Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Otonomi Khusus (Otsus) bagi West Papua (Papua) dan Otonomi Khusus untuk Bougainville – Papua Nugini (PNG) diberikan pada 2001. Kedua wilayah ini memiliki sejarah yang berbeda tetapi dasar perjuangannya hampir sama yakni melawan sejarah kejahatan kemanusiaan, ketidakadilan, dan eksploitasi sumber daya alam (SDA).
Bougainville merupakan salah satu provinsi kepulauan di PNG. Provinsi Bougainville diberikan status Otsus setelah penyelesaian politik yang paling dalam bagi konflik Bougainville selama sembilan tahun (1988-1997), kemudian dilakukan negosiasi (perundingan) antara kelompok perlawanan Bougainville dengan pemerintah PNG pada kurun waktu 1999 – 2001. Puncaknya, pada 2005 diberikan Autonomous Bougainville Government (ABG) dan diputuskan akan diberikan referendum kepada rakyat Bougainville dalam kurun waktu 2005-2020.
Sedangkan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua diberikan sepihak oleh Pemerintah Indonesia atas konflik politik berkepanjangan 1963 – 2000 antara pemerintah Indonesia dan bangsa Papua. Kedua wilayah ini diberikan pada tahun 2001 silam.
Direktur Eksekutif ULMWP di West Papua, Markus Haluk, mengatakan Otsus Papua diberikan bukan karena belas kasihan atau kebaikan hati pemerintah Indonesia kepada orang Papua melainkan sebagai jawaban dalam menghadang tuntutan dan perjuangan orang Papua untuk merdeka yang digaungkan di seantero Tanah Papua.
“Aksi demonstrasi damai dan pengibaran bendera Bintang Kejora. Sebanyak 100 orang Papua dipimpin Tom Beanal bertemu Presiden BJ Habibie di Istana Negara Jakarta pada Februari 1999. Terlenggaranya Mubes (Musyawarah Besar) dan Kongres Papua II tahun 2000 yang didukung penuh oleh Presiden Gusdur. Tekat dan Komitmen yang teguh memperjuangkan hak politik bangsa Papua dengan damai dinodai lagi dengan terjadinya kekerasan di berbagai tempat di Tanah Papua,” ujar Markus Haluk kepada Jubi, Kamis (7/11/2019).
Haluk mengungkapkan pendekatan represif menjadi jalan dalam menghadapi tuntutan dan perjuangan bangsa Papua. Pemerintah RI dibawah Presiden Megawati Soekarno Putri lansung tancap gas dengan mengeluarkan daftar tokoh Papua yang perlu ‘diamankan’. Salah satu tokoh Papua dalam ‘daftar yang perlu diamankan’ adalah Theys Hiyo Eluay (Ketua PDP).
“Peristiwa yang tergolong dalam kejahatan kemanusiaan ini selalu tergores di hati bangsa Papua. Sopir Theys, Aristoteles Mazoka, hingga saat ini belum dikemukan jasadnya,” ucapnya.
Menurut dia, penculikan dan pembunuhan Theys dengan sopirnya adalah salah satu bukti kejahatan yang terjadi saat pelaksanaan Otsus Papua. Setelah peristiwa pembunuhan Theys, darah orang-orang Papua mengalir di mana-mana.
“Penembakan dan pembunuhan tanpa ampun terus terjadi oleh Pemerintah Indonesia melalui TNI POLRI di sebagian besar Tanah Papua,” ujar dia.
Satu tahun sebelum turun dari kekuasaan, Presiden Megawati dengan alasan politik dan keamanan berdasarkan kajian BIN (Jendral TNI Hendropriyono) telah merekomendasikan dikeluarkannya Kepres No. 01 tahun 2003 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (IJB) yang kemudian diwujudkan oleh Mendagri Jenderal TNI Hary Sabarno. Siti Nurbaya yang saat ini menjabat Menteri Kehutanan mempunyai peran strategis sebagai Sekjen Depdagri pada saat pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat.
Para pejabat Papua yang menentang pemekaran diancam dengan tuduhan pendukung Papua Merdeka. Gubernur Jaap Salossa, Ketua DPRP John Ibo, seakan dibuat tidak berdaya atas tuduhan Jakarta.
“Sedih dan tragis! Dua tahun kemudian Gubernur Salosa juga ‘dibunuh’ sementara John Ibo dipenjarakan dengan tuduhan korupsi. Sebalikny,a beberapa orang Papua dijadikan alat propaganda menyukseskan misi pemekaran. Salah satunya Demianus Ijie yang kemudian menjadi menjadi Ketua DPR Provinsi IJB, Abraham O. Atururi, dan sejumlah tokoh lainnya,” katanya.
