Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price, mengatakan negaranya mengajak negara lain membangun solidaritas ke rakyat Myanmar. Sikap AS itu terkait protes anti-kudeta di negara itu diwarnai aksi represif militer hingga berujung pada penangkapan dan korban jiwa.
“Kami terkejut dan muak menyaksikan kekerasan mengerikan yang dilakukan terhadap rakyat Burma di tengah aksi damai menyuarakan keinginan untuk memulihkan pemerintahan sipil,” ungkap Price menggunakan penyebutan nama lama Myanmar, dikutip dari AFP.
Baca juga : Kudeta Militer Myanmar, sejumlah artis diburu
PBB segera menghukum militer Myanmar terkait kekerasan kudeta
Kudeta militer Myanmar, sejumlah polisi ini membelot memilih pro sipil
Ia menyerukan semua negara untuk berbicara dengan satu suara, mengutuk kekerasan brutal oleh militer Burma terhadap rakyatnya sendiri.
Price mengungkapkan, Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi ke para pemimpin junta militer dan sedang mempertimbangkan untuk menempuh tindakan lanjutan.
Selain itu meminta usaha lebih dari China, mengingat secara historis negara itu kerap dianggap militer Myanmar sebagai sekutu utama mereka.
“China memang berpengaruh di kawasan itu. Memang punya pengaruh dengan junta militer. Kami sudah meminta China untuk menggunakan pengaruhnya itu secara konstruktif sehingga bisa memajukan kepentingan rakyat Burma,” kata Price menjelaskan.
Selain seruan ke negara lain, Amerika Serikat juga meminta otoritas militer Myanmar membebaskan seorang jurnalis Associated Press dan lima jurnalis lain yang ditahan saat meliput demonstrasi anti-kudeta di negara itu.
Enam jurnalis di Myanmar, termasuk seorang juru foto kantor berita Associated Press, Thein Zaw, yang ditangkap ketika melakukan tugas jurnalistik kini menjadi tersangka.
Kabar itu disampaikan oleh kuasa hukum Then Zaw, Tin Zar Oo, pada Rabu (3/3). Dia mengatakan kliennya dan lima jurnalis itu ditahan di penjara Insein, Yangon.
Merespons itu, Price mengungkapkan keprihatinannya atas tindakan junta militer Myanmar. Dia juga meminta junta militer Myanmar menghentikan intimidasi dan pelecehan terhadap pekerja media atau warga lain yang ditangkap serta diperlakukan tidak adil.
“Kami sangat prihatin dengan meningkatnya serangan dan penangkapan jurnalis. Kami menyerukan ke pihak militer untuk segera membebaskan orang-orang tersebut … dan menghentikan penahanan secara tidak adil hanya karena mereka melakukan pekerjaan,” kata Price menegaskan.
Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mencatat sepanjang aksi protes pada Rabu (3/3) saja, dalam sehari ada sedikitnya 38 demonstran tewas karena tembakan militer. Karena itu dia menyebut hari ini sebagai, hari paling berdarah sepanjang kudeta militer yang berlangsung sejak bulan lalu.
“Kami sekarang mencatat ada lebih dari 50 orang tewas sejak kudeta dimulai, dan banyak yang terluka,” kata Christine Schraner.
Kudeta militer di Myanmar terjadi sejak 1 Februari diikuti penangkapan pimpinan sipil Aung San Suu Kyi. Sejak itu, saban hari massa pro-demokrasi menggelar unjuk rasa menentang kudeta. Junta militer Myanmar membalas protes demonstran dengan aksi represif mulai dari serangan gas air mata, peluru karet hingga peluru tajam. (*)
CNN Indonesia
Editor : Edi Faisol