan sementara mengonsumsi ikan,” kata Akademisi Kelautan Universitas Papua (Unipa) Manokwari Dr Jemmy Manan kepada Jubi, Rabu (20/11/2019).
Jemmy mengatakan sampel yang perlu diteliti untuk memastikan kadar merkuri tersebut, antara lain air, ikan, udang hingga kerang. “Semua biota laut dapat dijadikan indikator kandungan merkuri di perairan akibat tumpahan limbah nikel.”
Karena kejadian dan dampak pencemarannya lintas negara, Pemerintah Indonesia dan Papua Nugini harus saling bekerja sama dalam mengatasinya. Kedua negara pun mesti melibatkan lembaga penelitian dan pihak perusahaan nikel untuk menguji secara ilmiah setiap temuan penting di lapangan (*)
Editor: Angela Flassy