Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Perupa asal Papua, Ellya Alexander Tebay sejak 2017 lalu menjelajah kemungkinan seni rupa dengan menggambar sketsa ubi. Tebay mengajak khalayak yang menyimak sketsanya untuk merenungkan ubi sebagai sumber penghidupan yang semakin menghilang dari kehidupan orang asli Papua.
Ubi adalah bahan pangan lokal yang lekat dengan kehidupan orang asli Papua. Suku Mee menyebutnya “nota”, Suku Lanny menyebutnya “mbi”. Namun Ellya Alexander Tebay gelisah melihat ubi semakin menghilang dari keseharian orang ali Papua. Kegelisahan itu membuat Tebay mencoba menyelami dan memaknai ubi, juga memaknai pertanyaan besar tentang keberlanjutan hidup manusia Papua.
“Implementasi dari sketsa ubi bergambar manusia tersebut adalah ungkapan kegelisahan [bahwa] ubi mengalami degradasi yang serius. Ide itu datang, saya memulai melukis mengenai ubi tersebut,” kata Tebay saat ditemui di Nabire, Kamis (18/2/2021).
Baca juga: Labirin, geliat seni rupa di Kota Pala
Tebay bercerita, sketsa yang digambarnya adalah ubi yang biasa dikonsumsi oleh manusia. Ubi yang biasa dijumpai di pasar, ubi yang banyak dijual Mama-mama Papua. Ubi yang seiring perubahan zaman mengalami degradasi luar biasa.
“Padahal ubi adalah salah satu makanan pokok khas orang Papua, di pegunungan dan sebagian pesisir. Ubi seharusnya dilestarikan dan dikonsumsi oleh kita,” katanya.
Tebay ingin ubi dalam sketsanya mampu membangkitkan ingatan setiap orang Papua tentang aroma ubi, dan mampu membuat cerita lirih tentang ubi yang sedang mengalami satu kesakitan yang luar biasa perih. “Ubi yang saya gambar turut menyampaikan keluhan kita. Saya tidak melihat ubi sebagai [sekadar makanan] yang dikonsumsi. Ubi itu bisa menyampaikan pesan, sebab ubi adalah simbol budaya kita,” katanya.
Ubi dalam salah satu sketsa Tebay itu memiliki wajah, memiliki hidung, mulut, dan mata yang menatap lembut. Dalam sketsa yang lain, ubi yang digambar Tebay menyerupai tubuh yang terbungkus dan terjerat, terbelenggu. “Ubi sedang berbicara kepada manusia bahwa ‘ubi sedang sakit’. Tubuh itu sedang menderita. Sama hal dengan fakta penderitaan manusia Papua,” tutur Tebay.
Baca juga: Seniman Papua jangan menggantungkan nasib kepada pemerintah
Tebay memang gelisah melihat orang Papua semakin meninggalkan ubi dari santapan sehari-hari mereka. Tebay bahkan menemukan beberapa varietas ubi lokal telah hilang dari pasaran.
Politik ketahanan pangan Indonesia memang hasil kebijakan sentralistik, menjadikan beras sebagai bahan pangan utama, meminggirkan bahan pangan yang lain. Masalah itu jamak, dan telah lama dikritik para ilmuwan. Yang berbeda dengan para pakar itu, Tebay menemukan bahwa nasib ubi tak berbeda dengan nasib orang asli Papua yang disebutnya sama-sama terlantar.
“Kita tidak mengonsumsinya lagi. Nasib ubi hari ini sama seperti orang Papua sendiri. Ubi dan manusia [Papua] sama-sama terlantar,” katanya.
Baginya, jika ubi adalah seorang manusia, ubi akan bicara mengapa orang asli Papua membuatnya terlantar. Ubi akan bertanya, mengapa ia tak terawat, tak terlindungi, tak diperhatikan, bahkan dibiarkan punah.
Baca juga: Pelajaran seni rupa di sekolah bisa kembangkan bakat dalam beragam profesi
“Saya mengangkat ubi, karena saya ingin berwacana bahwa ubi juga bisa berbicara. Apa yang dialami ubi, hal itulah yang harus kita manusia rasakan dan wacanakan bersama. Bisa jadi kami, orang asli Papua, akan menjadi orang asing di negeri sendiri. Atau kita akan pindah alam, karena konsumsi kita sudah berbeda?” Tebay bertanya.
Pemerhati bahan pangan lokal Papua yang dikenal sebagai Papua Jungle Chief, Charles Toto menyatakan Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua harus berperan memproteksi varietas ubi lokal maupun pangan lokal lainnya. “Kalau varietas ubi papua atau pangan lokal lainnya hilang, cepat harus diproteksi bersama. Jika dibiarkan, akan hilang dalam kenangan,” kata Charles.
Charles menyebut, bergantinya pola konsumsi orang asli Papua bukan satu-satunya penyebab varietas bahan pangan lokal seperti ubi hilang. Charles menyebut, pembalakan hutan secara masif juga mengurangi keanekaragaman hayati di Papua, dan berisiko memunahkan sejumlah varietas pangan lokal.”Kita perlu juga menjaga dan melestarikan alam, agar pangan lokal terlindung dan pangan lokal itu awet,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G