Belum lama bebas, Polisi panggil lagi Sayang Mandabayan

Sayang Mandabayan, perempuan pejuang antirasisme saat keluar dari pintu Lapas kelas II B Manokwari setelah jalani 9 bulan penjara. (Jubi/dokumentasi pribadi)

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Manokwari, Jubi – Belum lama bebas dari jeratan hukum,  Sayang Mandabayan, perempuan anti-rasisme Papua, kembali menerima surat panggilan dari Direktorat Kriminal Khusus Polda Papua Barat tertanggal 27 Juli 2020.

Juru bicara Polda Papua Barat, AKBP Adam Erwindi, yang dikonfirmasi, membenarkan pemanggilan terhadap Sayang Mandabayan  oleh tim Penyidik Reskrimsus Polda Papua Barat.

Read More

Namun dalam pemanggilan pertama tersebut tidak dipenuhi oleh Sayang Mandabayan. Sehingga penyidik sedang mendalami alasan ketidak-hadirannya dan juga dalami kasusnya.

“Benar, surat yang diantar oleh penyidik sudah diterima oleh saudaranya [Sayang Mandabayan] di Sorong. Namun hari ini [29 Juli 2020 kemarin] yang bersangkutan tidak datang. Penyidik masih dalami kasusnya, termasuk alasan yang bersangkutan tidak datang pada panggilan pertama” ujar Erwindi melalui pesan tertulisnya kepada Jubi, Kamis (30/7/2020).

Sikapi panggilan Polisi, Metuzalak Awom, koordinator tim pengacara Sayang Mandabayan, justru mempertanyakan alasan dan latar belakang pemanggilan terhadap seorang perempuan yang baru saja bebas dari jeratan hukum, lewat surat panggilan dengan tujuan ‘klarifikasi’.

“Menurut saya, ini berlebihan dan ada dugaan kriminalisasi terhadap Sayang Mandabayan,” kata Awom.

Dia mengatakan, Sayang Mandabayan, belum lama bebas dari jeratan hukum. Dia dalam kasus sebelumnya terlepas dari dakwaan pasal Makar.

“Sehingga, jangan lagi ada upaya baru dengan cara-cara pembungkaman ruang demokrasi melalui UU ITE,” ujar Awom.

Jika ada indikasi ujaran kebencian dan SARA dalam mempublikasikan sesuatu oleh Sayang Mandabayan, sebut Awom,  itu sebenarnya menjadi fungsi kontrol terhadap pelayanan Pemerintah kepada rakyat.

“Jangan Pemerintah melalui aparatnya, selalu membungkam kebebasan berekspresi, sehingga menggunakan pasal dalam UU ITE untuk membatasi hak berekspresi setiap warga Negara,” tambahnya.

Sementara, Donald Edison Baransano, korwil Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua ‘tiki’ Papua Barat, mengatakan bahwa perlakukan hukum terhadap Perempuan dan anak memiliki kekhususan di dunia internasional.

Hal ini dikatakan, Donald, sebagai bahan pertimbangan institusi penegak hukum  dalam menerapkan hukuman di ruang demokrasi terhadap perempuan asli Papua yang juga bagian dari jaringan perempuan Internasional.

“Perempuan di mata orang Papua ibarat sebuah ‘noken’ (tas) yang melahirkan generasi penerus. Sehingga hak mereka patut dihargai ketika mereka turut menentang ketidakbenaran yang terjadi dan mereka pun dilindungi,” ujarnya. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply