Oleh : Alexander Gobai
Seperti yang diberitakan suara.com edisi 30 September 2020, Aktivis Hak Asasi Manusia, Veronica Koman, mengungkapkan deretan dugaan pelanggaran HAM di Papua saat demonstrasi besar di Papua Barat 2019. Hal itu diungkap dalam laporan Gerakan West Papua Melawan 2019 yang diterbitkan oleh TAPOL.
Veronica mengatakan, dalam laporan setebal 130 halaman ini menjelaskan rinci akar masalah demonstrasi besar menolak rasisme terhadap mahasiswa Papua Barat di Malang, Semarang dan Semarang tahun lalu. Aksi yang berujung gerakan massa di Papua dan berbagai daerah di Indonesia hingga ke Ibu Kota Jakarta.
“Laporan ini dirangkumke dalam ringkasan eksekutif, sebuah kompilasi dari berbagai analisis dan kejadian yang berfokus pada pelanggaran HAM yang dilakukan selama Gerakan Melawan, termasuk rasisme yang menjadi pemicu dan impunitas yang dinikmati oleh para pelaku,” kata Veronica dalam keterangannya.
Veronica menyebut laporan ini juga menggambarkan bagaimana pemerintah melakukan berbagai cara untuk membungkam aksi massa dengan tentang isu rasisme, impunitas, pembunuhan di luar hukum, kebebasan pers, pemadaman internet, pasal makar, penggunaan kekuatan berlebihan terhadap demonstran, dan penggunaan milisi sipil.
“Semua isu ini adalah hal-hal yang ditanyakan oleh Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang West Papua, yang dikeluarkan untuk Pemerintah Indonesia pada 2 September 2020. Komite ini adalah sebuah badan ahli yang ditunjuk oleh Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB (OHCHR),” jelasnya.
Dalam laporan ini tercatat ada 22 kota di Papua Barat, 17 kota di Indonesia, dan tiga kota di luar negeri yang turut menggelar aksi mengecam tindakan rasisme terhadap rakyat Papua selama 19-30 Agustus 2019.
Atas peristiwa ini, tercatat ada 1.017 orang yang ditangkap selama pergerakan, 22 orang di antaranya menjadi tahanan politik dengan tuduhan makar.
Sementara, Dana Otonomi Khusus pemerintah pusat yang mengalir ke Papua dalam bentuk dana Otonomi Khusus pada 2018 sebesar Rp 12,03 triliun. Jumlah tersebut naik 4,86 persen dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2018 yang telah diaudit, jumlah tersebut terdiri atas Rp 8,03 triliun dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Rp 4 triliun dalam bentuk Dana Tambahan Infrastruktur (DTI). Secara lebih rinci, dana otonomi untuk Provinsi Papua Rp 5,62 triliun dan Provinsi Papua Barat Rp 2,41 Triliun. Sedangkan dana tambahan infrastruktur Papua Rp 2,4 triliun dan Papua Barat Rp 1,6 Triliun.
Dalam APBN 2019, pemerintah kembali akan mengucurkan dana Otonomi Khusus untuk dua provinsi paling timur di Indonesia tersebut sebesar Rp 12,66 Triliun dan Rp 13,54 Triliun pada 2020.
Pemberian dana Otsus sering dianggap jalan untuk mengatasi pelanggaran HAM di Papua. Otsus juga kerap dianggap sebagai jawaban pemerintah Indonesia untuk meredam isu Papua merdeka.
Tapi catatan pelanggaran HAM 2019 membuktikan, Dana Otsus tidak memberikan solusi untuk mencegah dan mengatasi pelanggarana HAM di Papua. Buktinya, orang Papua selalu mendapatkan teror, intimidasi bahkan dibunuh, terlebih oleh aparat TNI/POLRI .
Satu contoh bukti, Pdt. Yeremias Zanambani yang tewas ditembak TNI. Hal itu merupakan sikap dan tindakan aparat keamanan yang tidak memiliki hati besar kepada orang Papua. Padahal pembunuhan itu mendapat sorotan luas dimana-mana.
Belum lagi pelanggaran HAM lainnya yang tidak bisa disebut satu demi satu.
Dalam sidang PPB belum lama ini, Perwakilan Vanuatu turut mengemukakan masalah Papua dan juga menyebutkan pelanggaran HAM tentang penembakan Pdt. Yeremias Zanambani oleh aparat bersenjata Indonesia.
Otonomi Khusus yang gencar dan diangkat di permukaan saat-saat, merupakan satu sikap yang mesti dibicarakan demi kepentingan rakyat Papua.
Sebab, membicarakan Otonomi Khusus akan memunculkan pro dan kontra . Bagi yang pro, itu bisa jadi dianggap sebagai “hadiah” Indonesia kepada orang Papua untuk hidup tenang dan tidak membicarakan pelanggaran HAM yang terjadi terus menerus.
Sedangkan bagi yang kontra, Otsus merupakan hadiah penghargaan yang diberikan negara kepada orang Papua untuk membasmi sesama orang Papua.
Otonomi Khusus dianggap telah mensejahterakan orang asli Papua dari sisi pembangunan, Pendidikan, kesehatan dan sektor lainnya.
Padahal, buktinya pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya tidak dijamin Otsus. Kewenangan tentang untuk mengelola Otsus tidak berikan kepada orang Papua . Malah bisa jadi, Otsus dijadikan untuk mengatur orang Papua untuk saling bertikai, membunuh sesamanya, tetapi juga dibunuh oleh orang yang tidak dikenal.
Otonomi Khusus dan Pelanggaran HAM, tidak bisa disamakan. Apalagi membicarakan pelanggaran HAM dengan mengedepankan Otonomi Khusus bisa menjamin dan mengatasi pelanggaran HAM dan isu-isu lainnya di tanah Papua.
Pemerintah Papua memiliki kekuatan untuk mengangkat derajat orang Papua dengan mendengarkan apa aspirasi mereka sebenarnya; rakyat Papua tidak menginginkan Otonomi Khusus dilanjutkan. Tuntutan Rakyat Papua merupakan kajian akar rumput untuk pemerintah Papua. Sehingga dapat dibicarakan demi kepentingan Rakyat Papua pula.
Kajian yang dilakukan Universitas Cendrawasih (Uncen) dan telah diserahkan kepada pemerintah Papua merupakan kajian sepihak yang tidak menguntungkan rakyat Papua. Justru membuka jalur untuk orang Papua bertikai.
Buktinya,aksi demonstrasi mahasiswa dan rakyat Papua di Uncen yang menolak Otsus,dibubarkan dengan tembakan di lingkungan kampus tersebut. Namun sebagian besar pihak Uncen tidak angkat bicara. Ada apa ini? Apakah takut kajian ilmiah Uncen tidak diterima?
Untuk mengakhiri tulisan singkat ini, Pemerintah Papua, MRP, DPRP dan lainnya, diharapkan dapat membicarakan masalah Papua demi mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan orang asli Papua. Karena, Masalah Papua adalah masalah kita orang Papua. Bukan masalah Jakarta. Tuntutan orang kecil dan akar rumput adalah bukti kalau orang Papua tidak menginginkan Otsus di Papua.(*)
Penulis Eks Tapol Korban Rasisme Tinggal di Jayapura