Lebih lanjut dia menegaskan dalam beberapa waktu belakangan ini Presiden Joko Widodo, Menkopolhukam, dan Mendagri menegaskan bahwa pemekaran Papua dilakukan berdasarkan data analisis intelijen. Itu berarti BIN yang dikepalai Jendral Pol. Budi Gunawan akan mengulangi sejarah di masa Jendral Hendropriyono. Demikian juga Mendagri Jendral Pol Tito akan memainkan peran seperti Mendagri di masa Ibu Megawati, Jendral Hari Sabarno.
“Seperti pemekaran provinsi Irian Jaya Barat pada 2003, sebagai sebuah strategi mengalihkan tuntutan politik bangsa Papua. Saat ini lembaga intelijen sebagaimana disebut tadi sedang mengalihkan isu dan agenda tuntutan dan perlawanan rakyat Papua atas rasisme, menuntut hak penentuan nasib sendiri melalui refrendum sebagai solusi demokratis, mengalirnya dukungan rakyat di West Papua dan komunitas regional dan internasional kepada ULMWP. Sekurang-kurangnya ketiga hal ini, Jakarta mencoba melawannya dengan pemekaran provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah. Sangat memprihatinkan bahwa para boneka Jakarta, borjouis lokal di West Papua terjebak dalam skenario Jakarta dengan isu pemekaran,” ungkapnya.
Pihaknya mempertanyakan saat ini adalah pemekaran provinsi Papua Selatan dan Tengah akan membunuh persatuan nasional dan perjuangan hak penentuan nasib sendiri yang saat ini dimotori ULMWP?
“Tidak. Perjuangan Papua tidak akan pernah dibunuh dengan politik pemekaran, politik senjata, operasi militer atau pemulihan kemananan, dan transmigrasi,” katanya.
Belajar demokrasi dari bangsa Melanesia (PNG dan Bougainville)
Haluk mengatakan tanggal 4 November 2019, Perdana Menteri Papua New Guinea (PNG), James Marape, mengatakan bahwa sejak penandatanganan perjanjian perdamaian antara PNG dengan Bougainville tidak terjadi penembakan terhadap rakyat Bougainville.
Konsistensi dalam melaksanakan keputusan oleh Pemerintah PNG dengan memberikan Otonomi Khusus bagi Bougainville yang berujung pada opsi referendum pada 24 November 2019 patut diapresiasi oleh dunia internasional.
Pada 10 Oktober 2019 di salah satu Universitas di Australia menyelenggarakan seminar tentang proses perdamaian dan referendum di Bougainville. Banyak akademisi dan mahasiswa apresiasi sikap pemerintah PNG dimana dalam konstitusi negara ini tidak mengizinkan diberikan opsi referendum dalam wilayah hukum PNG namun hal itu terjadi dalam sejarah untuk masalah Bougainville.
“Demi kedua nilai tadi pemerintah PNG berani memberikan opsi referendum sebagai jalan terbaik bagi kedua belah pihak yakni antara pemerintah PNG dengan pihak kelompok perlawanan di Bougainvill, antara rakyat Bougainville yang pro M dan yang pro PNG,” katanya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia memberikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sebagai jalan tengah dalam membendung tuntutan bangsa Papua untuk merdeka, saat itu. Namun dalam pelaksanaanya Otsus bukan menjadi solusi bagi penyelesaian konflik antara Papua dan Jakarta. Sebaliknya, Otsus menjadi masalah.
“Oleh sebabnya, pertanyaan yang perlu dijawab dengan jujur ialah setelah 19 tahun Otsus Papua berapa Orang Papua yg menjadi korban? Apakah Otonomi Khusus selama ini benar-benar terlaksana kebijakan untuk keberpihakan, perlindungan, dan perlidungan rakyat bangsa Papua? Otsus juga telah berhasil membunuh roh perjuangan Papua merdeka? Apa solusi Pemerintah Indonesia bagi bangsa Papua setelah berakhirnya Otonomi Khusus pada 2021? Atau Jakarta akan memperpanjang secara sepihak dengan evaluasi dan merevisi UU Otsus atau mengikuti langkah Pemerintah PNG kepada rakyat Bougainville dan pemerintah Perancis kepada rakyat Bangsa Kanaky dengan memberikan opsi referendum,” katanya.
Ia meminta Pemerintah RI, Presiden Jokowi dan para pemimpin Indonesia perlu belajar demokrasi dari PNG, dari bangsa Melanesia yang selalu konsisten antara kata dan tindakan bukan sebaliknya.
“Tulis lain, isi UU lain, buat lain. Jadi selalu lain-lain di Papua,” katanya.
Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan, mengatakan penting adanya Peraturan Daerah Khusus yang bisa digunakan sebagai landasan hukum pembagian dana otonomi khusus untuk Papua Barat.
“Pembagian dana otsus akan lebih aman jika menggunakan perdasus. Apalagi melihat perjalanan Otsus Papua yang sudah berjalan 19 tahun. Selama ini pembagian dana otsus hanya berlandaskan pergub,” katanya. (*)
Editor: Dewi Wulandari