Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tarsisius Taek bekerja pemanen di kebun kelapa sawit milik PT. Tandan Sawita anak usaha Rajawali Group pada devisi kebun II Dahlia, di Kampung Yetti, Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua.
Jubi menemui Tarsi secara tidak sengaja di rumah kepala kampung Amyu Distrik Arso Timur Kabupaten Keerom, Rabu 20 Februari 2019 lalu. Tarsi bercerita bahwa dirinya bersama pemanen yang lain sedang melakukan mogok kerja. Pasalnya, karyawan pemanen kecewa dengan kebijakan perusahaan terkait kenaikan UMP 2019.
“Pokok permasalahan kami ini antara UMP dengan basis. Kami tahu setiap tahun UMP pasti naik. Tetapi begitu naik UMP, naik juga basis. Sekarang dengan naiknya UMP, naik juga basis. Pertanyaan kami, yang merasakan kenaikan upah di mana? Karena naiknya gaji tapi sama saja karena perusahaan kasih naik beban kerja.”
Saat itu ada upaya berkomunikasi dengan pihak perusahaan, namun belum ada jalan keluar. Di kebun 4 atau Kebun Tulip, tempat Tarsi bekerja, terdapat sekira 5 divisi dan tiap divisi terdapat 30 orang pemanen. Meski sudah selama empat tahun bekerja pada perusahaan itu, status Tarsi masih buruh harian lepas (BHL) dengan sistem pengupayan menggunakan sistem Basis. Tarsi mengatakan, kebijakan perusahaan ini membuat pendapatan mereka menurun dari sebelumnya.
“Kalau dapat dua atau 3 ribu penghasilan sampai 6 atahu7 juta. Sekarang buah 3000 uangnya juga 3 juta jadi anggap saja buahnya satu buah 1000.”
Basis adalah sistem pengupahan semi borong. Seorang buruh lepas harus memanen buah sawit dengan target yang harus di capai.
Beruntungnya Tarsi sudah bergabung dalam serikat buruh yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Persoalan upah antara pemanen dan perusahaan ini kala itu diurus langsung oleh SPSI dan dinas tenaga kerja Kabupaten Keerom dan akhirnya terselesaikan. Hasilnya, Buruh mengalah dan kembali bekerja sesuai aturan yang ditetapkan perusahaan.
Persoalan buruh di Papua
Kasus Tarsi, merupakan salah satu contoh persoalan buruh di Papua yang tertangani walau hasilnya mengecewakan. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay mengatakan meskipun ada banyak perusahaan swasta maupun pemerintah yang beroperasi di Papua, namun persoalan buruh di Papua belum banyak tertangani.
Padahal ada hak-hak buruh yang harus dipernuhi oleh perusahaan di antaranya status kerja, upah, tunjangan, hak untuk berserikat hingga hak untuk mogok kerja. Semuanya itu diatur dalam undang-undang nomor 13 Tahun 2003.
“Tahun 2019 UMR di Papua tiga juta duaratus ribu rupiah perbulan. Apakah buruh di perusahaan sawit, pelabuhan, hotel, mall, bandara dan lain-lain mendapat upah sebesar itu atau?” ucapnya.
Saat ini di Papua, persoalan buruh yang paling menonjol hanya masalah buruh di PT. Freeport Indonesia. Padahal data BPS 2018, jumlah buruh di Provinsi Papua cukup besar, mencapai 537.502 orang atau 29,9 persen dari jumlah total orang yang bekerja di Papua yang mencapai 1.797.668 orang.
Untuk menolong buruh, LBH Papua sejak kemarin, Selasa 23 April 2019, membuka posko pengaduan pengaduan pelanggaran hak-hak buruh. Hal itu terungkap dalam Diskusi dengan tema mengungkap persoalan buruh di Papua di kantor LBH Papua, Senin 22 April 2019. Diskusi, dan dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari Lembaga bantuan hukum yang selama mengadvokasi persoalan buruh, serikat buruh SPSI, media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media.
Luis Malaar dari Perkumpulan Bantuan Hukum (PBH) Cenderawasih menyampaikan sejak 2018, PBH Cenderawasih sudah menangani 4 kasus buruh. Satu kasus yang sudah selesai, sedangkan tiga kasus lainnya masih dalam proses. Di antara tiga kasus ini satu kasus sudah dalam tahap sita eksekusi, satu lagi dalam proses sidang dengan jawaban dan bukti, dan satunya lagi dalam proses bipartite di Dinas Tenaga Kerja Kota Jayapura.
Kurangnya pengetahuan buruh, Disnaker lemah
Luis menjelaskan yang menjadi persoalan saat ini adalah kurangnya pengetahuan buruh akan hak-haknya. Hampir 75 persen pekerja tidak tahu haknya. Selain itu Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) juga lemah dalam mengawasi perusahaan-perusahaan.
“Ada sistem yang salah. Peraturan dibuat tapi juga dilanggar oleh Negara. Sementara pekerjaa ini pikir yang penting bisa bekerja, dibayar oleh perusahaan dan bisa makan.”
Luis memandang penting untuk mengampanyekan hak-hak buruh secara lebih luas dan mendorong Disnaker untuk menjalankan tanggung jawabnya sesuai peraturan yang berlaku.
Luis juga menyoroti serikat pekerja. Selama mengadvokasi kasus, tampak belum berpengaruh signifikan terhadap pemenuhan hak-hak buruh.
Hal itu diakui oleh perwakilan dari SPSI Papua yang hadir dalam acara itu. Ia mengatakan saat ini masih ada pembenahan di internal SPSI Papua. Namun demikian SPSI Papua terus mendata anggota termasuk yang kini bekerja di perusahaan sawit seperti Sinas Mas dan PT. Tandan Sawita Papua.
Selanjutnya, peserta diskusi sepakat untuk melanjutkan diskusi tersebut sebelum perayaan Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei nanti. Tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh internasional. Sejak 2014 hari buruh sudah menjadi hari libur nasional. Hari Buruh lahir perjuangan perjuangan kelas pekerja atau buruh untuk meraih kendali ekonomi-politik. (*)
Reporter: Asri Elisabeth
Editor: Angela Flassy