Papua No. 1 News Portal | Jubi
Puluhan anggota Polri asli Papua melakukan protes di Markas Kepolisian Daerah atau Mapolda Papua, Jumat malam (12/3/2021). Mereka kecewa terhadap hasil seleksi Sekolah Inspektur Polisi (SIP) angkatan 50, tahun anggaran 2021, yang dianggap tidak adil.
Dari 169 peserta yang dinyatakan lolos seleksi, hanya 45 orang asli Papua. Hasil ini dinilai tidak sesuai MoU Polda Papua dan Pemprov Papua yang telah memberikan dana Otsus untuk membiayai 150 Polisi asli orang Papua untuk mengikuti Sekolah Inspektur Polisi, agar dapat naik ke jenjang kepangkapangkatan sebagai perwira. Ini kali pertama pemprov Papua memberikan dana Otsus bagi putra putri Papua untuk mengikuti SIP.
“Sebenarnya jatah Polda Papua tahun ini empatpuluhan peserta. Namun Pemprov Papua memberikan dana Otsus untuk Pendidikan 150 Polisi orang asli Papua. Orang Papua yang mendaftar hanya 108 orang, artinya ada kuota 42 orang nonpapua yang dapat ikut dibiayai oleh dana Otsus. Tapi hasilnya terbalik, hanya 45 orang asli Papua yang dinyatakan lolos dan 124 adalah Polisi nonpapua. Teman-teman langsung ribut,” kata seorang anggota Polisi yang hadir pada Jumat malam, yang Jubi tidak sebutkan namanya.
Beberapa anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) hadir malam itu untuk mendengar aspirasi para peserta tes, demikian juga beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat. Mereka lalu menemui Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal di kediamannya pada dini hari. Ia lalu berbicara dengan Kapolda dan Sabtu siang Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mendengar, kemudian menjawab dengan menambah kuota penerimaan personel bintara bagi putra asli Papua menjadi 246 orang.
“Dengan penambahan kuota ini, sehingga total Bintara Polda Papua yang mengikuti pendidikan Sekolah Inspektur Polisi (SIP) angkatan 50 tahun 2021 sebanyak 246 orang. Lalu, Polda Papua Barat 150,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono dalam keterangan tertulisnya yang diterima Sabtu (13/3/2021). Sebanyak 108 bintara Orang Papua dan 138 Bintara nonpapua dinyatakan lulus.
Argo menjelaskan calon peserta didik yang merupakan Bintara Polda Papua terdiri dari Orang Asli Papua (OAP) dan non orang Papua tersebut, telah mengikuti tahapan seleksi dari pemeriksaan administrasi hingga terakhir Ujian Naskah Karya Perorangan (NKP) hingga dinyatakan lolos terpilih.
“Para bintara yang dinyatakan lulus tersebut akan mengikuti pendidikan Sekolah Inspektur Polisi (SIP) di Sukabumi selama 7 bulan,” kata Argo.
Perbedaan definisi Orang Asli Papua dan Penduduk Papua dalam UU Otsus Papua
Salah satu poin dari UU Otsus Papua adalah kebijakan afirmasi bagi Orang Asli Papua (OAP) dapat mengejar ketertinggalannya. Caranya, pemerintah memberikan tambahan dana khusus untuk menjalankan kebijakan itu.
Pada kuota penerimaan personel bintara bagi putra asli Papua untuk mengikuti pendidikan Sekolah Inspektur Polisi (SIP) tahun 2021, Gubernur Papua bersama Kapolri (melalui Polda Papua) mendorong jumlah Polisi OAP menjadi perwira. Gubernur Papua memberikan dana Otsus bagi pendidikan mereka. Namun kuota tersebut diberikan kepada anggota Polisi Nonpapua yang lahir di Papua, sebagaimana tertulis dalam laporan kronologis Polda Papua kepada Kapolri pada 13 Maret kemarin. Alasannya Orang Nonpapua yang lahir di Papua adalah Orang asli Papua (OAP) sebagaimana dijelaskan UU Otsus Papua.
Dalam UU Otsus Papua yang dicatat dalam lembar negara Indonesia, mengatur dengan jelas, siapa itu orang Papua dan siapa itu penduduk Papua.
Dalam UU No.21/2001 pasal 1 huruf t menjelaskan bahwa “Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun Melanesia yang terdiri dari Suku-suku asli di provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang Asli Papua oleh Masyarakat adat Papua.”
