Papua No. 1 News Portal | Jubi,
Kristina Yoman, perempuan 53 tahun asal Kabupaten Lanny, selalu meluangkan waktunya merajut noken kulit kayu. Ibu dari dua anak perempuan ini sehari-hari bekerja di kebun yang ditanami sereh, singkong, ubi, lengkuas, dan lainnya.
Hasil kebun tersebut setiap sore dijualnya di emperan kios di Sentani ditemani anak perempuannya yang belum berusia setahun. Sembari menunggu jualan, Yoman merajut noken kulit kayu.
“Saya sejak dulu biasa bikin noken kulit kayu. Dulu orang yang bikin noken sedikit, jadi pendapatan kita lumayan. Selain itu sekarang orang lebih banyak membeli noken dari benang buatan pabrik,” katanya kepada Jubi.
Yoman mengaku tetap memilih membuat noken dari kulit kayu. Umumnya ia mengerjakan pesanan orang.
“Dulu orang senang dengan yang Mama bikin, jadi mereka beli banyak-banyak untuk oleh-oleh buat anak, kakak, teman, dan pacar mereka. Tapi sekarang ini sedikit saja. Habis banyak yang pakai benang pabrik, jadi semua lari ke tas noken dari pabrik punya,” ujarnya.
Menurut Yoman, proses pembuatan noken berbahan dasar kulit kayu tidak mudah. Paling susah adalah benangnya, karena didatangkan dari daerah pegunungan atau dari Kabupaten Jayapura, karena itu bahan benangnya berbeda-beda.
“Ada noken kulit kayu yang bisa dicuci dan ada juga yang tidak bisa dicuci. Kalau dicuci bisa rusak. Kalau memakai benang pabrik itu tidak susah, tinggal beli lalu bikin suka-suka,”ujarnya.
Perempuan yang akrap dipanggil Tina ini mengatakan banyak model yang dibuat dan ada juga yang memesan sesuai keinginan mereka, misalnya ukuran kecil maupun besar. Karena itu sebelum dibuat ia menanyakan dulu kepada pemesan. Namun yang paling banyak dipesan adalah tas pegangan yang digantung di depan setinggi pinggang. Sedangkan untuk ukuran besar hanya satu-satu.
Benangnya berasal dari kulit kayu tertentu yang hidup di hutan. Di antaranya pohon kulok, kewa, genemu, dan lainnya. Itu nama-nama yang biasa digunakan di Jayapura. Sedangkan untuk perbatasan Batom, Pegunungan Bintang, dan daerah lain menggunakan nama lain.
Perajin lain adalah Lenda Taplo, perempuan 43 tahun asal Oksibil, Distrik Kiwirok. Ia sudah menyulam sejak kelas V SD. Ibu rumah tangga ini setiap sore berjualan pinang di depan Kompleks Kampung Toladan. Ia membuat noken di saat senggang. Ia tetap menyulam dengan kulit kayu karena banyak pesanan.
“Ada yang suka noken dari benang pabrik, tetapi tetap ada yang suka noken asli berbenang kulit kayu. Jadi saya senang saja buat karena masih banyak yang suka,” katanya.
Ia tidak menjual, tetapi menerima pesanan. Ada yang menyediakan benangnya, tetapi ada kalanya ia sendiri mencari benangnya.
Menurutnya, dalam proses pembuatan noken kulit kayu, bagian tersulit adalah mencari benangnya.
“Tinggal di sini (Sentani) itu paling susah. Kalau di kampung kita ambil saja di hutan. Saya biasa pesan di Kampung Oksibil, baru mereka kirim, ada yang diambil di PNG,” katanya.
Jika ia mengambil kulit kayu dari Pegunungan Bintang ke PNG, berangkat pagi jam 6 dan tiba jam 3 sore, di sana ada keluarganya tempat meminta kulit kayu dari genemu.
Dalam proses pembuatannya ada beberapa macam. Paling sulit dilakukan adalah memberi warna kulit kayu sesuai pesanan dengan menggunakan bahan pewarna.
“Kulit kayu yang biasa kami ambil adalah nongdangmel, nogit, dan genemu, sedangkan untuk pewarna saya biasa menggunakan yang alami, sedangkan di daerah lain ada yangmemakai tepung terigu dan pewarna,” katanya.
Perajin lain adalah Mesina Tabuni, perempuan 65 tahun yang tetap bersemangat merajut noken kulit kayu.
“Mama pakai cari uang dari buat noken ini. Mama sudah lama bikin noken dari kulit kayu dan sekarang ukuran yang disukai kecil dan besar,” katanya dalam bahasa Suku Lani.
Ia juga mengakui sulitnya membuat noken kulit kayu dibanding dengan bahan benang pabrik. Noken kulit kayu dibuat secara manual dari proses pembuatan benang. Karena itu harganya lebih mahal.
“Orang tidak tahu, jadi mereka kira bikin benang noken dari kulit kayu ini gampang padahal sangat sulit. Kita cari itu bukan dekat-dekat. Kita cari itu jauh. Terus untuk bikin butuh waktu yang lama. Jadi tidak bisa cepat. Kalau kulit kayu ini diolah pakai mesin bisa rusak dan kelihatan juga tidak baik,” katanya.
Selain itu, pewarnaan juga menggunakan bahan alami seperti buah khusus berwarna ungu yang ada di hutan.
Pembeli noken kulit kayu, Fenny Wenda, mengaku tertarik karena terasa memakai noken asli.
“Saya kalau pake ini rasa macam saya itu perempuan gunung. Kalau saya tidak pakai noken itu macam rasa ganjil, habis orang tua dulu ajarkan kita perempuan itu harus pakai noken,” ujarnya.
Menurutnya, banyak motif noken berdasarkan daerah masing-masing, mulai dari pesisir, lembah, hingga pegunungan. Motifnya berbeda-beda sehingga bisa dikenal noken kulit kayu tersebut berasal dari daerah mana. (*)