Sedangkan pada pasal 1 huruf u UU Otsus Papua menjelaskan “Penduduk Provinsi Papua, selanjurnya disebut penduduk adalah semua orang yang menurut ketentuan yan berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.”
“Non-OAP yang lahir di Papua itu bukan OAP sebagaimana dimaksud UU Otsus. OAP adalah satu mereka yang berasal dari suku-suku Melanesia di Tanah Papua, dan kedua mereka yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat,” kata Akademisi Univeristas Papua DR Agus Sumule.
Untuk poin kedua tentang orang asli Papua memang ditujukan bagi orang nonPapua, dan untuk diakui sebagai OAP, harus melalui mekanisme diterima (disahkan) oleh masyarakat adat. “Setahu saya sampai sekarang belum ada orang non-OAP yang menjadi OAP melalui mekanisme ini,” katanya yang adalah salah satu tim asistensi UU Otsus Papua.
Perlu regulasi yang jelas
Mantan anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah atau Bapemperda DPR Papua, John Gobai mengatakan mestinya ada regulasi yang mengatur mengenai seleksi bintara, perwira pertama, dan perwira menengah, dan perwira tinggi asli Papua dalam institusi kepolisian di Papua.
Ini dianggap sejalan dengan dengan amanat Pasal 48 dan 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pasal itu mengatur tentang kepolisian daerah Papua.
“Untuk menjaga keamanan, di Papua saya pikir kita harus mendorong sebuah kebijakan daerah yang diperkuat adanya Peraturan Kapolri, yang mengatur tentang tambahan jumlah Bintara polisi anak Papua. Tambah jumlah polisi perwira pertama dan menengah dan tinggi dari anak Papua,” kata John Gobai kepada Jubi, Minggu (15/3/2021).
Ketika menjabat anggota DPR Papua periode 2014-20219, Gobai berupaya mendorong perlunya regulasi yang mengatur seleksi calon Bintara dan perwira Polri asli Papua.
Ia pun telah seringkali menyampaikannya dalam forum resmi saat pertemuan dengan gubernur, Majelis Rakyat Papua, dan pihak Polda Papua. Akan tetapi hingga kini tak ada tindaklanjutnya.
“Jangan nanti tiba masa, tiba akal. Para pengambil kebijakan dan politikus di Papua inikan terlalu banyak pencitraan. Jadi mesti didorong adanya payung hukum,” ujarnya.
Baca juga: MRPB: Kuota Bintara Noken Polri di Tanah Papua 70 persen untuk OAP
Dalam regulasi itu nantinya kata Gobai, persentase orang asli Papua harus ditegaskan. Misalnya 80 persen orang asli Papua dibagi merata ke lima wilayah adat. Sedangkan 20 persen nonpapua.
Regulasi itu juga mesti mengatur penempatan jabatan di Polsek, Polres dan Polda, yang memprioritaskan anak Papua. Pengangkatan Kapolda Papua pun mesti diatur mekanismenya.
John Gobai menyatakan telah membuat draf regulasi itu. Draf itu telah ia serahkan kepada Kapolda Papua, Wakil Gubernur Papua dan menyampaikannya secara lisan kepada Ketua DPR Papua.
“Mari kita dukung pembuatan payung hukum, agar ada diskriminasi positif terhadap oap mulai dari Kapolda hingga Bintara. Jangan nanti ada masalah baru kita mau cari solusi,” ucapnya.
Sebelumnya Wakil Gubernur Papua Klemens Tinal mengatakan, Pemprov Papua tetap mendukung kemajuan anggota Polri yang merupakan putra-putri asli Papua untuk menempuh pendidikan perwira.
Pemprov Papua telah melakukan MoU dengan Polda Papua terkait program afirmasi Otsus Papua. Pemprov Papua akan membantu dalam penganggaran. Meski dana afirmasi belum diberikan kepada Polda Papua.
“Inikan MoU dengan Polda Papua tentang Afirmasi Otsus baru berjalan,” kata Klemen Tinal.
Pemprov Papua kata Wakil Gubernur, akan melihat progres yang dilakukan Polda Papua, dan akan dilakukan evaluasi kedepannya. “Nanti dari hasil ini seperti apa baru ditindaklanjuti dengan realisasi anggaran,” ujar Klemen Tinal. (*)
Editor :Angela Flassy